DIAM-diam, rupanya, pengusaha Cina pun mulai melirik Indonesia, sebagai lahan untuk menanamkan modal. Melimpahnya modal asing ke negerinya, lalu pertumbuhan ekonomi begitu tinggi, menyebabkan mereka kini punya modal untuk diekspor. Awal Desember lalu, misalnya, 17 pejabat dari Provinsi Guangdong, dipimpin WaliKota Shanwei, Chen Ran, mengunjungi Banda Aceh. Mereka datang khusus untuk melihat potensi alam Aceh yang dapat digarap untuk mencari dolar. "Tampaknya, mereka tertarik pada potensi pertanian, perikanan, dan hutan di Aceh," kata Husein A. Bakar S.E, Kepala Bidang Perencanaan dan Promosi BKPMD Aceh, kepada Marhiansyah Aziz dari TEMPO. Kunjungan para pejabat Provinsi Guangdong itu berawal dari pertemuan Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangle (IMT- GT) di Kuala Lumpur dan Bangkok. Dalam pertemuan itu, pihak Indonesia antara lain memperkenalkan potensi wilayah Aceh. Rupanya, itu terdengar pihak RRC. "Kami segera mengundang mereka karena Aceh memang kekurangan duit dan teknologi," kata Husein. Sampai akhir kunjungan empat hari itu memang tak ada kontrak yang ditandatangani. Tapi tak berarti pemerintah Guangdong, provinsi paling kaya di daratan Cina itu, sekadar jalan-jalan. "Kami siap menanam modal ke mana saja selama menguntungkan," kata sebuah sumber TEMPO di Guangzhou. Sebelumnya, April 1991, rombongan Wali Kota Guangzhou, Lei Yu, telah datang ke Samarinda, Kalimantan Timur. Mereka menjajaki kemungkinan membangun pabrik semen di sana. Dari kunjungan itu, para ahli yang menyertai Lei Yu memperkirakan kebutuhan semen di Provinsi Kal-Tim setiap tahun sekitar 300.000 ton. Dengan perhitungan itu pemerintah Guangdong siap membangun pabrik semen dengan kapasitas 350.000 ton/tahun. Dana sebesar US$ 6 juta sudah terkumpul di Guangzhou. Namun, proyek itu gagal. Alasan yang sampai ke Guangdong: pabrik semen itu terlalu kecil. Pemda setempat baru setuju jika kapasitas pabrik mencapai sejuta ton setahun. "Kalau kapasitasnya besar, kami tak berani," kata sumber TEMPO di Guangzhou. Soalnya, untuk pabrik berkapasitas sebesar itu diperlukan bahan baku kapur dari provinsi lain. Produk semennya pun harus dijual ke luar provinsi. "Ada tambahan komponen transportasi dan manajemennya lebih rumit," ujar sumber itu. Gagal dengan semen, pemerintah Guangdong tak menyerah. Mereka ingin membangun pabrik gula di daerah yang sama. Perhitungan kasar sudah dilakukan. Namun, mereka surut pula, setelah tahu ada ketentuan yang mewajibkan mereka membeli tebu dari petani dengan harga yang sudah ditetapkan. Lalu mereka diwajibkan pula menjual 25% produknya ke Bulog dengan harga pemerintah. "Setelah dihitung-hitung, kami tak tahu harus mengambil untung dari mana," ujar sumber yang sama. Setelah itu, Oktober 1992, sekelompok ahli dari Guangdong berkunjung lagi ke Samarinda. Kali ini mereka ingin melakukan survei terhadap tanaman Derris elliptica, yang sering digunakan nelayan untuk meracun ikan di Sungai Mahakam. Di Guangdong tanaman itu dibudidayakan sebagai bahan baku pestisida. Karena itu, mereka ingin membangun pabrik yang sama di Samarinda. Pestisida produk pabrik itu akan bersih dari bahan kimia serta tak punya residu, sehingga aman untuk buah dan sayuran. Tak ada masalah untuk proyek industri pestisida ini. "Proposal sudah masuk dan sudah mendapat persetujuan BKPM Pusat. Mungkin tahun 1994 ini mulai digarap," kata H.A.B. Abdulrachim, Ketua BKPMD Kal-Tim. Pemda Kal-Tim sendiri sudah menyediakan lahan seluas 50.000 m2 untuk budi daya Derris elliptica. Rencananya, selain menggunakan spesies lokal, orang Guangdong juga akan membawa spesies lain dari Malaysia dan India. Pabrik yang akan menyerap 110 tenaga kerja itu nantinya berproduksi 45 ton ekstraksi akar tanaman itu setiap tahun. Seluruhnya khusus untuk pasar ekspor Jepang dan Amerika Serikat. Diperkirakan nilai ekspornya akan mencapai sekitar US$ 900.000/tahun. Investasi yang dibutuhkan Rp 4,730 miliar. Pabrik ini baru berproduksi paling cepat tahun 1996. Mengapa pabrik semen dan gula tadi gagal? "Kami sendiri tak tahu sebabnya," kata Gubernur Kal-Tim H.M. Ardans, S.H. kepada koresponden TEMPO Rizal Effendi di Samarinda. Menurut Gubernur, Pemda justru sangat antusias menyambut rencana pembangunan pabrik semen itu, tetapi tak pernah ada proposal yang sampai di tangan mereka. Tak jelas di mana proposal itu tersangkut. Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Sanyoto Sastrowardoyo mengaku tak pernah menerima proposal rencana pabrik semen itu. Ia juga menyangkal membuat persyaratan kapasitas pabrik harus satu juta MDBO MDNM/ton/tahun. "Kecil-kecil juga kami terima semua, kalau mereka memang mau bisa mengirimkan proposal itu langsung pada saya," katanya. Sanyoto tak menutup kemungkinan, masalah ini muncul karena ulah para calo yang tak memberikan informasi sebenarnya pada investor asing. Siapa calo itu tak dijelaskan Menteri Sanyoto.LPS dan Dwi Setyo Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini