Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULTAN Hamengku Buwono X mendengarkan paparan Jusuf Kalla dengan saksama. Dua tokoh Partai Golkar ini duduk semobil dalam perjalanan dari Gedung Bimo, Kotabaru, Yogyakarta, menuju Bandara Adisutjipto, Sabtu dua pekan lalu. Acara temu kader Beringin di kota itu baru saja berakhir. Perjalanan makan waktu sekitar 20 menit. Kalla, wakil presiden yang juga Ketua Umum Partai Golkar, lalu menjelaskan prospek kemenangan partai Beringin di Yogyakarta dalam pemilihan umum April depan.
”Jadi Sultan perlu apa?” tanya Kalla di akhir paparannya, seperti ditirukan seorang sumber Tempo yang mengetahui pertemuan itu. Sultan terdiam. Gubernur Yogyakarta yang sudah mendeklarasikan niatnya menjadi calon presiden ini tahu bisa meminta apa saja ketika itu. Kalla sabar menunggu jawaban.
”Saya perlu bantuan meneruskan pembangunan bandar udara,” Sultan buka suara. Proyek perluasan bandar udara di Yogyakarta memang kini terhenti akibat kekurangan dana. Biaya pembebasan lahan membengkak dua kali lipat. Tak mau membuang waktu, Kalla langsung merespons permintaan Sultan. Dia menelepon Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal dan meminta perluasan Bandara Adisutjipto rampung tahun ini juga.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Rully Chaerul Azwar, yang mendampingi Kalla dalam kunjungan dua pekan lalu itu, menilai respons kilat Kalla atas permintaan Sultan sebagai hal yang wajar saja. ”Tapi belum ada komitmen apa pun selain itu,” kata Rully cepat.
”Komitmen” yang dimaksud Rully terkait dengan kabar yang berembus kencang setelah pertemuan Kalla-Sultan ini. Sejumlah pengurus Golkar Yogyakarta mengatakan merekalah makcomblang yang mengatur pertemuan Yogya. ”Kami ingin mengusung pasangan ini di pemilihan presiden,” kata Wakil Ketua Golkar Yogyakarta Dedy Suwadi pekan lalu. Pertemuan Yogya, kata dia, adalah langkah awal mengusung duet ini ke pucuk pimpinan negeri.
Meski resminya ”belum ada apa-apa”, kemesraan Sultan-Kalla memang tergambar jelas dalam rapat temu kader Beringin pada Sabtu dua pekan lalu itu. Di deret terdepan, mereka duduk berdampingan. Ketika tiba gilirannya berpidato, Kalla membuat hadirin terperangah saat berujar, ”Orang Bugis dan orang Yogya tidak lagi bisa dipisahkan.”
Menurut Kalla, yang asli Bugis, sejarah membuktikan orang Bugis dan orang Yogya bahu-membahu berjuang melawan penjajah sejak ratusan tahun lampau. ”Di keraton Sultan masih ada pasukan Bugis dan pasukan Daeng. Itu leluhur kita semua,” katanya. Tepuk tangan hadirin membahana.
Pidato tanpa teks Kalla itu langsung melumerkan hubungan dua politikus Beringin yang belakangan sempat beku. Hubungan Sultan-Kalla tegang setelah Sultan kian merapat ke kubu Megawati Soekarnoputri, calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sehari sebelum acara temu kader itu, Sultan bahkan baru saja bertemu dengan suami Megawati, Taufiq Kiemas, di Hotel Hyatt Regency, Yogyakarta.
Itulah mengapa Ketua Golkar Yogyakarta Gandung Pardiman sedikit menyindir Sultan saat berpidato membuka acara. ”Jika ada ruang dan waktu yang bagus, kenapa memilih hanya menjadi calon wakil presiden? Bila ada tawaran kurang sepadan, mohon dipikirkan ulang,” katanya. Suara Gandung disambut tepuk tangan seribuan kader Beringin yang memadati Gedung Bimo. Sangat mungkin itulah pesan yang hendak disampaikan Kalla kepada Sultan hari itu.
DUA bulan menjelang pemilihan umum, Golkar adalah satu-satunya partai besar yang belum punya calon presiden sendiri. Ini berbeda dengan PDI Perjuangan dan Partai Demokrat, yang jauh-jauh hari sudah memastikan bakal mengusung Megawati dan Yudhoyono.
Posisi Ketua Umum Golkar yang juga wakil presiden membuat Jusuf Kalla terjepit. Maju kena, mundur kena. Dia tak mungkin mendeklarasikan diri sebagai calon RI-1. Soalnya, ”Komitmen kami adalah mendukung SBY-JK sampai akhir 2009,” kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu Golkar Firman Subagyo pekan lalu.
Karena itulah Kalla selalu menampik suara yang mendukung dirinya menjadi calon presiden. Ketika dukungan sejumlah pengurus daerah Beringin pertama kali disampaikan dalam Rapat Pimpinan Nasional Golkar tiga tahun lalu, Kalla cepat-cepat meminta gerakan itu diredam. ”Soal calon presiden akan dibahas satu tahun menjelang pemilihan,” katanya ketika itu.
Mendekati pemilu, Kalla malah menghapus mekanisme konvensi, yang pada 2004 dipakai untuk menyeleksi calon presiden partai itu. Dalam banyak kesempatan, dia terang-terangan menyebutkan konvensi Golkar tidak berhasil memilih calon presiden yang punya kans menang.
Tak bisa tidak, manuver Kalla ditafsirkan sebagai upaya mengamankan peluang pasangan SBY-JK untuk maju lagi pada pemilihan presiden tahun ini. Orang-orang lingkar dalam Kalla tak sepenuhnya membantah. Firman Subagyo, misalnya, mengaku secara pribadi mendukung penuh pasangan incumbent ini untuk masa jabatan kedua. ”Untuk saat ini, mereka memang pilihan terbaik,” katanya.
Hanya ada satu masalah ”kecil”. Pinangan resmi Yudhoyono dan Partai Demokrat sampai sekarang belum datang. Lampu hijau memang sempat diberikan Presiden Yudhoyono akhir tahun lalu. ”Sangat mungkin saya berpasangan kembali dengan Jusuf Kalla,” katanya pada September 2008. Namun, setelah itu, tak ada pendekatan apa-apa lagi.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Marzuki Alie membenarkan. Dia mengaku Demokrat masih harus menunggu hasil pemilu parlemen sebelum bisa menetapkan pilihan.
”Kalau dipaksakan sekarang, modal politik setiap partai masih belum jelas,” katanya. ”Kalau belum jelas, bagaimana mau punya bargaining position dalam negosiasi?” Kalau perolehan suara Golkar turun drastis, ”Masak mau memilih yang jeblok?” ujarnya sambil tertawa.
Ketidakjelasan ini menerbitkan kegelisahan politikus Golkar. Merekalah yang lalu gencar meminta partai Beringin mengusung kandidatnya sendiri. Apalagi Rapat Pimpinan Nasional Golkar di Balai Sidang Jakarta, Senayan, Oktober 2008, sudah memutuskan: jika Golkar menang dalam pemilihan legislatif dengan perolehan suara di atas 30 persen, partai itu harus mengajukan paket calon RI-1 dan RI-2 dari kadernya sendiri.
Pengurus Golkar, Anton Lesiangi, menyodorkan nama Sultan Hamengku Buwono X sebagai calon presiden dari partainya jika target suara ini tercapai.
Jika tidak tercapai? Anton menuntut Kalla bertanggung jawab. ”Kalau suara kita jatuh, paling lambat akhir April harus diadakan musyawarah luar biasa untuk mengganti seluruh pengurus pusat Golkar,” katanya keras.
Dengan kata lain, apa pun hasil pemilu April nanti, posisi Kalla bakal tetap terjepit.
Tapi Kalla bukanlah politikus kemarin sore. Dia dikenal sebagai saudagar yang panjang akal. Tak aneh jika kini suara yang mendorong Kalla maju sendiri sebagai calon presiden dari Golkar menguat. Rully Chaerul Azwar membenarkan. ”Tapi ini baru analisis dan skenario saja,” ujar Rully.
Pertemuan Kalla-Sultan di Yogyakarta dua pekan lalu, kata Rully, membuat publik yakin Kalla mulai memainkan jurus barunya. ”Padahal ya cuma bertemu biasa saja,” ujarnya mengelak. Namun Rully mengakui, berkat pertemuan itu, komunikasi antara Sultan dan Kalla mulai cair kembali. Setelah cair, tentu apa pun bisa terjadi. ”Semua opsi masih terbuka,” katanya.
Wahyu Dhyatmika, Sahala Lumbanraja (Jakarta), Hari Tri Wasono (Kediri), Bernada Rurit (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo