Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai hakim agung, Gazalba Saleh seharusnya memberikan teladan bagi penegakan hukum. Dia boleh-boleh saja merasa tak bersalah dalam kasus suap yang dituduhkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi dia tak seharusnya mangkir dari panggilan pemeriksaan dan menundanya dengan berbagai alasan.
Jika tak terima dengan status tersangka yang kini disandangnya, Gazalba bisa saja menyodorkan segepok bukti pelanggaran prosedur dan memohon keadilan di meja hijau. Sebagai hakim yang menangani banyak kasus pidana, Gazalba tentu paham benar aturan hukum acara serta pentingnya keterangan tersangka dalam proses penyidikan perkara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, alih-alih bersikap kooperatif, Gazalba malah mangkir dari pemanggilan KPK dengan alasan sedang cuti. Padahal cuti dari pekerjaan tak relevan sebagai alasan untuk menunda jalannya proses penegakan hukum. Karena itu, jangan salahkan khalayak ramai ketika menuding upaya Gazalba mengajukan keberatan dalam sidang pra-peradilan hanyalah taktik mengulur waktu.
Ketika menetapkan Gazalba sebagai tersangka, KPK seharusnya telah memiliki bukti permulaan yang cukup lengkap. Di tengah berbagai kritik mengenai kinerja dan independensinya yang melorot, KPK tak boleh gegabah mengumumkan status tersangka seorang hakim agung. Apalagi ini merupakan kasus korupsi perdana yang menyeret hakim agung sebagai tersangka.
Jika dirunut, kasus Gazalba sebenarnya buntut dari kasus yang sebelumnya menjerat hakim agung Sudrajat Dimyati dalam perkara pailit Koperasi Simpan-Pinjam Intidana di Semarang, Jawa Tengah. Dalam kasus itu, Sudrajat dan sembilan orang lainnya sudah dinyatakan sebagai tersangka. Mereka aktif mengatur pembagian suap untuk mengamankan perkara kasasi pailit koperasi tersebut.
Dalam operasi tangkap tangan di kasus Koperasi Intidana, KPK bahkan sempat mengamankan uang dengan total nilai Rp 2,2 miliar pada 21 September lalu. Belakangan terungkap, dana itu milik dua nasabah koperasi dan pengacara mereka untuk menyuap hakim agung serta pegawai Mahkamah Agung (MA). Dengan suap itu, rupanya mereka ingin memastikan para hakim agung akan mempailitkan koperasi itu. Kini, setelah terbongkarnya kasus suap Intidana, MA membatalkan putusan pailit koperasi itu.
Tak hanya gugatan pailit, pada saat yang sama, para nasabah Koperasi Intidana juga melaporkan ketua koperasi, Budiman Gandi Suparman, ke polisi. Setelah serangkaian persidangan di pengadilan negeri setempat, majelis hakim memutuskan Budiman tak bersalah. Tapi, di tingkat kasasi, Budiman justru divonis bersalah dengan hukuman 5 tahun penjara. Gazalba adalah salah satu hakim dalam memutuskan kasasi itu. Dua hakim agung lainnya adalah Sri Murwahyuni dan Prim Haryadi. KPK mencium ada bau suap dalam putusan Gazalba di perkara itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembangkangan Gazalba terhadap proses hukum KPK bisa memperburuk persepsi publik terhadap hakim dan lembaga peradilan. Aksi lancungnya itu makin memperparah karut-marut dunia hukum. Orang yang mengerti hukum terkesan bisa seenaknya mencari berbagai alasan untuk mangkir. Padahal, sebagai hakim, Gazalba seharusnya menjadi orang pertama yang menghormati dan taat hukum.
Praktik jual-beli putusan di lembaga peradilan sudah lama santer terdengar. Perkara Gazalba memberikan konfirmasi mengenai maraknya korupsi di pengadilan kita. Ini pekerjaan rumah besar untuk MA. Lembaga yudikatif itu seharusnya betul-betul memutuskan perkara tanpa pengaruh apa pun dan siapa pun.
Agar MA benar-benar menjadi benteng terakhir bagi pencari keadilan, tidak ada jalan lain, mesti ada reformasi total. Pembenahan harus dimulai dari proses perekrutan hakim. Komisi Yudisial seharusnya diberi kewenangan penuh dalam proses seleksi. Selain itu, pengawasan terhadap para hakim dan pegawai MA harus lebih ketat. Hanya dengan cara itulah kepercayaan publik pada kredibilitas sistem peradilan kita bisa dipulihkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo