Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wahai, pengusaha

Dr. Loekman Soetrisno menggugat para pejabat. Pejabat ditugasi menghambat monopoli konglomerat. Malah berniaga bersama konglomerat. Ada peraturan yang melarang pegawai berdagang. Komentar para pejabat.

14 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA ini orang agaknya menganggap lazim kalau ada pejabat tinggi (dan keluarganya) berniaga. Padahal, peraturan yang melarangnya sudah ada sejak tahun 70-an silam. Dan belum dicabut sampai sekarang. Tapi tiba-tiba, minggu lalu, ada yang menggugat. Ia adalah Dr. Loekman Soetrisno. Kepada Kompas, peneliti senior pada Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menyatakan banyak pejabat yang menghadapi dilema. Mereka, di satu pihak, seharusnya membatasi kemungkinan monopoli konglomerat, tetapi di lain pihak juga berniaga bersama sang konglomerat sendiri. Karena itu, katanya, selain harus ada peraturan yang membatasi monopoli, peraturan yang melarang pejabat dan keluarganya berniaga -- yang sebenarnya ada dan belum dicabut -- harus dipraktekkan. "Kalau peraturan itu tidak dilaksanakan, bisa timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan pembangunan," katanya kepada TEMPO. Adanya keluarga pejabat yang berniaga, katanya lagi, banyak menimbulkan masalah. Mereka bisa memperoleh fasilitas secara tidak langsung karena petugas dari departemen tertentu, misalnya, tentu rikuh menghadapi pengusaha pelat merah itu. Istilah itu menunjukkan adanya pengusaha yang masih bertalian darah dengan seorang pejabat, dan harus dilayani. Loekman menilai, praktek bisnis keluarga pejabat ini sudah keterlaluan. "Anak lurah pun sekarang ini bisa jadi pemborong. Apa ini tidak mematikan usaha orang lain?" tanyanya. Saat ini cukup banyak pejabat yang lebih suka memilih keluarganya sendiri mendapatkan fasilitas menggarap sebuah proyek. "Dan itu sudah menjadi rahasia umum," ujarnya. Padahal, larangan bagi pejabat berniaga sudah lama diatur dalam PP No. 6/1974 tentang pembatasan kegiatan pegawai negeri dalam usaha swasta. Dalam Bab II pasal 2 disebut beberapa pejabat yang dilarang berniaga, apalagi memimpin perusahaan maupun sebagai pengawas perusahaan swasta. Mereka juga dilarang melakukan usaha dagang secara resmi maupun secara sambilan. Mereka adalah: pegawai sipil golongan IV a ke atas anggota ABRI berpangkat letnan dua ke atas: pejabat eselon I dan yang setingkat di pusat dan daerah perwira tinggi ABRI pejabat yang ditetapkan oleh menteri atau kepala lembaga yang bersangkutan. Pembatasan itu juga berlaku bagi istri pejabat, pegawai negeri, dan anggota ABRI. "Ini untuk mencegah kemungkinan timbulnya penyalahgunaan kedudukan suami untuk kepentingan bisnis istrinya." kata Mensesneg Moerdiono kepada Linda Djalil dari TEMPO. Di mana lalu batas boleh tidaknya seorang pejabat dan isterinya berniaga? Menurut Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Sarwono Kusumaatmadja, mereka dilarang menduduki jabatan yang memungkinkannya memiliki wewenang besar dalam perusahaan. Misalnya sebagai direktur utama. Atau memiliki saham besar yang bisa menentukan jalannya perusahaan swasta itu. Selain PP No. 6/1974 tersebut, ada dua peraturan lagi yang membatasi mereka: PP No. 30/1980 tentang disiplin pegawai negeri sipil, dan Keppres No. 10/1974 tentang pembatasan kegiatan pegawai negeri dalam rangka pendayagunaan aparatur negara dan kesederhanaan hidup. Sarwono menyadari, tiga peraturan tersebut kurang efektif. "Karena itu, sanksinya harus dikongkretkan," katanya. Menurut Menteri Dalam Negeri Rudini, seorang perwira ABRI dan istrinya tidak boleh berdagang. Tapi istri seorang bintara boleh berdagang, misalnya buka warung. Dalam ketiga peraturan tersebut, memang hanya pejabat dan istri yang dilarang berniaga. Sedang putra-putri pejabat, adik, dan kemenakan misalnya, memang tak dilarang berniaga. Karena itu, anggota FPP seperti Yusuf Syakir sangat menyayangkan tidak efektifnya peraturan tersebut. Oka Mahendra dari FKP secara blak-blakan melihat masih adanya pejabat tinggi yang berniaga. "Ada yang melakukannya secara terang-terangan, juga banyak yang bermain di belakang layar. Perusahaannya diatasnamakan orang lain atau keluarganya," katanya. Karena itu, pengamatan terhadap mereka tidak mudah, sebab "sebagian besar bisnis para pejabat diatasnamakan orang lain." Oka Mahendra percaya, banyaknya pejabat tinggi yang berniaga bisa mengakibatkan timbulnya kecemburuan dalam dunia usaha. Lelang tender proyek yang empuk, misalnya, biasanya sudah diatur di kalangan mereka sendiri hingga proyek-proyek itu sulit jatuh ke tangan pengusaha yang bukan kelompok mereka. "Sekarang kan sering kita dengar istilah 'tender arisan, tender diatur', dan sebagainya. Ini merupakan pertanda ada sesuatu yang tidak beres," katanya. Anak pejabat, kata Oka Mahendra, boleh saja berniaga asal fair, tidak memanfaatkan fasilitas orang-tuanya. "Anak seorang gubernur tidak dilarang berniaga asal tidak memborong semua proyek di daerah kekuasaan bapaknya. Kalau dia memanfaatkan kedudukan bapaknya demi kepentingan bisnis, itu tidak fair," ujarnya lagi. Mendagri Rudini juga mengakui pengawasan efektif memang tidak ada. Baru bila ada laporan, pejabat yang bersangkutan ditindak. "Ada yang saya tindak di Departemen Dalam Negeri," katanya. Misalnya ada yang bikin karaoke, harus mengundurkan diri sebagai pegawai negeri. Pilih salah satu, tetap jadi pegawai negeri atau pengusaha. Ada pegawai negeri yang punya perusahaan jasa pengacara. "Saya bilang, terus jadi pengacara silakan, tapi berhenti jadi pegawai negeri. Atau sebaliknya," katanya lagi. Rudini juga setuju bila peraturan itu diperluas, misalnya dengan melarang anak-anak pejabat berniaga. "Saya setuju, idealnya memang begitu. Tapi itu juga tergantung dari mental kita, bahwa menyalahgunakan wewenang pejabat itu tidak boleh. Kalau memang mau diperluas, terserah rakyat saja. Itu kan wewenang DPR," katanya lagi. Ais Anantama Said, 30 tahun, putra Ketua Mahkamah Agung Ali Said, S.H., tahu betul tak ada peraturan yang melarang anak pejabat berniaga. "Yang penting kami berperilaku sesuai dengan etika bisnis, jangan memanfaatkan ladang bapaknya. Saya sudah sepakat tidak berbisnis di ladang Bapak. Itu tidak etis," kata pemilik tempat hiburan Rumours itu. "Bapak berpesan, 'lu boleh dagang, tapi jangan di ladang gue'." BSH, Slamet Subagyo, Linda Djalil, Heddy Susanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus