ISU kesenjangan sosial belum seramai sekarang ketika awal tahun lalu Menteri Dalam Negeri Rudini mengecam orang-orang kaya yang membangun rumah mewah bak Gedung Putih. Berbarengan dengan itu, ia juga menghantam orang kota, pemilik tanah berhektare-hektare yang tak produktif. Ia menuduh mereka itu tak berpola pikir Pancasilais, karena cuma ingin mencari keuntungan dari penjualan tanah itu bila harganya melonjak. Sementara itu, banyak rakyat yang tak punya tanah. Maka, katanya ketika itu, "Pukul saja mereka dengan pajak setinggi-tingginya." Dengan itu, Rudini telah menyentuh soal keadilan sosial. Di tengah ramainya isu kesenjangan sosial saat ini, Kamis pekan lalu Rudini menerima TEMPO di ruang kerjanya. Berikut petikan wawancara itu: Anda mengecam rumah yang dibangun seperti Gedung Putih. Itu tampaknya relevan dengan soal kesenjangan sosial. Apakah ketika itu Anda sudah melihat betapa gawatnya soal kesenjangan sosial? Maksud saya ketika itu ingin mengajak masyarakat, khususnya orang yang merasa dirinya pemimpin, bahwa kesenjangan sosial itu ada. Kalau sudah ada, apa yang harus diperbuat. Yang paling mencolok dalam soal ini adalah adanya pengusaha-pengusaha yang berhasil, seperti yang dikatakan Presiden itu, sedangkan di sana-sini banyak orang yang masih kekurangan. Bagaimana dengan upaya mencegah kesenjangan sosial lewat penjualan saham perusahaan besar kepada koperasi seperti imbauan Presiden itu? Itu salah satu langkah yang penting. Kalau yang sudah kuat membantu koperasi, maka koperasi yang merupakan kumpulan manusia-manusia itu akan tumbuh subur dan kuat. Dengan demikian, anggotanya juga akan lebih sejahtera. Selain lewat penjualan saham, adakah cara lain yang bisa dilakukan? Menurut saya, masih banyak. Misalnya, kenapa perusahaan-perusahaan besar itu tidak melibatkan koperasi dalam jaringan mereka? Katakanlah ada pabrik mobil, sebenarnya kan bisa saja perusahaan servisnya diserahkan ke koperasi. Kalau saya lihat sekarang ini, perusahaan produsen mobil juga bikin perusahaan di bidang penjualan dan servis produknya. Sebenarnya, bidang itu kesempatan pada koperasi kalau para pengusaha itu mau memberi kesempatan. Lalu mereka juga memberikan bimbingan manajemennya, sehingga koperasi juga bisa tumbuh kuat sebagai mitra perusahaan-perusahaan besar itu. Berapa serius masalah kesenjangan sosial di sini? Apa sudah bisa menimbulkan "ledakan"? Saya kira ada indikasi mengarah ke sana. Ibaratnya minyak bensin yang tertumpah, kalau dilempar puntung rokok kan bisa menyala. Lihat saja kasus tukang becak di Pekalongan itu. Ketika ramai isu biskuit beracun di Tegal, massa sudah bergerak untuk mengeroyok toko-toko emas. Untung, bisa diatasi aparat setempat. Dari situ, kita bisa menilai bahwa situasinya sudah mencapai titik rawan. Makanya, sebelum ada orang yang melempar puntung rokok di atas bensin yang tumpah, kita berusaha mengingatkan. Masalahnya, ada rakyat yang kekurangan, melihat orang yang berkelebihan. Apakah kesenjangan sosial menjadi terasa sekarang karena masyarakat melihat bahwa kekayaan para konglomerat sudah begitu besar, setelah perusahaan-perusahaan itu go public? Saya tak melihat itu. Saya nilai konglomerat juga bisa menguntungkan rakyat, bangsa, dan negara. Tapi bisa juga sebaliknya. Tingkah laku mereka bisa merugikan. Itulah yang mesti kita tertibkan. Seperti apa tingkah laku yang mesti ditertibkan itu? Saya sering mengaitkannya dengan usaha mereka. Saya sering memberi contoh sebuah pabrik pengalengan nanas di Sumatera. Pabrik itu mengusahakan sendiri kebun nanasnya. Kenapa kebun nanas itu tak diserahkan pada pak tani miskin, sehingga kesejahteraan mereka meningkat? Katakanlah, tiap petani diberi kredit oleh pabrik itu untuk mengusahakan satu hektare kebun nanas. Lantas mereka diberi bibit, mereka dibimbing cara menanamnya sehingga mutu buah nanas yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan pabrik itu. Para petani itu diwajibkan menjual nanasnya kepada pabrik, guna mengembalikan kredit tadi. Dengan demikian, bukan pemerintah saja yang membuat PIR (perkebunan inti rakyat). Pabrik rokok kretek, misalnya, jangan lalu membeli kebun cengkih yang luas, bikin gudang-gudang yang besar, sehingga stok cengkihnya cukup untuk lima tahun. Kalau begitu, petani cengkih menjual hasilnya pada siapa? Apakah saat ini koperasi sudah siap? Jangan pakai kaca mata koperasinya. Konglomerat itu apa? Apa mereka bisa jadi pemodal besar tanpa pembangunan? Kita lihat saja mereka membangun pabrik kan dengan uang pinjaman pemerintah. Setelah ia besar, kok, tak mau memikirkan bangsa ini. Justru tugas kita semua berpartisipasi dalam pembangunan ini, jangan cuma mau jadi orang kaya. Tapi mereka kan sudah bayar pajak? Ya. Kalau mereka pakai kaca mata Barat, bisa saja bilang saya sudah bayar pajak, karena itu soal yang lain-lain, it's not my business. Sekarang saya tanya, mereka itu Pancasilais atau tidak. Makanya, kalau ketemu mereka yang nggak tahu itu, saya selalu bicara soal tanggung jawab. Kamu ini warga negara atau bukan? Kamu jangan jadi warga negara supaya menjadi kaya saja, supaya bisa bikin pabrik dan pinjam kredit. Saudara harus memiliki mental bangsa lebih dulu. Bagaimana dengan ide dialog nasional mengenai kesenjangan sosial yang diusulkan Abdurrahman Wahid itu? Kalau dialog, itu perlu. Tapi apa mesti dialog nasional, saya belum melihat kegunaannya. Yang penting, pihak yang akan menolong memang harus berdialog dengan pihak yang akan ditolong, agar kedua pihak sama-sama tahu. Bagaimana kalau sampai ada yang melarikan modal ke luar negeri? Segala kemungkinan itu ada saja: Tapi soal ini kan merupakan tugas dan tanggung jawab kita bersama. Para konglomerat juga adalah bagian dari kita. Karena itu, kita mesti bangga ketika Ciputra terpilih sebagai presiden organisasi real estate sedunia. Nama baik bangsa kita turut terbawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini