Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/EconAc
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Batavia, pada 1730-an, saat Belanda sedang jaya-jayanya memonopoli jalur perdagangan rempah Nusantara, wabah malaria merebak. Hampir 70 persen pendatang di kota itu terjangkit malaria dan hanya sebagian kecil yang berhasil selamat kembali ke Belanda. Sementara itu, penduduk pribumi hanya terjangkit sedikit, mengingat sistem kekebalan tubuh mereka yang dianggap sudah beradaptasi dengan kondisi daerah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada masa itu, Belanda butuh waktu 70 tahun lebih untuk lepas dari ancaman malaria. Namun harga komoditas pala dan cengkih terjun bebas. Perusahaan dagang Belanda, VOC, kelabakan sehingga harus melebarkan sayap ke komoditas lain, seperti kopi dan lada.
Wabah bisa sangat lama teratasi jika belum terdapat hasil penelitian yang komprehensif terhadap penyebab dan cara penyembuhannya. Namun zaman sudah berubah. Berbeda dengan Belanda yang membutuhkan puluhan tahun untuk menemukan tanaman kina sebagai penangkal malaria, dunia kini langsung bereaksi dengan berbagai cara antisipatif hanya dalam waktu singkat terhadap penyebaran virus corona Covid-19. Masker, hand sanitizer, tata cara bergaul, pola hidup sehat, sampai alat-alat kesehatan untuk paramedis kembali didengungkan urgensinya dalam waktu yang sangat cepat. Bahkan beberapa negara justru sudah mengumumkan bakal memproduksi vaksin penangkal Covid-19, seperti Cina, Amerika Serikat, dan Israel.
Tentu hal ini menjadi berita baik di tengah ketakutan yang terus merebak. Setidaknya dunia tidak lagi membutuhkan puluhan tahun untuk mendapatkan kepastian apakah Covid-19 benar-benar bisa dilawan atau tidak. Kendati demikian, imbasnya pada perekonomian dunia sudah tak sempat dibendung. Bursa-bursa utama, termasuk Bursa Efek Indonesia, mendadak terbakar. Bahkan mata uang Garuda pun ikut jungkir balik dengan cepat melesat menembus level Rp 15 ribu per dolar Amerika, lalu menerobos level Rp 16 ribu, dan belakangan digadang-gadang terus berusaha mencoba mendobrak level psikologis Rp 17 ribu per dolar Amerika. Bank Indonesia berusaha mengguyur pasar sekunder dengan likuiditas, tapi psikologi pasar sudah terlalu terperosok ke dalam jurang ketakutan, sulit untuk dibujuk dengan guyuran likuiditas.
Pergerakan negatifnya terbilang cukup cepat sekaligus sangat signifikan. Faktor utama penguatan dolar, pertama-tama, adalah ketakutan itu sendiri. Kekhawatiran pasar pada percepatan resesi dunia akibat wabah corona mengakibatkan aksi panik beli terhadap aset-aset non-dolar dan berpindah ke aset berdenominasi dolar. Tak mengherankan, memang, karena hal semacam ini sudah menjadi kebiasaan pasar. Ketika ancaman krisis makin kuat dan ketidakpastian meningkat, pelaku pasar cenderung memilih aset-aset yang dianggap aman, seperti dolar Amerika dan emas. Permintaan dolar langsung melonjak tajam, yang membuat harganya terbawa naik, walaupun kondisi ekonomi di Amerika sendiri masih sangat tidak pasti.
Dengan kata lain, kedua, kepercayaan terhadap rupiah mendadak melemah. Walhasil, pelaku pasar ramai-ramai meninggalkannya dan berpindah ke aset-aset berdenominasi dolar. Covid-19 hanya menjadi pemicu keberanian pasar. Selama ini, keraguan pasar terhadap pemerintah Indonesia terbilang malu-malu. Di satu sisi, pasar tampak mendukung apa pun kebijakan ekonomi pemerintah. Tapi, di sisi lain, hasil yang diraih jauh dari harapan, terutama pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan investasi, dan upaya-upaya pemerintah untuk menggenjotnya yang tidak mampu meyakinkan pasar. Kedatangan Covid-19 memunculkan keberanian bagi pelaku pasar untuk hengkang dari aset-aset berdenominasi rupiah. Pemerintah dianggap akan ketiban masalah yang lebih berat dan akan semakin kesulitan untuk memperbaiki kondisi makro-ekonomi nasional.
Ketiga, juga dari sisi reaksi domestik, nyaris belum ada sentimen positif yang mampu menahan pelemahan tersebut. Apalagi pemerintah dianggap sangat terlambat dalam bertindak. Beberapa langkah yang diambil pemerintah pun, baik moneter maupun fiskal, belum mampu meyakinkan pasar. Sampai hari ini, kepercayaan terhadap otoritas dalam mengantisipasi dan memulihkan rasa khawatir publik masih sangat rendah. Belum lagi tudingan beberapa pihak internasional yang ragu terhadap langkah-langkah antisipasi yang diambil pemerintah dalam menghadapi penyebaran virus corona dan imbas-imbasnya.
Keempat, harus diakui, selama ini memang kondisi fundamental ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap guncangan, tak terkecuali guncangan oleh penyebaran virus Covid-19. Pada saat pemerintah bersiap menggelontorkan anggaran, justru pada saat yang sama pemerintah mengumumkan ancaman defisit fiskal. Sangat mengkhawatirkan, bukan? Apalagi, sebelumnya, ancaman pertumbuhan ekonomi yang akan terperosok ke bawah 5 persen hampir disepakati oleh semua pihak, termasuk pemerintah sendiri.
Ancaman defisit neraca dagang, kekurangan instrumen teknis penanggulangan Covid-19, kelangkaan komoditas tertentu sehingga memperbesar peluang impor, pengalihan belanja negara ke pos-pos kesehatan, pembatalan beberapa proyek strategis nasional, dan lainnya adalah beberapa persoalan yang akan mengurangi daya gedor perekonomian nasional ke depan. Semuanya, diterima atau tidak, adalah masalah-masalah yang memperburuk prospek ekonomi Indonesia di mata pelaku pasar.
Jadi, memang secara keseluruhan, baik fundamental maupun teknis, ekonomi nasional sedang tertekan dan posisi rupiah makin terpojok. Mata uang Garuda berpeluang terus melemah dalam waktu-waktu mendatang di satu sisi, dan angka proyeksi pertumbuhan ekonomi juga sangat berpeluang untuk terus merosot di sisi lain.