Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Seorang periset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kaget ketika mengamati sistem deteksi tsunami atau Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS). Dari layar laptopnya, ia melihat hanya ada tiga alat pendeteksi tsunami berbasis alat apung (Ina-Buoy) yang mengirim data posisi. “Posisi Global Positioning System (GPS) tiga alat lainnya sudah mati. Enggak tahu tiga alat Ina-Buoy itu posisinya sekarang di mana,” ujar periset itu kepada Tempo, Senin, 6 Februari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga alat Ina-Bouy yang terdeteksi itu berada di perairan barat Bengkulu, selatan Cilacap, dan selatan Malang. Adapun Ina-Buoy yang berada di selatan Bali sudah hilang tak terdeteksi. Alat itu terakhir mengirim data posisi pada 13 Januari 2023. Ina-Buoy di Selat Sunda tidak mengirim sinyal posisi sejak 5 April 2022 dan Ina-Buoy di selatan Sumba sejak 13 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kehilangan sinyal posisi tiga alat Ina-Buoy akan memperparah kondisi sistem deteksi tsunami. Sebelumnya, Koran Tempo pada edisi 13 Januari lalu menerbitkan laporan yang menyebutkan enam alat Ina-Buoy sudah tidak mengirim data tekanan air laut ke ruang kendali Indonesia Tsunami Observation Center (Ina-TOC) di Gedung Soedjono Djoened Poesponegoro Lantai 20, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi.
Keenam alat itu tidak mengirim data tekanan air laut karena BRIN selaku pengelola disebut-sebut sudah tidak mengganti baterai dan melakukan pemeliharaan secara berkala. Akibatnya Ina-Buoy hanya dapat mengirim sinyal posisi dengan mengandalkan baterai cadangan. Persoalannya, baterai yang berfungsi menjalankan GPS ditengarai mulai kehilangan daya, bahkan mati. “Tanpa diketahui keberadaan lokasinya, sulit untuk menemukan Ina-Buoy di tengah laut,” ucap sumber tersebut.
Ina-Buoy merupakan satu di antara lapisan sistem deteksi tsunami di Indonesia. Selain itu, terdapat alat deteksi berbasis kabel optik (Ina-CBT) dan rambatan gelombang suara (Ina-CAT). Seluruh data informasi dikumpulkan ke dalam sistem Ina-TEWS dan kemudian digunakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam mengeluarkan mekanisme peringatan dini tsunami. Seluruh program ini merupakan amanat Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami.
Empat Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) atau alat pendeteksi tsunami yang dirancang BPPT di Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali, 11 Desember 2019. bppt.go.id
Adapun BRIN semestinya bertanggung jawab dalam pengelolaan Ina-Buoy dan Ina-CBT. Kedua jenis alat tersebut semula dikelola dan dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)—lembaga yang dilebur ke dalam BRIN. Persoalannya, BRIN justru menghentikan seluruh operasional alat deteksi tsunami. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melihat penghentian operasi alat deteksi tsunami dapat berpotensi merugikan negara.
Adapun Kepala Biro Komunikasi Publik Umum dan Kesekretariatan BRIN, Driszal Friyantoni, sempat berbicara ke media ketika lembaganya dirundung kritik akibat tidak adanya penganggaran untuk perawatan alat Ina-Buoy. Kepada CNN Indonesia, Driszal menyebutkan sedang memantau alat Ina-Buoy. “Kita lihat baru saja ada penggantian baterai,” kata Driszal, Jumat, 3 Februari lalu.
Tempo berupaya meminta konfirmasi ulang kepada Driszal ihwal keterangannya yang menyebutkan tengah mengganti baterai alat Ina-Buoy. Apalagi penggantian tidak tampak pada sistem Ina-TEWS. Dalam lamannya, Ina-TOC hanya memampangkan seluruh alat Ina-Buoy tak berfungsi karena tidak mengirim data grafik tekanan air laut. “Lebih jelasnya bisa ditanyakan ke Budi Prawara,” ucap Driszal.
Budi Prawara yang dimaksud merupakan Kepala Organisasi Riset Elektronika dan Informatika BRIN. Namun dia justru mengarahkan kepada orang lain ihwal kondisi teknis Ina-Buoy. “Buoy eksisting setahu saya belum diganti baterai. Yang eksisting akan kami tarik ke darat untuk pengamatan lebih lanjut setelah beroperasi kurang-lebih 2 tahun,” kata Budi kepada Tempo.
Tidak Semudah Mengganti Baterai Remote Televisi
Mantan Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT, Djoko Nugroho, terkekeh mendengar kabar alat Ina-Buoy sudah diganti baterai. Dia menjelaskan, penggantian baterai pada Ocean Bottom Unit (OBU) tidak semudah mengganti baterai remote televisi. “OBU ini ada di tengah laut di kedalaman tertentu, ribuan meter. Penggantiannya butuh effort tinggi dan dibutuhkan kapal khusus dengan kemampuan menarik dari dasar laut,” tutur pria yang pernah menjadi Ketua Tim Redeploy Ina-Buoy pada 1-16 Desember 2021 itu.
Untuk diketahui, Ina-Buoy merupakan alat tercanggih generasi ketiga untuk deteksi tsunami di tengah laut yang dimiliki Indonesia. Bentuknya serupa mainan gasing berdiameter tak lebih dari 3 meter. Alat itu terdiri atas dua komponen utama. Pertama, OBU yang diletakkan di kedalaman maksimal 6.000 meter dan menghasilkan data tekanan air dasar laut dan gelombang tsunami. Kedua, Surface Buoy, yakni alat berbahan eva-foam yang mengapung di atas permukaan air laut dan dapat mengirim data posisi.
Dari pengalamannya, Djoko menuturkan, penggantian baterai OBU tidak dapat dilakukan serta-merta. Timnya di BPPT biasanya harus menyiapkan satu set OBU baru untuk menggantikan alat lama di dasar laut. Proses re-deploy menggunakan kapal khusus Baruna Jaya dengan kemampuan dapat menurunkan alat dengan beban berat. Setelah itu, tim bakal diminta menunggu dua hari di lokasi untuk memastikan OBU berfungsi dan mengirim data tekanan air laut.
Dalam kasus saat ini, Djoko khawatir dengan niat BRIN yang akan mengganti baterai atau menarik Ina-Buoy ke darat. Dia menilai muskil alat itu bisa ditemukan jika tiga Ina-Buoy sudah mati atau tidak dapat mengirim data posisi. Artinya, dia memperkirakan aset negara itu berpotensi hilang dan sulit ditemukan.
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo