Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi tidak boleh menutup-nutupi penyebab kematian Brigadir Nopriansyah Josua Hutabarat. Pengusutan kematian Josua yang tidak transparan hanya akan membuat publik semakin curiga ada sesuatu yang hendak disembunyikan dari khalayak ramai. Apalagi kematian itu diselumuti kejanggalan yang memutarbalikkan nalar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Brigadir Josua tewas karena—menurut klaim polisi—terlibat baku tembak dengan Bharada E, Jumat 8 Juli lalu. Korban adalah sopir istri Ferdy Sambo, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Sedangkan pelaku merupakan ajudan Kadiv Propam tersebut. Menurut versi polisi, sebelum baku tembak Brigadir Josua ketahuan hendak melakukan pelecehan terhadap istri Ferdy Sambo yang sedang berada di kamarnya. Belakangan terkuak: ada luka lain di sekujur tubuh Josua selain bekas luka tembakan, antara lain luka sayatan dan pukulan yang diduga berasal dari benda tumpul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memang sudah membentuk tim khusus untuk mengusut kasus ini. Ia juga berjanji tim pencari fakta akan bertindak objektif, transparan, dan akuntabel. Namun janji itu belum terbukti di lapangan.
Pengusutan yang dilakukan polisi berjalan lamban. Keterangan yang mereka sampaikan belum mampu menjawab pelbagai kejanggalan yang muncul. Mereka juga gagal memaparkan versi yang lebih masuk akal soal hubungan sebab dan akibat peristiwa tersebut.
Keterangan polisi tak disertai bukti yang memadai. Publik pun seperti dipaksa menelan begitu saja klaim polisi meski sulit diterima akal sehat. Mulai dari jeda waktu kejadian dan pengungkapan, kronologi yang berubah-ubah, kamera pengawas yang rusak hingga dekoder CCTV di pos satpam kompleks yang diganti oleh polisi sehari setelah insiden. Jenis senjata milik Bharada E juga dinilai tak wajar karena biasanya senjata model itu hanya dipakai seorang perwira.
Bukan hanya itu. Klaim polisi soal insiden baku tembak dari jarak dekat masih menjadi tanda tanya karena Bharada E sama sekali tidak terluka meski disebut telah ditembak tujuh kali. Sedangkan jumlah luka di tubuh korban justru berbeda dari jumlah peluru yang ditembakkan ke arahnya. Pihak keluarga juga mempersoalkan luka sayatan di beberapa bagian jasad Josua.
Tak heran bila sejumlah kejalanggalan itu menyulut rasa curiga masyarakat. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi juga tidak bisa sepenuhnya percaya dengan apa yang disampaikan polisi. Hal itu tak lepas dari rekam jejak insititusi penegak hukum ini di masa lalu yang kerap tak tegas dan terbuka bila menyangkut kasus “orang dalam”.
Sikap polisi dalam menjalani tahap pengusutan kasus ini tak membantu untuk mengenyahkan keraguan tersebut. Olah tempat kejadian perkara, misalnya, sudah dilakukan. Tapi pelaksanaannya berlangsung diam-diam dan tidak transparan. Beberapa jurnalis yang mencoba menggali fakta di sekitar tempat kejadian bahkan sempat diintimidasi anggota kepolisian. Ketika memaparkan hasil olah TKP, polisi tak menunjukkan secuil pun bukti kepada media, termasuk foto-foto TKP.
Polisi juga berdalih kesulitan menelusuri bukti, seperti hilangnya tiga ponsel milik Josua. Padahal jika mau bisa saja mereka mengecek isi pesan WhatsApp korban dengan meminta informasi tersebut ke server Meta dan meminta data ke operator telekomunikasi lainnya. Melacak lalu lintas komunikasi dan isi pesan di ponsel korban akan jadi faktor krusial dalam pengungkapan kasus ini. Dari data tersebut, kita dapat mengetahui motif dari peristiwa tersebut, serta membaca psikologis korban sebelum penembakan terjadi.
Tim khusus yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo perlu lebih sigap bergerak. Semakin lambat pengusutan kasus, spekulasi di masyarakat bisa semakin liar. Fakta-fakta bisa keburu lenyap. Bukan tidak mungkin, upaya untuk menghalang-halangi penggalian fakta di lapangan masih terus terjadi.
Oleh arena itu, satu hal yang mendesak dilakukan untuk mempercepat pengungkapan kasus ini adalah menonaktifkan Ferdy Sambo dari jabatannya. Status dia yang non-aktif akan lebih memudahkan pengusutan dan pencarian bukti di lapangan, baik saat memeriksa Sambo maupun saksi-saksi lainnya.
Di sisi lain, Kapolri perlu mendukung ikhtiar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang hendak mengusut kasus ini secara mandiri dengan meminta seluruh anak buahnya kooperatif. Selain bisa mengikis rasa curiga masyarakat, hasil penyelidikan independen versi Komnas HAM akan sangat berharga sebagai pembanding.
Kentalnya kesangsian masyarakat seharusnya menjadi alarm bagi polisi. Mereka harus membuka diri terhadap penyelidikan pihak independen. Meski belum sepenuhnya bisa mengembalikan kepercayaan publik, hanya dengan cara itulah polisi bisa menjaga kredibilitasnya. Pengungkapan kasus ini akan menentukan arah integritas polisi di masa depan.