SOAL kiamat memang urusan Tuhan. Tapi yang terjadi di empat kabupaten Nusa Tenggara Timur (NTT) Sabtu lalu agaknya bisa dibilang "kiamat". Lepas tengah hari, pukul 13.29 waktu Indonesia Tengah, bumi Flores bak beras diayak keras-keras dengan nampan. Hancur porak-poranda oleh gempa berkekuatan 6,8 skala Ritcher (di lembaga geofisika di Strasbourg, Perancis, tercatat 7,5 skala Richter). Sekitar 60% bangunan di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, dilaporkan retak atau sama sekali ambruk. Beberapa jembatan patah dan lalu lintas putus. Tiang telepon dan listrik sebagian tumbang. Kegiatan ekonomi mandek. Maumere dikabarkan praktis mati dan penuh tangis duka. Bencana gempa ini masih ditambah lagi dengan hantaman gelombang laut tsunami yang menelan korban ratusan. Pulau Babi dan Pulau Pamana Besar di lepas Pantai Maumere tiba-tiba diterjang gelombang laut, menyapu seluruh muka dua pulau kecil berpenduduk sekitar 2.000 orang itu. Hampir semua penduduknya tersedot air. Tak cuma itu, gelombang hebat tsunami masih merayap sejauh 300 meter ke pantai Maumere, menggasak perkampungan nelayan miskin. Yang mengerikan adalah soal jumlah korban jiwa. Menurut laporan Jawa Pos, sampai awal pekan ini sudah 1.500 orang tewas. Dan angka ini, menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Geologi Bandung, adalah jumlah korban gempa tektonik terbesar di Indonesia. Maumere agaknya menderita paling parah. Sekitar 1.100 penduduk yang meninggal berasal dari daerah nelayan miskin itu. Dan ratusan yang lain menderita luka parah. Sampai-sampai rumah sakit di Maumere terpaksa membaringkan pasien yang membanjir itu di lorong-lorong bangsal. Pada hari pertama, Bandara Maumere dilaporkan retak pada landasan pacunya. Hal sama terjadi di Bandara Waingapu, Sumba Timur. Ini membuat tersendatnya bantuan yang akan mengalir ke sana. Ende juga rusak berat. Bangunan pemerintah, seperti kejaksaan, gedung statistik, dan BRI praktis tak bisa dipakai. Sampai berita ini diturunkan, tim pencari korban masih mengais-ngais puing bangunan atau longsoran tanah untuk mencari jasad manusia yang tertimbun. Tim yang terdiri dari aparat keamanan, tenaga medis, dan masyarakat ini terus- menerus masih menemukan korban dalam jumlah relatif besar. Angka korban diduga masih naik. Dan gempa susulan pun diperkirakan masih akan datang. Maka Gubernur NTT Hendrikus Fernandez, yang datang dengan pesawat carteran dari Kupang, mengimbau agar masyarakat sementara tidur di barak atau tenda, dan menjauhi gedung bertingkat atau bangunan permanen lainnya -- untuk menghindari gedung runtuh. Diduga kuat, pusat gempa berada pada 8,8 derajat Lintang Selatan, 122,1 derajat Bujur Timur, sekitar 30 kilometer barat daya Kota Maumere. Gempa ini berasal dari kedalaman 36 kilometer di Laut Sabu. Dalam peta seismotik Indonesia -- peta ini dikeluarkan Ditjen Geologi dan Tata Lingkungan -- daerah Laut Sabu tadi terhitung rawan gempa. Dan sebenarnya, daerah itu hanya salah satu titik rawan gempa yang terhampar. Hampir semua daerah di pesisir barat Sumatera terus memanjang ke pesisir selatan Jawa, terus ke timur, adalah daerah rawan "goyang bumi". "Jadi sesungguhnya hidup kita ini setiap saat ada risiko ancaman gempa," kata Rab Soekamto, Kepala Puslitbang Geologi, kepada Taufik Abriansyah dari TEMPO. Indonesia adalah tempat pertemuan antara jalur gempa bumi yang melingkari Pasifik dan jalur gempa bumi Alpina-Kaukasus-Himalaya. Kedua jalur ini bertemu di sekitar Maluku. Jalur gempa bumi (lempeng) selalu bergerak secara relatif satu dengan lainnya. Menurut sebuah studi di Ditjen Geologi, sekarang ini lempengan bergerak sekitar 6 cm setiap tahunnya. Akibatnya, selain gempa bumi, juga terkumpul energi dahsyat pada sesar-sesar (lekukan atau patahan). Energi besar ini sewaktu-waktu dapat menyebabkan gempa lebih dahsyat. Di Indonesia ada beberapa sesar penting: Sesar Lintas Sumatera, Sesar Palu Koro di Sulawesi, Sesar Digul, dan lainnya. Menurut Puslitbang Geologi, sampai saat ini tengah diteliti sesar mana yang bergerak dan membuat "kiamat" di Flores itu. Dari segi kekuatan pada skala Ritcher, gempa Flores memang bukan yang terkuat. Pernah ada gempa dengan 7,7 Richter di Kerinci (1908), kemudian di Sulawesi Tengah 7,75 Richter (1968) dan di Kurima, Irian Jaya (1976). Kalau korbannya tak sebanyak di Flores, itu boleh jadi akibat pusat gempanya jauh dari daerah permukiman. Dan mungkin jumlah bangunan dan penduduk tak sepadat Flores. NTT sendiri memang langganan gempa besar. Persis di hari ulang tahun kemerdekaan RI di tahun 1977, gempa berkekuatan 7 skala Richter terjadi. Tsunami pun ikut menyambar 209 orang tewas, 630 bangunan luluh-lantak, dan kerugian ditaksir milyaran rupiah. Juli tahun lalu di Alor bumi juga bergoyang sekuat 6,7 Richter dan lagi-lagi pusat gempanya di dasar laut sedalam 33 kilometer. Tsunami pun mengamuk. Yang bisa dimonitor: 22 tewas, sepuluh perahu lenyap, dan lebih dari seribu orang kehilangan tempat tinggal. Kini giliran Flores yang berduka. Tolonglah Flores. Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini