Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Keputusan Kepala BRIN tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai dinilai sarat pasal karet.
Pasal-pasal multitafsir pada kode etik BRIN rawan disalahgunakan.
DPR akan mendalami pemanggilan dan pemeriksaan etik terhadap para peneliti BRIN.
JAKARTA – Sejumlah kalangan mengkritik sejumlah ketentuan dalam Keputusan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Nomor 76/HK/2022 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai Aparatur Sipil Negara di Lingkungan BRIN. Pasal-pasal multitafsir dalam peraturan tersebut dianggap rentan digunakan untuk membungkam kritik para peneliti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herlambang P. Wiratraman, mendesak agar aturan tersebut dievaluasi. "Harus dibuat lebih rigid. Sebab, jika dikaitkan dengan konteks kebebasan berekspresi, pasal-pasal di dalamnya rentan multitafsir," kata Herlambang kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Kepala BRIN Nomor 76/HK/2022 sebenarnya terbit pada Maret tahun lalu. Namun peraturan ini belakangan menjadi sorotan setelah BRIN memanggil dan memeriksa penelitinya dengan dugaan pelanggaran kode etik dan kode perilaku atas ujaran di media sosial.
Tempo mendapat salinan surat panggilan BRIN kepada seorang peneliti. Diteken Kepala Biro Organisasi dan Sumber Daya Manusia BRIN, Ratih Retno Wulandari, pada Rabu, 22 Februari, warkat itu memerintahkan peneliti tersebut menghadap Majelis Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai Aparatur Sipil Negara BRIN pada Rabu, 1 Maret 2023.
"Dalam rangka pemeriksaan dan permintaan keterangan sehubungan dengan dugaan pelanggaran kode etik pegawai dan kode perilaku pegawai ASN sesuai Keputusan Kepala BRIN Nomor 76/HK/2022 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai Aparatur Sipil Negara di Lingkungan BRIN berupa ujaran kebencian di media sosial," demikian tertulis dalam surat Nomor B-6628/II.2.3/KP.05.00/2/2023 tersebut.
Dewan Penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, Herlambang P. Wiratraman. TEMPO/Aris Novia Hidayat
Herlambang mencontohkan bagian C angka 4 huruf (j) pada Keputusan Kepala BRIN tersebut yang rentan multitafsir. Bagian itu menyebutkan larangan bagi pegawai BRIN melakukan perbuatan atau kegiatan yang tidak terpuji yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, norma kesusilaan, ketertiban umum, merusak citra profesi, dan martabat BRIN. Bagian C angka 9 juga menyebutkan, "Segala bentuk sikap, perilaku, perbuatan, tulisan, dan ucapan pegawai ASN yang bertentangan dengan ketentuan dalam angka 4 sampai angka 8 merupakan bentuk pelanggaran kode etik dan kode perilaku pegawai ASN."
Menurut Herlambang, ketentuan tersebut tidak menjelaskan detail sikap, perilaku, perbuatan, tulisan, dan ucapan yang dapat dianggap merusak citra profesi serta martabat BRIN. "Yang dimaksud merusak citra profesi itu apa? Merusak martabat BRIN itu apa?" ujarnya.
Herlambang khawatir, jika dibiarkan, lenturnya penafsiran tersebut dimanfaatkan pimpinan BRIN untuk membungkam kritik dan membelenggu asas kebebasan berekspresi para peneliti. "Padahal kritik seharusnya tidak dapat dikategorikan sebagai upaya merusak citra profesi dan martabat institusi," kata Herlambang. "Kritik termasuk kebebasan berpendapat."
Dimintai konfirmasi oleh Tempo ihwal pemanggilan dan pemeriksaan etik tersebut, Ratih Retno Wulandari enggan membeberkan detail perkara pemanggilan dan pemeriksaan etik peneliti tersebut. "Rahasia. Kami tidak akan menginformasikan," kata Ratih. Dia hanya menuturkan semua aparatur sipil negara wajib mengetahui dan melaksanakan ketentuan etika yang diatur perundang-undangan. "Sebagai pribadi yang sudah dewasa, tentu kami mempercayai bahwa pegawai tahu dan dapat membedakan hal yang baik dan buruk."
Ratih tak merespons pertanyaan Tempo ihwal aturan kode etik BRIN yang dianggap sejumlah kalangan multitafsir dan rentan disalahgunakan. Kepala Biro Komunikasi Publik, Umum, dan Kesekretariatan BRIN, Driszal Fryantoni, pun setali tiga uang.
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, sependapat dengan Herlambang. Dia mencermati banyaknya pasal karet dalam Keputusan Kepala BRIN Nomor 76/HK/2022. Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti tersebut menilai kalimat dalam regulasi itu terlalu luas untuk diartikan. "Perlu satu pasal yang menjelaskan pemahaman tentang materi pasal-pasal tersebut," kata Trubus. "Misalnya frasa 'perbuatan tidak terpuji', itu harus dijelaskan karena pengartian dari tiap agama dan budaya itu berbeda-beda."
Trubus juga menyayangkan jika BRIN melakukan pemeriksaan etik terhadap para peneliti yang menyampaikan pendapatnya di ruang digital. Menurut dia, menyatakan pendapat tidak bisa dilabeli sebagai tindakan yang menyeleweng. "Jika pendapat itu berupa kritik, apa dilarang? Seharusnya enggak selagi tidak memuat kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan," ujarnya. "Jadi, ketentuan kode etik BRIN seharusnya dibuat rigid, transparan, dan terbuka."
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyoroti regulasi tentang kode etik BRIN yang tak memberikan ruang bagi pelanggar untuk membenahi diri. Padahal Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri mengatur tiga butir jenis hukuman disiplin ringan, yang terdiri atas teguran lisan, teguran tertulis, dan penyataan tidak puas secara tertulis. "Seharusnya penanganan terhadap dugaan pelanggaran diawali dengan mekanisme teguran lisan dan pembinaan oleh atasan," kata dia.
Herdiansyah juga mengkritik bagian E angka 1 huruf (a) Keputusan Kepala BRIN Nomor 76/HK/2022, yang menyatakan bahwa dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan kode perilaku pegawai ASN diperoleh secara tertulis dari rekan pegawai, aduan masyarakat, atasan langsung pegawai, atau pejabat yang berwenang. Dia menilai mekanisme pengaduan ini kelewat lentur sehingga siapa pun bisa terancam oleh pelaporan pelanggaran etik. "Skemanya seperti disengaja didesain untuk mendisiplinkan pegawai BRIN. Ini jelas adalah bentuk pembungkaman sekaligus operasi pembersihan bagi mereka yang kritis," ujarnya. "Lembaga yang dikelola secara otoriter semacam ini jelas akan mengancam masa depan riset Indonesia."
Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, Mulyanto, memastikan akan mendalami pemanggilan dan pemeriksaan etik terhadap para peneliti BRIN yang kritis di media sosial. "Kami akan dalami dan evaluasi di Panitia Kerja BRIN Komisi VII," kata dia, kemarin.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera tersebut menduga pemanggilan dan pemeriksaan etik tersebut tak lebih dari upaya untuk membungkam suara para peneliti BRIN. "Sikap kritis para ilmuwan dan peneliti adalah hal yang lumrah. Sejak dulu, peneliti politik LIPI kritis di media," kata Mulyanto. "Kalau ada kritik, artinya ada ketidakpuasan terhadap bentuk kelembagaan, tata kelola, dan pimpinan lembaga."
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo