Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berdaganglah ke negeri cina, tapi ...

Cukup banyak pengusaha pribumi yang tak keberatan bila pengusaha nonpribumi di sini menanamkan modal di cina. hanya saja, mereka berharap keuntungan harus dibawa kembali ke tanah air.

1 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG bilang, bisnis tak mengenal tapal batas negara, apalagi ras. Soalnya, duit harus dikejar ke mana saja, termasuk sampai ke Negeri Cina. Tapi sejumlah responden TEMPO berharap, dalam menginvestasikan modal di Cina, para pedagang nonpribumi keturunan Cina memperhatikan semangat nasionalisme. Pendapat ini muncul di antara 127 pengusaha pribumi dari 200 kuesioner yang diedarkan, yang kembali 127 anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang terjaring dalam pol TEMPO, November lalu. Pol ini hasil kerja sama dengan Kelompok Peneliti dan Pengkaji Masalah Kriminologi (KP2MK) Jakarta. Dari 127 responden yang mengisi kuesioner itu, 100 di antaranya berdomisili di Jakarta. Selebihnya, yang 27 lagi, terserak di berbagai kota: Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Palembang, dan Medan. Di Jakarta, pengedaran kuesioner dilakukan dengan menarik sampel secara acak sederhana (simple random sampling). Sementara itu, 27 pengusaha anggota Kadin di kota lainnya karena keterbatasan waktu ditarik dengan teknik "kebetulan" (accidental sampling). Tak mudah mengedarkan kuesioner ini. Itu terbukti dari banyaknya kuesioner yang tak kembali. Banyak calon responden yang tercomot dalam penarikan sampel, ternyata, menolak saat diwawancarai. "Masalah ini sensitif," begitu rata-rata alasan mereka. Selain itu, hanya 92,1% responden kebanyakan bergerak di bidang perdagangan (28,3%), kontraktor (22,8%), dan industri (19,7%) yang mau mengakui nilai asetnya. Sebagian besar (41%) memiliki aset yang berkisar Rp 1 miliar sampai Rp 10 miliar. Sisanya, 31,6%, mengaku memiliki aset kurang dari Rp 1 miliar. Hanya 27,4% yang beraset lebih dari Rp 10 miliar. Hanya sebagian kecil (13,4%) dari mereka yang mengaku memiliki usaha di luar negeri. Lebih dari separuhnya di antara mereka itu sudah mendirikan perusahaan di AS, Belanda, Hong Kong, Singapura, Australia, Malaysia, dan Jepang sebelum tahun 1988. Tak satu pun dari mereka berbisnis di RRC. Tampaknya, mereka menyadari RRC sebagai pasar yang potensial. Bermodal lebih dari semiliar penduduk, tanpa promosi pun, RRC sudah jelas sebagai "pasar raksasa yang sedang tidur". Tak mengherankan bila 57,5% dari semua responden menyatakan Cina sebagai tempat yang menarik untuk menanam modal (lihat Apakah RRC Tempat yang Menarik untuk Investasi). Namun, sejarah RRC sebagai negara komunis yang tertutup sejak Perang Dunia II rupanya sulit dilupakan. Beberapa kali reformasi sejak Kelompok Empat Jiang Qing, yang tak pernah jelas penyelesaiannya, sampai gelombang "angin baru" Deng Xiaoping belakangan membuat cukup banyak pula responden (27%) yang tak melihat RRC sebagai tempat yang menarik untuk menanam modal. Dari jumlah ini, 37,8% di antaranya menyebut faktor "situasi politik yang tak pasti" sebagai alasan. Perhatian pada keamanan berbisnis ini pula yang menjadi dasar mengapa 31% lainnya melihat RRC tak semenarik Indonesia yang situasi politiknya "stabil". Maka, meski Cina dianggap potensial sebagai arena investasi, negeri itu belum dianggap akan segera menyerap dana yang sedianya ditanam di negara Asia lainnya, khususnya Indonesia. Paling tidak, 51,2% responden menganggap iklim investasi RRC dewasa ini tak bakal mengurangi penanaman modal di sini (lihat Apakah Iklim Investasi RRC akan Mengurangi Investasi di Indonesia). Meski begitu, keyakinan ini cenderung beredar di kalangan pengusaha pribumi yang berusia di bawah 45 tahun (55,6%). Pendapat pengusaha pribumi yang lebih tua justru kebalikannya. Tak kurang dari 44,4% di antara kelompok usia ini mengkhawatirkan dana yang sedianya ditanam di sini akan meng- alir ke RRC. Kalau usia dan pengalaman menjadi ukuran benar atau tidaknya suatu penilaian, iklim investasi di RRC saat ini memang tak bisa begitu saja diremehkan. Tapi menggiurkan, rupanya, tak selalu berarti mengundang hasrat. Sebab, kebalikan dari penilaian responden yang cenderung melihat RRC sebagai tempat menarik bagi penanaman modal, ternyata pengusaha pribumi lebih banyak yang tak berminat berusaha di sana. Lebih dari tiga perempat (77,8%) responden tak ingin berinvestasi di RRC (lihat Seandainya Cukup Modal, Apakah Pengusaha Pribumi Indonesia Berminat Menanam Modal di RRC). Dari jumlah tersebut, lebih dari setengahnya (67%) malah menginginkan modal itu dikembangkan di dalam negeri. Alasan yang paling banyak (84%) dikemukakan, Indonesia masih lebih baik daripada RRC karena situasi sosial politik di tanah air lebih "stabil" dan potensi alamnya melimpah. Sejumlah kecil (16%) menganggap bisnis seharusnya tak lepas dari rasa kebangsaan. Maka, mengalirkan modal ke RRC, sementara negeri sendiri masih membutuhkan modal, sama dengan tak nasionalis. Memang berbagai alasan penolakan ini masih bisa diperdebatkan. Persoalannya, agaknya, bukan cuma masalah nasionalisme, peluang, dan semacamnya. Investasi ke luar negeri, bagaimanapun, berarti membuka usaha baru. Ini bukan soal mudah. Hanya para pengusaha yang usahanya sudah cukup kuat secara finansial dan manajemen yang mampu untuk itu, apalagi kalau usaha itu di negeri orang. Sehingga, jika dilihat dari aset yang dimiliki responden saat ini, sebenarnya terdapat perbedaan kecenderungan minat untuk berinvestasi di RRC (lihat Minat Kalangan Pengusaha Pribumi untuk Menanamkan Modal di RRC, Dilihat dari Nilai Total Aset yang Dimiliki Saat Ini). Kalangan pengusaha pribumi yang usahanya beraset kurang dari Rp 1 miliar, ternyata, cenderung tak punya minat menanam modal di RRC. Sebaliknya, mereka yang perusahaannya lebih besar terlihat lebih berminat, apalagi bila para pengusaha pribumi itu, saat ini, memiliki total aset antara Rp 1 miliar dan Rp 10 miliar. Hasrat mereka bahkan lebih besar daripada para "konglomerat" yang beraset lebih dari Rp 10 miliar. Kecenderungan ini menjadi tak tampak mencolok bisa jadi lantaran undangan pemerintah RRC untuk para investor berbau eksklusivisme. Apalagi, salah satu caranya adalah mengungkit kesadaran rasial Cina perantauan dalam Konvensi Pengusaha Cina Dunia II di Hong Kong, November lalu. Sehingga, meski telah beraset di atas Rp 10 miliar, lebih dari separuh (54,3%) responden pengusaha pribumi yakin bahwa undangan tersebut bukan ditujukan pada mereka, melainkan lebih pada pengusaha keturunan Cina yang ada di Indonesia (lihat Apakah RRC Lebih Mengharapkan Investor Keturunan Cina Ketimbang Pengusaha Pribumi). Dengan alasan melihat gelagat selama ini, 63% responden percaya bahwa bila diberi peluang, pengusaha nonpri keturunan Cina akan menanam modal di RRC (lihat Bila Diberi Kesempatan, Apakah Pengusaha Indonesia Keturunan Cina akan Cenderung Menyambut Tawaran Pemerintah RRC untuk Menanam Modal). Pertim- bangan yang berbau bisnis, seperti rendahnya biaya produksi di RRC dan berbagai kemudahan lainnya di bekas Negeri Tirai Bambu itu, mereka anggap bukanlah dasar mengapa pengusaha nonpri menanamkan modal di Cina. Hanya 30% yang menganggap demikian. Selebihnya lebih melihat masalah ikatan primordial sesama bangsa Cina (70%) sebagai faktor utama. "Investasi di RRC kan juga berarti kesempatan untuk membangun kampung halaman mereka," ujar salah seorang responden. Namun, entah mengapa, anehnya, mayoritas responden (51,2%) setuju-setuju saja bila pengusaha nonpri keturunan Cina menanam modal di RRC (lihat Apakah Pengusaha Pribumi Setuju Pengusaha Nonpri Menanam Modal di RRC). Mungkin itu karena para responden adalah pengusaha alias pedagang, yang menganggap keuntungan sebagai sesuatu yang lebih utama. "Setiap orang berhak berbisnis dengan siapa saja," demikian alasan seorang pengusaha yang menjadi responden. Sementara itu, yang tak setuju (48,8%) umumnya mengaitkannya dengan kondisi dalam negeri sendiri. Seharusnya, menurut mereka, pengusaha WNI keturunan Cina ini lebih mendahulukan negaranya, yang juga masih membutuhkan investasi. Maka, menanam modal di RRC sekarang sama saja dengan tak nasionalis. Penekanan pada soal nasionalisme ini sebenarnya merebak juga di sebagian kalangan yang setuju pengusaha WNI keturunan Cina menanam modal di RRC. Sekitar 21% responden (jumlah alasan terbanyak) setuju saja asalkan investasi itu juga berkaitan dengan perekonomian Indonesia. Artinya, boleh saja menanam modal di RRC, tapi jangan hanya mengalirkan duit ke sana. Dengan menginvestasikan modal di Cina, para pengusaha nonpri, mereka harap, tetap memikirkan membawa keuntungannya kembali ke Indonesia. Sedikit banyak terasa masih ada keraguan di kalangan pengusaha pribumi terhadap nasionalisme dalam berbisnis di ka- langan pengusaha WNI keturunan Cina. Sulit mendapatkan pengakuan secara gamblang mengenai soal ini. Namun, bila dilihat dari Apakah Setuju Bila Pengusaha Pribumi Menanam Modal di RRC, jumlah responden yang tak setuju (45,7%) relatif lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang tak menyetujui pengusaha WNI keturunan Cina menanam modal di RRC. Makin jelas lagi jika melihat pendapat yang mengaitkan investasi di RRC ini dengan isu capital flight (pelarian modal). Sedikit sekali, hanya 8,7% dari total responden, yang tak setuju bila pengusaha nonpri menanamkan modal di negeri leluhur itu menganggap hal tersebut sebagai pelarian modal. Pendapat ini sebenarnya seiring dengan mereka yang setuju pengusaha pribumi menanam modal di RRC (54,3%), terutama yang membenarkannya dengan alasan terbanyak (51%) dan bernada heroik: sudah saatnya para pengusaha nasional harus go international. Dengan demikian, mereka tak hanya jago kandang, yang menjadi besar karena koneksi atau karena fasilitas Pemerintah. Dari hasil angket ini, betapapun, terasa bahwa hubungan pengusaha pribumi dan nonpribumi itu masih perlu dibenahi de- ngan sungguh-sungguh.Ivan Haris

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum