Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bom tanah setelah Dai Nippon

Menurut mendagri Rudini, kasus tanah di Jatiwangi, majalengka itu selesai. Tapi, para petani terus memperjuangkan statusnya kembali pada mereka.Tim khusus Depdagri Bakorstanasda dipertanyakan.

14 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KASUS di Majalengka itu ibarat "bom tanah" kebal waktu. Malah sejumlah pemuda di Desa Beber, Kecamatan Ligung, Kamis malam pekan lalu, tak tidur. Mereka membuat poster, yang esoknya akan digelarkan di Lapangan Udara Sugiri Sutani. Tapi, semua poster tadi keburu disita para sesepuh desa. Jumat, terbetik pula isu: Sabtu pagi pihak AURI akan menyerang petani. Khawatir terulang peristiwa Oktober 1989, malamnya lalu mereka kumpul lagi. "Hadapi semua tantangan, asal jangan kita yang memulainya," seorang sesepuh mengingatkan. Aksi kedua pihak tidak terjadi, dan berita bohong itu belum jelas asalnya. Petani di sana memang makin bingung. Apalagi akhir Maret lalu Tim Sepuluh dari Bakorstanasda dan Inspeksi Wilayah Jawa Barat datang ke desa sekitar pangkalan udara. Resah bertambah setelah Tim Khusus yang diutus Menteri Dalam Negeri Rudini lalu lalang mengumpulkan bukti keabsahan pemilikan tanah oleh AURI. Padahal, tim dari Jakarta, kata Rudini, berhasil membuktikan bahwa tanah tadi sah milik AURI. Bahkan mereka membawa beberapa sertifikat yang dibuat sejak 1986 -- untuk tanah 907,12 hektare dari 1.006,8 hektare -- yang diklaim sebagai milik AURI. "Jadi, masalah status tanah itu selesai," ujar Rudini kepada TEMPO. Sebaliknya, yang dipersoalkan oleh tim dari Jakarta itu adalah sistem bagi-hasil yang dinilai mahal. Tanah 1.021,377 hektare disewakan kepada petani oleh Panitia Tanah Sawah AURI Pangkalan Udara Jatiwangi. Sewa bagi-hasil itu dinaikkan panitia dari 6 menjadi 8 kuintal padi per hektare, atau Rp 300 ribu, setahun. Perubahan sistem bagi-hasil ini mengundang awalnya keributan. "Kami memang terlambat bertindak," kata Kolonel (Pnb.) Bowo Astoto, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara. Akhir bulan lalu, 500-an petani dari delapan desa di Kecamatan Ligung mendatangi Departemen Dalam Negeri di Jakarta. Dengan memakai kaus oblong bertulisan "Hancurkan semua ketidakadilan" mereka menuntut kepastian tertulis: status tanah dikembalikan seperti semula. Statusnya kabur sejak 1942 tentara Dai Nippon menguasai banyak tanah rakyat di Majalengka. Dengan kekerasan Kepala Kempetai Ohira Simizhu, Riuichoro Chiba, dan Miura Sato, kemudian rakyat dihalau membangun lapangan terbang, bengkel pesawat, gudang, barak serdadu, bunker, dan sebagainya. Usai Jepang kalah, petani kembali ke tanah muasalnya berbekal surat Letter C yang sudah mereka miliki sejak zaman Belanda. Cuma tak bertahan lama. Pada 1950 pihak Komando Lapangan Udara Cibeureum, Tasikmalaya, menguasai tanah itu. Kata Bowo Astoto, karena ada SK Kepala Staf Angkatan Perang No. 023/1950, semua tanah yang dikuasai Jepang menjadi milik negara. "Kami punya bukti. Dulu Jepang membeli tanah tersebut dari rakyat," ujarnya. Dokumennya masih disimpan di Kantor Pemda Majalengka. Kebenaran tanah tersebut dibeli Jepang disanggah oleh Masaru Antatsu. "Itu masa perang," kata Sekretaris Pertama Kedubes Jepang itu. Tak ada jual beli. Yang ada hanya ganti rugi. Dan, menurut ketentuan internasional, itu sudah diselesaikan melalui kesepakatan pampasan perang. Kesepakatan tersebut diteken Pemerintah Jepang dan RI pada 20 Januari 1958, delapan tahun setelah KSAP mengeluarkan SK ambil alih semua tanah yang dikuasai Jepang. "Kalau pampasan tidak diterima rakyat, itu bukan urusan kami. Itu urusan dalam negeri Indonesia," tambah Antatsu. Pemerintah RI, balas Bowo Astoto, sudah memberi ganti rugi itu kepada petani. Bukti ini bahkan diperkuat dengan surat edaran Kementerian Dalam Negeri pada 13 Mei 1953. Isinya: rakyat yang belum mendapatkan ganti rugi atas tanahnya supaya mengajukannya sampai akhir 1953. Tanpa menyebutkan batas waktu, edaran serupa awal 1983 diulang. Petani lalai memanfaatkan tawaran itu. Padahal, kedua edaran tadi ditempel di setiap kantor kelurahan selama 100 hari -- sesuai dengan waktu normal yang dibutuhkan dalam prosedur membuat sertifikat. Tapi petani terus menggarap sawah, yang menurut Bowo, Astoto, "tanpa ribut". Agaknya, para petani menyimpan rasa gusar itu sejak 1950 tanah mereka diklaim AURI. Mereka sudah berupaya ke pelbagai pihak: selama 40 tahun mengadu pada Bupati, Gubernur, Wapres, dan DPR. Bahkan rapat di pendopo Kawedanan Jatiwangi, 17 September 1951, khusus membahas permohonan rakyat pemilik tanah yang dikuasai AURI itu. Karena masih menggelinding, September 1965, pimpinan DPR GR meminta penjelasan status kepemilikan tanah itu kepada Menteri Agraria. Kemudian, 25 Agustus 1967, Bupati Majalengka menulis surat kepada Gubernur Jawa Barat: membenarkan tuntutan rakyat untuk memperoleh haknya kembali. Gubernur Jawa Barat, 1971, kemudian sependapat dengan kesimpulan bawahannya itu. Dalam pada itu, dua Bupati Majalengka, Saleh Sediana dan S. Paindra, memanfaatkan kasus tanah tadi sebagai bahan kampanye Pemilu 1971, 1977, dan 1982. Malah, S. Paindra -- yang dua periode jadi bupati -- berjanji mengembalikan tanah tersebut kepada petani, asal Golkar menang. Janji itu tidak dipenuhi. Dan petani makin kecewa. Menggugat lewat jalur hukum (1975), tapi mereka kandas sebelum pengadilan membahas materi gugatan. "Bahkan sekarang petani kecewa berat dengan pernyataan Pak Rudini. Kami ingin tanah itu kembali," kata T. Abdullah, Ketua Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan LMD Desa Beber. Menurut Abdullah, petani terus memperjuangkan status tanah itu melalui Musyawarah Petani untuk Pengembalian Tanah Jatiwangi, lembaga yang dibentuk Ahad pekan lalu di Majalengka. Mereka menilai Tim Khusus Depdagri dan Tim Bakorstanasda tidak imbang. Maka, mereka mengusulkan agar Pemerintah membentuk satu tim netral dengan memasukkan unsur petani sebagai anggotanya. Di samping itu, mereka sedang mempertimbangkan menggugat ulang pihak AURI. Ahmadie Thaha, Sri Pudyastuti R., dan Riza Sofyat (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus