INI ihwal teramat penting, yang dalam waktu kurang dari sepekan telah dibicarakan Presiden Soeharto dua kali: soal suksesi. Yaitu di New York. Kamis malam pekan lalu, beberapa saat setelah menerima penghargaan dari PBB, dan Sabtu lalu di Jenewa. Berbicara sekitar 45 menit tanpa teks. Presiden antara lain menerangkan soal demokrasi Pancasila "Akhir-akhir ini, di dalam negeri -- barangkali sudah sampai di sini -- ada isu-isu suksesi. Penggantian presiden dan wakil presiden." Karena salah menafsirkan demokrasi Pancasila, menurut Presiden, ada orang-orang yang bependapat, berdasarkan UUD 45, pemilihan presiden dan wakil presiden harus dilakukan melalui suara terbanyak di MPR. Untuk itu perlu ada dua atau tiga calon presiden. Siapa yang meraih suara terbanyak di MPR, dialah akan menjadi presiden. "Itu bisa jadi benar," kata Soeharto. Tapi Kepala Negara segera mengingatkan, yang mengangkat dan memilih presiden dan wakil presiden adalah MPR yang akan datang. Bukan MPR yang sekarang, yang sudah merampungkan tugasnya, apalagi suara orang per orang. Presiden meningatkan, kelima fraksi di MPR yang akan datanglah yang akan mengajukan calon. "Bisa saja tiap fraksi mengajukan calon masing-masing. Calon-calon itu akan dimusyawarahkan, sehingga akan menjadi satu calon. Calon itulah yang akan dipilih MPR untuk menjadi presiden," kata Soeharto. Presiden juga tak keberatan dengan pemungutan suara di MPR. Andaikan setelah melewati proses musyawarah masih juga muncul dua calon keduanya akan diajukan dalam pemilihan suara. Maka, salah satu akan memperoleh suara terbanyak, dan dialah yang akan menjadi presiden. Proses seperti di atas oleh Presiden dipandang sesuai dengan demokrasi yang bukan diukur dari separuh tambah satu, alias demokrasi pemungutan suara. "Pemungutan suara dibenarkan, tapi tidak diutamakan. Demokrasi Pancasila dilandaskan atas musyawarah untuk mufakat, sesuai dengan sila keempat.... Jadi, musyawarah mufakat itulah yang diutamakan," kata Presiden. Sebenarnya, selama Orde Baru, Indonesia sudah lima kali melaksanakan pemilihan presiden Tapi seperti dikatakan Soeharto. "Kebetulan yang dicalonkan dan dipilih hanya saya saja." Itu terjadi karena rakyat terus mempercayai Pak Harto. "Tapi kalau rakyat tidak percaya, ya tidak apa-apa. Artinya, saya tidak ada niat untuk memperjuangkan dan mempergunakan kekuatan, untuk mempertahankan supaya menladi presiden," kata Presiden menjelang akhir pidatonya. Sebenarnya sebelum di New York dan Jenewa, Presiden Soeharto pernah mengucapkan soal suksesi di sidang kabinet terbatas bidang ekonomi, keuangan, dan industri (Ekuin) di Jakarta 3 Mei yang lalu. Ucapan Presiden baru terungkap keluar sebulan kemudian, 5 Juni lalu. Persis di hari keberangkatan Presiden ke New York. Mengapa Presiden bicara soal itu beberapa kali? "B eberapa waktu lalu timbul berbagai pandangan mengenai masalah suksesi. Maka, Presiden merasa perlu menjelaskan," kata Mensesneg Moerdiono dalam penerbangan dari Washington ke New York, 9 Juni. Dari ucapan-ucapan Presiden menurut Moerdiono, terbantahlah isu-isu yang seakan-akan menyatakan, membicarakan soal suksesi sebagai sesuatu yang terlarang. Presiden mengingatkan pula bahwa prosedur dan proses pencalonan sudah ada selama ini. Telah tibakah saatnya untuk bicara soal itu? Sebagian orang berpendapat, ya. Tapi Mensesneg Moerdiono, yang agaknya hanya banyak tahu soal itu, bilang belum. "Kalau menurut saya belum perlu. Nanti saja kalau sudah dekat pemilu. Kalau sekarang, wong barangnya sudah terang, apa lagi yang mau dibicarakan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini