Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo dan para menterinya harus lebih terbuka dan jujur saat menyampaikan kinerja investasi asing di dalam negeri. Sudah banyak bukti jika apa yang pemerintah pamerkan sebagai pendanaan atau arus investasi asing nyatanya baru sebatas janji, bukan realisasi.
Investasi Softbank di Ibu Kota Nusantara dan rencana masuknya Tesla, pabrikan mobil listrik asal Amerika Serikat, hanyalah segelintir dari janji manis tersebut. Yang terbaru perihal pendanaan transisi energi di Indonesia dari Amerika Serikat dan negara-negara G7 sebesar US$ 20 miliar.
Tertuang dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP), komitmen pendanaan dari negara-negara maju kini belum jelas nasibnya. Adalah Menteri Koordinator Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan yang menyebutkan skema JETP tersebut hanya ‘omong doang’. Padahal, komitmen pendanaan ini sempat menjadi salah satu kesepakatan yang pemerintah gembar-gemborkan saat KTT G20 berlangsung di Bali, November lalu.
Pamer komitmen memang salah satu jurus mendorong investor lain menyusul masuk ke dalam negeri. Ketersedian lahan, juga peluang pasar, bisa menjadi modal awal menarik investor membenamkan uangnya di Indonesia. Tapi ada hal lain yang lebih mendasar agar komitmen pendanaan benar-benar terealisasi, yakni persamaam persepsi mengenai standar-standar yang dianut secara global.
Dalam konteks JETP, negara-negara maju itu menjanjikan mobilisasi dana besar dari negara mereka. Baik perbankan, investor pribadi, investor institusi hingga pengelola dana pensiun didorong untuk turut mengucurkan duit buat JTEP. Tapi pendanaan itu ada syaratnya. Agar bisa mengakses dana murah, Indonesia harus bersedia mengikuti standar global dalam transisi energi.
Misalnya, kucuran dana untuk pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap penghasil emisi mesti dibarengi dengan proyek baru pembangkit energi bersih. Dengan begitu, pemilik dana lebih yakin bahwa uang yang mereka kucurkan benar-benar disalurkan untuk transisi energi bersih. Motif transisi energi itulah yang mendorong mereka bersedia mengucurkan dana murah.
Di dalam negeri, komitmen pemerintah menjalankan transisi energi, dari bahan bakar fosil ke sumber energi baru dan terbarukan (EBT) masih setengah hati. Rencana pensiun dini PLTU batu bakar tidak berlaku bagi sejumlah proyek yang masuk kategori proyek strategis nasional. Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap jalan di tempat akibat inkosistensi kebijakan Kementerian Energi Sumber Daya Alam dan Mineral.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan juga bisa menjadi penghambat proses pengalihan energi kotor ke energi ramah lingkungan. Rancangan ini masih memuat celah bagi pemanfaatan produk turunan batu bara, seperti gas metana batu bara, batu bara tercairkan, dan batubara tergaskan. Teknologi untuk menghasilkan produk turunan ini menghambat penurunan emisi gas rumah kaca.
Bukan hanya itu. Porsi pengaturan energi baru dalam RUU tersebut lebih dominan ketimbang energi terbarukan. Padahal Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, sekitar 3.686 gigawatt. Artinya, Indonesia lebih berpotensi memaksimalkan energi terbarukan ketimbang energi baru.
Masalah lainnya, skema JTEP ini juga sangat bergantung pada kesediaan PT PLN (Persero) dan produsen listrik swasta (IPP) mengikuti standar global ihwal skema transisi energi. Bila PLN atau IPP belum siap mengikuti standar tersebut, jangan harap negara maju bersedia memobilisasi dana.
Kebiasaan para menteri memamerkan pepesan kosong ihwal pendanaan atau investasi asing menurun dari Presiden Joko Widodo. Dalam konteks lain, bolak-balik presiden sesumbar sudah banyak pemodal antre masuk ke Ibu kota Negara (IKN). Sederet insentif sudah ditawarkan. Tapi hingga detik ini, belum ada satu pun investor yang benar-benar membenamkan duitnya di proyek mercusuar tersebut. Ketertarikan mereka baru sebatas komitmen awal yang masih bisa batal setiap saat.
Ketimbang menggerutu pendanaan asing batal masuk ke Indonesia, kita lebih baik intropeksi. Bisa jadi masalahnya ada di kita sendiri, mulai dari ketidakjelasan model bisnis dan imbal hasil dari sebuah program yang ditawarkan, hingga inkonsistensi kebijakan. Tanpa pembenahan itu sulit mewujudkan janji investasi menjadi terealisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini