Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Siapa Menjarah Jakarta?

Banyak aset milik Pemerintah DKI menguap tak tentu rimbanya. Siapa saja yang terlibat?

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruwetnya administrasi, ditimpali pejabat yang korup, menyebabkan sejumlah kekayaan Kota Jakarta lenyap tak tentu rimbanya. Rio Tambunan, bekas Kepala Dinas Tata Kota DKI, membeberkan masalah itu di hadapan anggota DPRD DKI Jakarta, yang sedang getol-getolnya mempersoalkan kepemimpinan Gubernur Sutiyoso. Hilangnya aset itu, menurut Rio, menyebabkan perubahan tata ruang dan merusak rencana pembangunan wilayah kota. Ia antara lain menunjuk tanah 130 hektare di kawasan Tanjungduren, Jakarta Barat. Berdasarkan rencana umum tata ruang tahun 1975-1995, areal yang dimulai dari perempatan Tomang sampai batas utaranya Kapling Polri Jelambar akan dibangun Gelora Jakarta, untuk menyeimbangkan Gelora Senayan, yang berada di Selatan. Lalu sisanya digunakan sebagai hutan kota. Tapi kini di kawasan ini berdiri macam-macam bangunan seperti Mal Taman Anggrek, Mal Citraland, dan Universitas Tarumanegara. ''Saya tidak tahu kenapa bisa begitu, padahal itu kan tanah negara. Saya ada bukti-buktinya," ujar Rio. Menurut Rio, dari 11.120 lokasi tanah milik pemda, ada 8.734 yang belum disertifikatkan. Itu memberi peluang bagi pejabat DKI yang nakal. ''Sehingga, kapan saja bisa raib tanpa bisa dipertanggungjawabkan," kata Ketua Komisi C DPRD DKI, Amarullah Asbah. Aset yang hilang itu diduga memiliki nilai triliunan rupiah (aset yang kini tercatat memiliki nilai Rp 70 triliun, dan Rp 35 triliun di antaranya berbentuk tanah). Beberapa aset yang ''hilang", menurut Amarullah, adalah kawasan Jalan Melawai yang kini dikuasai Pasaraya, serta fasilitas umum di Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat, yang dikuasai Bank Indonesia sejak 1992 tanpa ada penggantian. Kehilangan aset bagi DKI rupanya sudah biasa dan berlangsung lama. Di kawasan Senayan, misalnya, tanah seluas 350 hektare, entah bagaimana caranya, kini menjadi milik nama beken seperti Pontjo Sutowo, Bambang Trihatmodjo, dan Hashim Djojohadikusumo. Di areal yang seharusnya untuk sarana olah raga dan hutan kota itu malah dibangun hotel dan kawasan bisnis. Muhayat, Kepala Bagian Humas Pemerintah DKI, membenarkan adanya masalah terhadap tanah-tanah bekas milik DKI. ''Tapi sebagian biaya kompensasinya sudah dibayarkan, beberapa pihak yang belum membayar menyatakan akan segera menyelesaikan," katanya. Menurut Muhayat, tanah di Tanjungduren itu adalah tanah milik Belanda yang dinasionalkan. ''Nah, tanah negara itu kan masuk pemerintah pusat, bukan Pemda DKI,'' katanya. Mengenai tanah di kawasan Senayan yang dijadikan Hotel Hilton milik Pontjo, menurut Muhayat, memang dulu itu milik Pemda DKI. ''Bang Ali sendiri mengaku agak menyesal dulu menyerahkan tanah itu, dikiranya untuk Pertamina, nggak tahunya dikelola sendiri oleh Ibnu Sutowo, yang waktu itu direktur utama Pertamina," ujar Muhayat. Rio Tambunan membenarkan bahwa Gubernur Ali Sadikin ''dikerjain" Ibnu Sutuwo lewat PT Indobuildco, pengelola Hotel Hilton waktu itu. Soal fasilitas umum di Jalan Budi Kemuliaan yang diambil BI, menurut Muhayat, kini tengah dalam proses penyelesaian. ''Pihak BI kami tagih terus dan menyatakan akan melunasinya," katanya. Besarnya utang BI Rp 35 miliar. Wiyogo Atmodarminto adalah bekas gubernur Jakarta yang dituding banyak pihak menghilangkan aset milik Pemda. Saat ia memimpin DKI, beberapa aset Pemda dijual dan disewakan secara serampangan. Misalnya tanah di Jalan Melawai dijual ke Pasaraya milik bekas Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief, dan tanah di kawasan Kuningan diserahkan pengelolaannya selama 48 tahun ke kelompok Bakrie. Tapi Wiyogo menangkis tudingan itu. Lewat kepala rumah tangganya, Yusuf Efendi, Wiyogo, yang menjabat gubernur DKI pada 1987 sampai 1992, mengatakan tidak tahu-menahu tentang menguapnya aset Pemda DKI. Menurut dia, saat menerima aset tanah milik Pemda dari pendahulunya, dari 500 hektare, yang tersisa hanya 130 hektare. ''Semua yang terjadi dengan masalah penguasaan aset Pemda DKI itu terjadi sebelum saya menjabat gubernur. Jadi, saya tidak tahu-menahu," kata Wiyogo, seperti ditirukan Yusuf. Diungkitnya masalah aset Pemda, menurut Muhayat, merupakan bagian dari usaha menjatuhkan Gubernur Sutiyoso. ''Kalau niatnya memang bagus, berikan masukan pada kami, jangan hanya bicara di media massa. Apa motifnya?'' tanya Muhayat. Memang, belakangan ini sejumlah fraksi di DPRD DKI menyatakan menolak laporan pertanggungjawaban Gubernur Sutiyoso. Bahkan bekas Panglima Daerah Militer Jakarta itu juga tengah dibidik karena terlibat kasus penyerbuan kantor DPP PDI, 27 Juli 1996. Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI, Maringan Pangaribuan, sebaliknya membantah tuduhan adanya unsur politik dalam pengungkapan itu. Menurut dia, aset Pemda adalah milik rakyat. ''Jadi, semua milik rakyat harus dipertanggungjawabkan," katanya. Ahmad Taufik, Arief A.K., dan Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus