Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KORUPSI lapis kedua proyek menara pemancar mungkin ilustrasi paling pas untuk pepatah “uang setan dimakan jin”. Kejaksaan Agung mesti membuka kasus baru ini, termasuk menyelidiki kemungkinan adanya “jin” di tubuh mereka sendiri. Pada saat yang sama, Korps Adhyaksa juga harus menyelesaikan kasus utama yang diduga merugikan negara triliunan rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lapis pertama korupsi ini berkaitan dengan proyek pengadaan base transceiver station (BTS) 4G periode 2021-2022 di Kementerian Komunikasi dan Informatika senilai Rp 28,3 triliun. Kejaksaan Agung telah menetapkan tersangka kasus ini. Di antaranya Menteri Johnny Gerard Plate serta Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Anang Achmad Latif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah pengusutan megakorupsi ini, terungkap lapis korupsi berikutnya: usaha menutup perkara melalui serangkaian penyuapan. Adalah Irwan Hermawan, komisaris PT Solitechmedia Synergy, yang juga terdakwa perkara ini, yang membukanya di persidangan. Menurut dia, gerilya yang melibatkan banyak orang itu sempat berhasil menahan laju perkara.
Alkisah, Irwan mengaku bersama asistennya, Windi Purnama, mengepul duit sekitar Rp 243 miliar dari para pemenang proyek BTS. Sekitar Rp 100 miliar dialirkan buat menghentikan penanganan kasus di Kejaksaan Agung. Duit juga disetor kepada sejumlah tokoh, antara lain politikus muda Golkar sekaligus Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo. Ia ditengarai menerima Rp 27 miliar untuk operasi ini ketika masih berstatus staf khusus Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto. Kejaksaan telah memeriksa Dito. Sehari setelahnya, pengacara Irwan, Maqdir Ismail, mengatakan ada pengembalian duit Rp 27 miliar kepada kliennya.
Tak ada jalan lain, Kejaksaan Agung harus segera menelusuri usaha penutupan kasus korupsi BTS ini. Pernyataan petinggi lembaga ini untuk mengusut mereka yang terlibat pidana perintangan penyidikan serta percobaan penyuapan mesti dijalankan serius. Langkah pertama, periksa para jaksa yang menangani perkara sejak awal. Pengusutan internal penting agar tak ada lagi “sapu kotor” yang ikut menangani kasus korupsi di Kejaksaan Agung.
Langkah kedua, Kejaksaan Agung perlu membuka kemungkinan penerapan pasal pencucian uang. “Duit setan” proyek BTS diduga mengalir ke mana-mana. Dalam keterangan Irwan jelas disebut nama-nama yang berperan sebagai makelar pengurusan perkara. Aliran itu bahkan menembus lembaga penegak hukum di luar Kejaksaan Agung.
Baca liputannya:
- Dari Mana Sumber Uang Suap Korupsi BTS?
- Bagaimana Kejaksaan Agung Mengusut Suap Korupsi BTS
- Bagaimana Suap Korupsi BTS Mengalir
Secara normatif dan standar, Kejaksaan Agung mesti meminta keterangan mereka yang disebut dalam pengakuan Anang. Indikasi kebenaran informasi yang disampaikan Anang terlihat pada pengembalian duit Rp 27 miliar, sehari setelah adanya pengakuan Dito. Penerapan pasal pencucian uang memungkinkan penelusuran menyeluruh, terutama dengan melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Kejaksaan Agung secara bersamaan mesti menangani dua lapis korupsi BTS itu secara serius. Pada kasus utama, tuduhan adanya politisasi kasus—karena melibatkan petinggi Partai NasDem—mesti dipatahkan dengan pengusutan terhadap semua yang diduga terlibat. Adapun pengusutan kasus kedua perlu dilakukan agar Kejaksaan Agung tak menjadi sarang penyamun, tempat jaksa memeras mereka yang beperkara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Setan dan Jin dalam Korupsi BTS"