BISAKAH RUU Protokol diselesaikan, sebelum masa bakti DPR 1982-1987 berakhir? Beberapa pekan terakhir ini, pertanyaan tersebut sering muncul setelah melihat seretnya pembicaraan mengenai RUU ini. Tidak lancarnya pembahasan mengenai RUU ini tampaknya karena menyangkut "pengaturan kursi" dalam acara-acara resmi kenegaraan, termasuk tempat lagi para wakil rakyat. Menurut jadwal, seharusnya RUU tersebut akan dirampungkan dalam minggu ini juga. RUU Protokol dirancang pemerintah dengan ringkas. Terdiri dari empat bab dan tujuh pasal. Serangkaian sidang telah dilakukan panitia khusus (pansus) RUU Protokol yang dipimpin anggota FKP, Warito Puspoyo. Tahap selanjutnya, sebuah panitia kerja (panja) -- lebih kecll dari pansus -- ditugasi membahasnya lebih rinci. Dalam pembahasan, masalahnya ternyata bukan sekadar mengatur oal tempat duduk atau penempatan pejabat. "Protokol itu menyangkut martabat, adat-istiadat, dan tata nilai," kata Warsito Puspoyo kepada TEMPO. Kesepakatan yang sejak awal dicapai ialah RUU harus singkat dan luwes. "Cukup menjadi patokan, dan pelaksanaan selanjutnya akan diatur dengan peraturan pemerintah." Namun, untuk menjadikannya sebagai patokan, RUU yang tidak lebih dari lima halaman ketik spasi ganda itu tidak dirumuskan "asal jadi". Dewan juga tidak berambisi "asal selesai" sebelum jadwal yang ditetapkan 8 September ini. RUU buatan pemerintah itu terutama mengatur urutan protokoler pejabat negara dan pemerintah. Urutannya adalah presiden, wakil presiden, ketua lembaga tertinggi/tinggi negara, para menteri, wakil ketua lembaga tertinggi/tinggi dan lapis pejabat di bawahnya. Inti RUU sebenarnya menyangkut tata cara penghormatan, tata tempat, dan tata upacara. Ketiga hal tersebut disertai batasan yaitu dalam acara resmi dan acara kenegaraan. Obyeknya juga jelas, yakni pejabat negara, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat. Dalam prosesnya di DPR, RUU kelihatan lebih berkaitan erat dengan obyek, yaitu pejabatnya. "Sulitnya, RUU Protokol mengatur perasaan," kata Warsito Puspoyo. Keempat fraksi DPR sampai akhir pekan lalu sepakat mengenai rumusan "lembaga tertinggi dan tinggi negara". Mereka beranggapan, lembaga tertinggi dan lembaga tinggi merupakan dua substansi yang berbeda. Anggota dewan tidak setuju kalau di antara dua lembaga itu hanya diberi "garis miring". Mereka mengusulkan kata "dan" di antara kedua lembaga. Konsekuensi dari rumusan tersebut adalah bahwa lembaga tertinggi negara harus didahulukan dibanding lembaga tinggi negara. Demikian pula kedudukan pejabatnya. Namun, pihak pemerintah kelihatannya ingin meneruskan konvensi yang selama ini dilaksanakan dalam pengaturan protokoler. Lembaga tertinggi yang ditetapkan dalam UUD 45 disejajarkan dengan lembaga tinggi negara. Karena itu pemerintah berusaha agar keempat fraksi mau menghapus kata "dan", untuk diganti "garis miring". Sampai akhir pekan lalu, keempat fraksi DPR masih bertahan. "Saat ini banyak pejabat yang diperlakukan tidak sesuai dengan martabatnya," kata Danciwar dari FKP. "Saya bisa memahami, sebab peraturannya belum ada." Seretnya pembahasan RUU ini tampaknya karena baik pemerintah maupun DPR menyadari konsekuensi dari rumusan yang mereka susun. Perubahan agaknya bukan sekadar perpindahan tempat duduk atau penempatan seorang pejabat pada suatu acara resmi. Ada kemungkinan, kata seorang anggota panja, ketua DPR sebagai lembaga tinggi perlu dipisahkan dengan ketua MPR sebagai ketua lembaga tertinggi, bila rumusan "dan" disepakati. Menurut kabar terakhir, ganjalan itu konon sudah terselesaikan, meski belum jelis bagaimana rumusannya. "Tidak ada ribut-ribut," kata Ketua BAKN A.E. Manihuruk yang selama ini mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU. "Saya yakin, RUU itu bisa dibawa ke sidang pleno DPR Jumat pekan ini untuk disetujui," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini