KEDUTAAN Besar Uni Soviet di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, memang bernomor 13. Kendati demikian, bukanlah karena menghindar dari nomor yang sering dianggap sial itu yang menyebabkan para diplomat negara komunis ini sedang bersiap-siap pindah kantor. "Terus terang, kami terdorong untuk pindah karena persoalan keamanan kerja," tutur Alex Swiridow, pejabat bagian protokol Kedutaan Rusia di Jakarta. "Pembangunan Plaza Indonesia mempengaruhi air di dalam tanah, yang mengakibatkan anjloknya fondasi kami dalam beberapa tahun lagi," tambah sang diplomat. Plaza Indonesia, gedung pertokoan yang akan diresmikan Juni mendatang itu, mulai menancapkan tiang-tiang pancangnya hampir empat tahun silam. Dan menegakkan fondasi gedung berlantai 28 di atas tanah 4,2 hektare, yang terletak di antara gedung-gedung tinggi lainnya, tentulah bukan pekerjaan mudah. Terbukti, gedung Kedutaan Soviet yang berlantai 11 itu ternyata terpengaruh. Entah karena fondasinya kurang sempurna -- sebab Kedutaan Jepang yang terletak lebih dekat tak mempunyai keluhan yang sama -- perwakilan Negara Beruang ini berniat pindah ke kawasan Kuningan, yang memang disediakan untuk kawasan kedutaan (embassy row). Kepindahan ini rupanya telah dirundingkan antara pemerintah kedua negara. Konon, termasuk juga dalam materi yang dibicarakan dalam kunjungan Presiden Soeharto ke Moskow, September tahun lalu. "Kepindahan ini merupakan hasil perundingan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Uni Soviet, tak ada pihak ketiga yang terlibat," kata Alex Swiridow. Tapi, dalam pelaksanaannya, rupanya Pemerintah RI menunjuk pihak swasta. Entah karena merupakan salah satu pemilik Plaza Indonesia, pihak swasta yang ditunjuk itu ternyata adalah Grup Bimantara, yang sayang tak bersedia memberi keterangan. "Kesepakatan memindahkan Kedutaan Soviet sudah tuntas, tapi mengenai Kedutaan Australia masih dalam taraf pembicaraan," kata sebuah sumber yang terlibat dalam perkara ini. Kedutaan Australia memang terletak persis di sebelah Plaza Indonesia. "Saya memang mendengar bahwa ada perundingan soal perpindahan Kedutaan Australia ke Jalan Rasuna Said, Kuningan," kata John Jankie, atase pers Kedutaan Australia di Jakarta. "Tapi saya belum dapat memberi komentar lebih lanjut tentang masalah ini," tambahnya. Ini bisa dimaklumi. Masalahnya Bimantara melakukan pemindahan lokasi kedutaan itu dengan sistem tukar-guling alias swap. Walhasil, harus disepakati berbagai hal yang pelik seperti lokasi, luas tanah, dan desain bangunannya. "Kami berharap sedikitnya mendapatkan luas yang sama," kata Alex Swiridow. Sedangkan rancangan gedung ternyata sudah dikirim dari Moskow. Yang mungkin menjadi masalah, Tokyo tampaknya belum punya niat memindahkan kedutaannya di Jakarta, yang terjepit di antara Kedubes Australia dan Uni Soviet. "Kami masih betah di Jalan Thamrin," kata Masaru Antatsu, atase pers Kedubes Jepang. Belum jelas benar apa yang akan dilakukan Pemerintah RI terhadap lokasi bekas kedutaan yang pindah itu. Ada selentingan yang menyebutkan tempat itu akan dijadikan sarana perluasan Plaza Indonesia. Yang jelas, kawasan itu tampaknya akan dijadikan daerah bisnis. Terbukti sebuah gereja yang juga bersebelahan dengan Plaza Indonesia pun akan kena gusur. "Sebagai warga negara yang baik, kami merasa harus pindah," kata Yonathan, pejabat bagian komunikasi Gereja Masehi Advent di Jalan Thamrin. Gereja ini akan pindah ke Jalan M.T. Haryono. Hanya saja, yang menawarkan tukar-guling ternyata bukan Bimantara. "Kami berunding dengan pihak Golden Truly," kata Yonathan. Supermarket Golden Truly, seperti diketahui, dikenal sebagai milik jutawan Sudwikatmono, yang masih paman Bambang Trihatmodjo, pemilik Bimantara itu. Moebanoe Moera, Yudhi Suryoatmodjo, dan Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini