Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Merayakan Natal di Tengah Pembunuhan di Luar Hukum

Natal yang Pahit bagi Sebagian Orang di Filipina

23 Desember 2019 | 19.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Jika saja tidak ada ‘perang terhadap narkoba’ maka saya dapat merayakan hari Natal dengan anak saya.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Normita Lopez, 56 tahun, bertutur dengan suara bergetar penuh amarah. Anak laki-lakinya, Djastin – baru berusia 23 tahun – ditembak mati dua setengah tahun yang lalu. Ia adalah salah satu dari 5.526 korban yang tercatat dari gelombang kekerasan Presiden Rodrigo Duterte.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada hari ketika ia terbunuh, Normita, perempuan gemuk dengan wajah yang masih bugar, memiliki firasat buruk, “Mungkin karena itu saya melarang dia pergi.”

Tim Ceritalah sudah bertemu Normita dua kali dalam enam bulan terakhir. Pertama kali di gubuknya yang hanya punya satu ruangan di Tondo, Manila, tempat ia hidup dengan keluarganya. Namun, karena ia menolak untuk diam dan menerima kematian keji anaknya begitu saja, Normita harus kabur dari rumah itu dan saat ini hidup dengan saudaranya di bagian lain kota Manila.

Normita masih ingat akan kejadian sore itu dengan sangat jelas. Anaknya menerima pesan teks dari seorang teman yang mengajaknya keluar. Meski ibunya khawatir, sang anak menenangkannya, lalu buru-buru pergi.

“Semua memanggil dia ‘Tirik’ (mengacu kepada gerakan mata ketika terjadi serangan epilepsi), karena dia memang menderita epilepsi.”

Beberapa jam berikutnya, ia mendapatkan berita dari seorang tetangga bahwa para polisi menembakkan pistol di dekat jalur kereta. Ia lalu mencoba mengontak anak lelakinya – namun hasilnya nihil. Malam pun tiba.

Tetangga tersebut datang kembali dengan berita baru. “Tirik meninggal dunia.”

Normita lalu bergegas ke tempat kejadian perkara (TKP) – pikirannya terpaku kepada warna dan merk kaus yang dikenakan anak lelakinya: baju Nike berwarna kuning terang. Menurut si tetangga, korban mengenakan baju biru dan abu-abu.

“Saya tidak percaya, tapi saya menangis.”

Sesampainya di rel kereta, ia diusir tapi sempat mengintip sekilas jenazah itu, tergeletak di sebelah beberapa orang penduduk desa yang ditangkap dan dijaga ketat oleh sejumlah anggota polisi.

Selanjutnya terasa buram, karena dengan perasaan tertekan, Normita mencoba mendekati jenazah itu. Namun berkali-kali ia tidak diperkenankan karena masih dilakukan olah TKP.

“Saya hanya menangis dan menangis.”

Pagi pun datang membawa cahaya dan kepastian yang menyedihkan. Normita akhirnya dapat melihat jenazah dan ia menangis lagi. Tidak ada keraguan, ia dapat melihat wajah Djastin. Namun ia tidak diperkenankan mendekat dan mengklaim jenazah itu.

Beberapa hari kemudian, polisi menyatakan bahwa Djastin tewas dalam baku tembak.

Namun, Normita mendengar desas-desus bahwa beberapa polisi yang datang ke TKP, mengatur jenazah Djastin agar ia tidak terlihat tewas dengan dua tangan diangkat ke atas, untuk mengaburkan fakta bahwa ia sudah menyerah ketika ditembak.

“Kenapa tidak ditangkap saja?” tanyanya, “Dia sudah angkat tangan.”

Marah kepada sesuatu yang ia anggap sebagai sesuatu yang ditutup-tutupi, Normita pun mulai berbicara ke publik. Ia bahkan ingin menyeret pemerintah ke dalam kasus ini. Terlebih lagi, ia pun bersaksi tentang pengalamannya dan menjadi relewan Rise Up – sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang membantu keluarga korban pembunuhan di luar hukum.

Tim Ceritalah dapat merasakan semangatnya ketika ia berbicara. “Saya ingin membantu dan menemani keluarga-keluarga yang memiliki pengalaman yang sama dengan saya. Kita semua memiliki orang tersayang yang terbunuh oleh aksi Duterte dalam perang terhadap narkoba.”

Kedukaannya sebagai seorang ibu sangatlah mendalam. “Terkadang… saya berpikir dan membayangkan ia tidur di sebelah saya. Saya bisa memeluknya. Saya hanya bisa menangis dan menangis. Anak saya yang lain berkata pada saya, ‘Ibu, berhenti menangis, Ibu’. Saya bilang, ‘Ibu tidak bisa menerimanya’. Tetapi saya tetap mencoba tegar untuk mereka. Mereka dapat melihat saya tertawa untuk melupakannya, namun saya tidak bisa menerima ini. Saya belum bisa menerimanya.”

Namun, hidup terus berlalu. Ia berusaha keras untuk tetap positif dan Hari Raya Natal pun semakin mendekat. Ia kini sedang menyiapkan bingkisan untuk 200 keluarga yang terpengaruh perang terhadap narkoba.

Ini adalah Natal ketiganya tanpa Djastin, dan bagi Normita, “Natal selalu tentang keluarga.” Keluarganya akan datang ke tempat Djastin dimakamkan. Perayaan ini amatlah pedih, apalagi mengingat ulang tahun Djastin jatuh pada 31 Desember.

Wajah Normita mulai cerah ketika ia mengingat sejumlah protes dan juga penampilan di televisi, di mana ia ikut terlibat. Ia bahkan menulis sebuah puisi yang didedikasikan untuk mendiang Djastin. Video ketika ia membacakan puisi itu menjadi viral.

Namun, Normita belum puas. Ia masih berusaha memenangkan kasus anaknya dan, di sisi lain, untuk para keluarga yang tercerai-berai akibat pembunuhan-pembunuhan ini.

“Polisi mencoba menyogok saya dan suami saya untuk menutup kasus ini, tapi saya akan membuat mereka malu. Saya akan terus berjuang selama saya masih hidup.” ***

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus