Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa kelam yang menodai demokrasi di Indonesia terjadi 27 tahun lalu, tepatnya 21 Juni 1994 saat pemerintahan orde baru atau Orba melakukan pembredelan terhadap Majalah Tempo. Pembredelan ini terjadi setelah pemberitaan dugaan korupsi impor 39 kapal perang bekas Jerman Timur. Pembelian kapal perang tersebut diprakarsai Menteri Riset dan Teknologi saat itu, B.J. Habibie.
Keputusan pembredelan Majalah Tempo diumumkan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko. Pemerintah Orde Baru beralasan pemberitaan yang dimuat bisa membahayakan stabilitas nasional. Hal inilah yang menjadi momentum untuk memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia.
Dalam pembredelan berbagai surat kabar yang telah dilakukan pemerintah Orde Baru selama menjabat, Tempo yang termasuk di dalamnya tidak tinggal diam dan melakukan perlawanan. Mantan Pemimpin Redaksi Tempo kala itu, Bambang Harymurti atau yang akrab disapa BHM mengatakan, “Antara sedih dan marah.”
Berada di Amerika Serikat ketika peristiwa pembredelan, BMH bersama pendiri Tempo Goenawan Mohammad atau yang akrab disapa GM, mereka menolak dan tidak akan tinggal diam dengan keputusan pemerintah yang dilakukan secara sepihak. Goenawan Mohamad menyampaikan pidatonya pasca pembredelan, “Kita boleh kalah, tapi tidak boleh takluk.”
Pencabutan SIUPP atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers Tempo mendapat protes keras dari berbagai kalangan. Selain itu, peristiwa tersebut juga membangkitkan amarah para wartawan muda dan mahasiswa pada masa itu.
Sehari setelah pencabutan SIUPP Tempo, protes terus bermunculan di Jakarta. Ratusan aktivis dan wartawan melakukan long march atau jalan jauh ke kantor Kementerian Penerangan di Jalan Medan Merdeka Barat. Mereka mendesak Harmoko untuk membatalkan pencabutan SIUPP Majalah Tempo, Detik, dan Editor. Aksi ini terus berjalan hingga beberapa hari setelahnya karena pemerintah enggan menuruti permintaan demonstran.
Menurut (alm) Rahman Tolleng, aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tahun 1966, pembredelan tersebut menunjukkan sikap kritisnya sebagai media. “Masih bisa dianggap bahwa dia bisa bertahan sebagai pers yang kritis,” ujarnya. Saat itu ia juga menjadi salah satu evaluator sikap pemberitaan Tempo.
Bukan cuma Majalah Tempo, juga Majalah Editor dan Tabloid Detik juga ikut dibredel. Hal yang menjadi pembeda, Majalah Tempo melawan. Tempo menggugat pembredelan itu ke pengadilan. Saat itu Majalah Tempo menggugat pemerintah di Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN. Tanpa diduga hakim Benyamin Mangkudilaga memenangkan Tempo di Pengadilan.
GERIN RIO PRANATA
Baca: Kronologi Pembredelan Majalah Tempo, Editor dan Detik 27 Tahun Silam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini