Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Bila cicilan utang indonesia ...

Lembaga studi agama dan filsafat menyelenggarakan diskusi sistem ekonomi islam di wisma PKBI, Jakarta menyorot masalah riba, zakat dan qiradh. Dari ekonomi mikro ke makro dalam konsep Islam.

5 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HINGGA pekan ini cara beroperasi Keluarga Adil Makmur alias KAM masih disorot (lihat Nasional). "KAM itu bukan koperasi, tapi suatu arisan yang tak lazim," kata Dawam Rahardjo kepada TEMPO sebelum diskusi Sistem Ekonomi Islam, yang Senin lalu diselenggarakan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF). Dari Bandung juga ada sorotan. "KAM itu muncul akibat sistem perbankan di Indonesia sulit terjangkau oleh lapisan bawah," ujar Ir. M. Aminuddin Dahlan. Ia adalah Ketua Umum Baitut Tamwil Koperasi Jasa Keahlian Teknosa, Bandung. Diskusi di Wisma PKBI, Jalan Hang Jebat, Jakarta Selatan, petang itu selain menyorot riba juga merembet ke zakat, dan qiradh. Dan suasana kian bersemangat, apalagi setelah Syafrudin Prawiranegara ikut menyumbang pengalamannya. Pembahasan Dawam itu mengacu ke bukunya. Perspektif Deklarasi Makkah: Menuju Ekonomi Islam. Sementara itu, Dr. Ahmad M. Saefuddin, guru besar Manajemen Pemasaran IPB, membongkar pemikirannya dari dalam Perspektif Islam. Riba, menurut Dawam, adalah bunga yang berlipat ganda yang dijalankan perseorangan. Tetapi lain di koperasi - salah satu bada. Sehingga, bagi sebuah koperasi, bunga berlipat tadi tak akan jadi riba, bila keuntungan itu dibagikan kembali pada anggota. Lain di bank. "Jika tingkat bunganya tidak tinggi, maka itu bukan riba. Dan batasan tinggi bunga itu relatif, bergantung pada beberapa hal, di antaranya tingkat inflasi," kata Dawam. Dengar pula Syafrudin Prawiranegara, 77 tahun. "Riba itu jangan dicampur aduk dengan bunga," ujar bekas Perdana Menteri RI dan Gubernur Bank Indonesia itu. Riba, katanya, adalah akumulasi keuntungan dari eksploitasi sesama manusia. Dalam praktek, sebenarnya ide ekonomi Islam itu sudah lama menyentuh ke soal dasar. Beberapa lembaga ekonomi Islam muncul. Misalnya, Baitut-Tamwil Teknosa, Bandung, yang punya 120-an proyek (TEMPO, 21 November 1987). "Sampai akhir tahun lalu," kata wakil ketuanya, Ir. Uki Kustaman, "jumlah tabungan masyarakat di Teknosa mencapai 2 milyar rupiah." Contoh lain mirip Teknosa adalah Yayasan Amal Saleh, Padang, dan Koperasi Baitul Maal, Bogor. Semua itu, kata Saefuddin, "membuktikan bahwa Islam mampu mempedomani tingkah laku manusia di bidang ekonomi." Tetapi dia tak setuju terhadap anggapan seolah sistem ekonomi Islam itu gabungan antara (kebaikan) ekonomi kapitalis dan sosialis. "Sistem ekonomi Islam itu orisinil, tersurat dalam Quran dan Hadis," ujar Saefuddin (lihat juga Berhenti Makan, Sebelum Kenyang). Cara mengembangkan sistem itu? "Kita laksanakan nilai-nilai ajaran Islam itu, untuk mendapat pengalaman. Dan pengalaman itu bisa jadi dasar penulisan sistem dan teori ekonomi Islam," begitu saran Dawam. Dewasa ini, kata Direktur LSAF itu, baru ada model-model yang diteorikan, lalu diuji dengan penelitian dan praktek. Misalnya zakat - selain itu sebagai satu bentuk ibadat. Sementara itu, Dr. Ir. M. Amin Aziz, Ketua Yayasan LSAF, mengusulkan, antara lain, agar Majelis Ulama Indonesia membentuk Tim Asistensi Zakat, beranggotakan para cendekiawan muslim. Tim berfungsi membentuk dan membina lembaga swadaya masyarakat, supaya-zakat itu produktif. Yang mirip zakat, tetapi tidak didiskusikan, adalah khumus - pengurangan 20 persen dari penghasilan kotor. Khumus berlaku di zaman Nabi, lalu dihapus (atas ijtihad) oleh Khalifah Umar. Tetapi sekarang kaum Syiah melaksanakannya. Di Indonesia? Secara informal, sejak 1982, banyak cendekiawan kita yang melaksanakan khumus. Antara lain Dr. Amien Rais dan Syaifullah Mahyuddin, M.A. (keduanya staf pengajar di UGM Yogya). Di Jakarta, sebagian anggota Yayasan Himpunan Mahasiswa Islam juga melaksanakannya. Khumus itu disebut dalam surat Al-Anfaal (Rampasan Perang). Alasan Amien Rais karena khumus menjunjung tinggi keadilan sosial, bila dikutip hanya 2,5 persen terlalu ringan bagi mereka yang bekerja "mudah" seperti dokter, penceramah, penyanyi, konsultan, pelawak. "Padahal, mereka yang mendapat harta dengan susah payah diharuskan membayar seperlima, apalagi mereka yang memperolehnya dengan mudah," tutur Amien Rais dengan menganalogikan surat Al-Anfaal pada Slamet Subagyo dari TEMPO. Harap dipahami: di Quran tak disebut yang 2,5 persen itu - karena ini hasil ijtihad ulama. Dalam pada itu, ada sistem qiradh. Yang ini, menurut Dr. Ir. Murasa Sarkaniputra (44 tahun) yang disertasi doktornya tentang ekonomi pertanian, qiradh mudah dilaksanakan oleh masyarakat "kecil". Alasan Murasa - juga pembahas petang itu - dasar sistem tersebut sudah berkembang di masyarakat. Contohnya, seperti kebiasaan warga Minangkabau yang ramai-ramai mengumpulkan dana pada seorang yang dipercaya,untuk dijadikan modal berjualan di warung. Keuntungannya, per tahun, dihitung lalu dibagikan ke pemilik saham. Atau, sistem bagi hasil maro (50: 50) atau mertelu (30: 70) dalam penyakapan tanah. Bagaimana dengan utang Indonesia di luar negeri yang lewat IGGI, ADB, atau Bank Dunia, misalnya? Syafrudin mengusulkan agar pihak Indonesia minta dispensasi. "Itu dalam Islam dibolehkan," katanya. Sedangkan Murasa berpendapat, itu dapat diselesaikan secara qiradh. Maksudnya, cicilan utang yang Rp 10,608 milyar (tahun ini) diminta ke negara donor itu agar "ditanam kembali" di Indonesia, dan dipakai sistem qiradh. "Kita punya bahan mentah, mereka punya uang. Jadi, bisa klop," tutur Murasa. "Tapi bebaskan semua tanggungan bunga dari pemberi utang. Dan itu berlaku sejak persetujuan proyek ditandatangani," tambahnya. Sementara itu, ada pula yang melihat bahwa ekonomi Islam itu hanya karena ada labelnya saja. Karena itu, datang usul supaya bank Islam diperbanyak. Syafrudin tidak setuju. "Saya kira, kita belum perlu mendirikan bank yang bermerk Islam. Tapi kita perbaiki saja yang ada," katanya. "Saya optimistis, model ekonomi Islam bisa berkembang di sini," ujar Murasa kepada TEMPO. "Kita tak perlu menunggu adanya bank Islam. Lewat koperasi saja bisa. Sebaiknya kita mulai dari lingkungan yang kecil. Seperti dengan teman sekerja, sepengajian, atau semajelis-taklim, misalnya." Syafiq Basri, Ahmadie Thaha (Jakarta), Hedy Susanto, Riza Sofyat (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus