KACA matanya warna gelap. Di bibirnya terselip pipa berwarna krem dengan sebatang rokok Bentoel yang selalu disedotnya dalam-dalam. Tubuhnya terlihat kekar, dibalut T-shirt bergaris-garis cokelat. Seluruh rambutnya sudah memutih. Pieter Alexander Tallo, 47 tahun, Bupati Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, itu jadi berita setelah melancarkan Operasi Cinta Tanah Air. Ditemui Tri Budianto Soekarno dari TEMPO Senin Dekan ini, di Perwakilan NTT di Jakarta, ternyata Piet enak diajak ngobrol. Sarjana hukum dari UGM itu menjadi bupati di sana sejak 1983. Dia punya dua putri dan seorang putra. Berikut ini petikan wawancara itu: Begini. Saya dengar ada beberapa penduduk yang malas lalu di..... Diolesi dengan tanah. Betul, bahkan ada yang ditampar. Filosofinya, tak ada pemimpin yang ingin anak buahnya susah. Berbagai cara pendekatan dan pembinaan dilakukan, saya landasi pada pola pikir untuk melindungi bangsa, mencerdaskan bangsa, memajukan kesejahteraan. Saya lihat daerah saya. Setelah mempelajarinya selama tiga tahun, ternyata diperlukan upaya yang lebih bersifat "demonstrasi efek". Contohnya? Banyak yang membantu keluarganya padahal dia tak mampu. Itu hanya karena gengsi. Tidak ada kemandirian dan harga diri. Sebagai penanggung jawab daerah itu saya punya tanggung jawab moril melihat kondisi ini. Jangan dikira saya tidak sakit dengan cara itu. Tapi bagaimanapun itu harus saya perbuat karena ada oknum yang kerjanya hanya jalan-jalan pesiar tanpa ada tujuan. Nebeng di rumah keluarga. Coba bayangkan, dia mendatangi keluarga istrinya dengan membawa seekor ayam dan dua butir telur, lalu tinggal di sana dua minggu. Apa itu tak jadi beban? Apa yang punya rumah tak ribut sama istri? Sebelum tindakan fisik, apa ada pendekatan lain? Saya memberi sirih-pinang karnama, penghargaan yang tertinggi bagi yang berprestasi. Ada hubungannya dengan kebiasaan zaman dulu ? Yah, begitu. Kenapa di zaman Jepang kami 'ndak pernah lapar, kemudian menjadi republik, kok tiba-tiba lapar semua? Itu karena mereka tak mempergunakan waktu dengan baik. Kembali menjadi tradisional yang selalu pasrah, merasa cukup dengan apa yang ada. Mereka miskin tapi cepat menerima sesuatu tanpa seleksi. Misalnya anak-anaknya lebih senang ke kota, pulang ke kampung menipu orangtua. Anda tahu orang di sana masih pakai selimut. Anda kira semua sudah pakai celana? Lalu tindakan Anda? Selaku orang yang banyak belajar di Yogya, saya ambil falsafah Baladewa. Baca saja cerita wayang, nah apa yang saya lakukan itu menganut sifat Baladewa. Saya belajar sosiologi karena itu saya tahu keragaman keadaan, peranan tokoh-tokoh informal yang ternyata penting di daerah itu. Saya selalu berkonsultasi dengan pimpinan adat, agama, dan generasi muda. Sebenarnya, perbuatan saya itu tak perlu dipersoalkan. Wajar-wajar saja. Jadi, tindakan itu bukan marah? Tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini