BISA dimengerti bila Ketua DPRD , Riau, Himron Saheman, dag-dig-dug ketika memimpin sidang pleno lembaga legislatif itu, 30 November lalu. Hari itu sidang berlangsung dengan acara tunggal: pemilihan gubernur Riau. "Saya khawatir, peristiwa Ismail Suko terulang," kata Himron Saheman kepada TEMPO. Yang dimaksud adalah peristiwa 2 September 1985 tatkala dalam sidang pleno DPRD Riau untuk memilih gubernur, Ismail Suko sebagai calon pendamping memperoleh 19 suara, mengalahkan calon kuat Imam Munandar, yang meraih 17 suara (TEMPO, 14 September 1985). Himron akhirnya bisa menarik napas lega. Juga Atar Sibero, sebagai pejabat sementara gubernur Riau, yang bertugas menyiapkan pemilihan gubernur. Hari itu semua yang dirancang tidak berbelok. Calon kuat, Soeripto, 53 tahun, mengumpulkan 35 suara dari 44 suara (mestinya 45, tapi seorang meninggal). Suara lain, dibagikan kepada Zaini Ali (5 suara), dan A.Z. Asyikin (4 suara). Maka, dengan suara enteng Himron bertanya kepada anggota dewan, "Setujukan Saudara dengan pilihan itu?" Koor "setuju" pun bergema. Tak ada tepuk tangan, dan tak ada yang diberi salam. Soeripto, kini Ketua Fraksi ABRI di DPR, tak hadir di gedung itu. Namun, kepada TEMPO, yang menemuinya di DPR pekan lalu, Soeripto berkata. "Terima kasih untuk rakyat Riau yang memilih saya". Kecemasan Himron beralasan. Sebelum pemilihan, 11 surat dari organisasi masyarakat, seperti Majelis Ulama Riau dan AMPI Riau, meminta supaya DPRD Riau memilih Baharuddin Yusuf, Wakil Gubernur, menjadi calon gubernur. Baharuddin, yang sudah 30 tahun bertugas di Riau itu, selain sederhana dan dekat dengan masyarakat, juga dianggap mampu memimpin daerah tersebut. "Ketika menjadi bupati Indragiri Hilir, Baharuddin membawa daerahnya mendapat Prasamya Karya Nugraha pada 1978," kata Syuman H.S., tokoh masyarakat Riau, kepada TEMPO. Lebih dari itu, Baharuddin adalah putra Riau. Suara yang dulu diberikan kepada Ismail Suko juga mewakili keinginan yang sama. "Sudah lama kami bermimpi, orang Riau jadi gubernur Riau," kata seorang tokoh Riau di Medan. Sampai-sampai Departemen Dalam Negeri menerima surat kaleng dari orang yang mengaku bernama Encik Madi bin Madjid. Isinya: sobekan kain yang dibentuk seperti boneka kecil, ditempelkan dengan jarum di pojok kanan atas kertas surat. Di sekitar boneka kecil itu, lengket 3 noda darah. Inti surat itu, masalah calon gubernur yang bukan putra daerah. Ancaman bagi gubernur pendatang, "Tak sampai setahun, gubernur itu akan mati." Menurut Menteri Dalam Neeri Rudini, surat kaleng hanya mewakili tak lebih dua orang saja. "Itu bukan indikasi penolakan masyarakat Riau terhadap gubernur pendatang," katanya. Lagi pula, kata Atar Sibero (sehari-hari Dirjen PUOD), DPRD Riau selalu membicarakan aspirasi masyarakat. "Artinya, pemerintah menghargai pendapat mereka," kata Atar. Ternyata, tak ada fraksi yang mencalonkan Baharuddin Yusuf. Akhirnya, seluruh fraksi mengusulkan nama Soeripto, yang kemudian memang terpilih "Kami tak menitikberatkan putra daerah untuk jabatan gubernur Riau," kata Himron. Menurut Himron, belum tentu putra daerah mengenal Riau dengan baik. "Yang kami inginkan, tokoh yang bisa memenntah dan menguasai Riau." Djuffri Hasanbasri, ketua Pemuda Pancasila Riau, juga anggota FKP-DPRD Riau, menilai Soeripto cocok untuk jabatan itu. Sebagai bekas Asintel Kowilhan I dan Pangdam I (setelah dilikuidasi membawahkan Riau), Soeripto, menurut Djuffri, mengenal Riau dengan baik. Soeripto dikenal kalem dan tekun. Bila diperlukan, ia segera terjun ke lapangan. Ketika masih aktif sebagai tentara, kesederhanaan Soeripto nampak dari kebiasaannya memakai kaus kaki dan singlet catu. Salah satu tugasnya nanti adalah membangkitkan semangat masyarakat Riau, yang suka merajuk bila sedang ngambek. Dan jangan lupa, 17 persen dari 3 juta penduduk Riau, pendapatan per kapitanya Rp260 ribu per tahun. Termiskin di Sumatera. MS, Irwan E. Siregar (Biro Medan) & Riza Sofyat (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini