Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMINAR itu dibatalkan meski undangan telah disebar. Beberapa tamu yang tak sempat menerima surat pemberitahuan pembatalan kecele saat hadir di Auditorium Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian hari itu, awal Januari lalu. ”Saya datang kok sepi. Saya tanya orang di sana, tapi tidak ada yang tahu,” kata pakar pemasaran Hermawan Kertajaya, salah satu peserta.
Meski panitia tutup mulut soal penyebab gagalnya acara, tak sulit menebak siapa yang tak suka dengan kegiatan itu: polisi. ”Ini masih mentah. Materinya belum dipresentasikan secara resmi kepada pimpinan kepolisian,” kata Brigadir Jenderal Polisi Prasetyo sambil menunjuk dokumen berjudul ”Sistem Pembinaan Sumber Daya Manusia bagi Anggota Kepolisian”. Prasetyo adalah sekretaris kelompok kerja yang membahas rancangan peraturan pemerintah mengenai strata kepangkatan baru di kepolisian—materi yang sedianya akan dibahas dalam seminar itu.
Sejumlah poin dalam rancangan peraturan pemerintah itu memang masih jadi silang sengketa. Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane, salah satu yang terpenting adalah soal pangkat polisi, khususnya di level perwira tinggi. Saat ini jabatan perwira tinggi polisi adalah brigadir jenderal, inspektur jenderal, komisaris jenderal, dan jenderal.
Pada level bawah dan menengah, pangkat polisi telah menggunakan istilah sipil. Sersan, mayor, letnan kolonel, dan kolonel, misalnya, telah diganti dengan brigadir, komisaris polisi, ajun komisaris besar, dan komisaris besar.
Soal pangkat perwira tinggi, draf peraturan itu mengajukan beberapa alternatif. Salah satunya mengganti pangkat jenderal, yang dianggap militeristik, dengan komisaris dan komisioner. Alternatif lain masih memakai istilah jenderal. Draf ini juga mencukur jumlah tingkat kepangkatan dari 22 menjadi 12-13 saja. Enam level kepangkatan terbawah dicoret sama sekali. ”Untuk memudahkan jenjang karier,” kata Prasetyo.
Menurut Neta, penggunaan istilah kepangkatan sipil pada level perwira tinggi sangat penting. ”Istilah militer mendorong polisi mengedepankan cara-cara kekerasan dalam melayani masyarakat,” katanya.
Karena yang atas masih berpangkat militer, kata Neta, budaya militeristik itu menurun ke bawah. ”Organisasi kepolisian kan menggunakan sistem komando,” katanya. Ia menyebutkan penyerbuan kampus Universitas Nasional atau perkelahian antara polisi dan masyarakat sebagai dampak sikap militeristik polisi.
Dalam kelompok kerja, mereka yang menghendaki perubahan pangkat merujuk pada Australia. Di Negeri Kanguru itu, pangkat polisi menggunakan istilah komisioner. Tapi mereka yang tetap ingin menggunakan kata jenderal merujuk pada Prancis dan Malaysia. Menurut Deputi Sumber Daya Manusia Markas Besar Kepolisian Inspektur Jenderal Bambang Hadiyono, polisi tampaknya akan kukuh mempertahankan istilah jenderal. ”Reformasi kepolisian itu bukan sekadar mengubah istilah. Yang penting kultur dan kinerja di lapangan,” katanya.
Guru besar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Farouk Muhammad, menyarankan pangkat bagi perwira polisi dihilangkan saja. Soalnya, para jenderal itu tidak menjalankan fungsi operasional, tapi hanya merumuskan kebijakan. Dengan penghilangan jabatan ini, ”Seorang penyidik tak akan khawatir jika ditelepon seorang brigadir jenderal (yang ingin mempengaruhi penyidikan),” kata Farouk. Soalnya, ”Brigadir jenderal itu hanya seorang kepala sekolah.”
Budi Riza, Akbar Tri Kurniawan, Sahala Lumbanraja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo