Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Walau Upah Rendah

Penghasilan yang diterima buruh yang bekerja dipabrik-pabrik sangat rendah, tapi mereka tidak berani menuntut, karena takut kehilangan pekerjaan. Mereka yang membentuk serikat buruh dipecat. (nas)

16 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LASMIANTI tidak pernah berangan-angan jadi buruh. Cita-citanya ingin menjadi guru agama. Karenanya begitu tamat Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA), gadis ini ingin segera lekas mengajar untuk turut meringankan beban orang tuanya yang menanggung 12 anak. Tapi beslit yang dinantinya tak kunjung tiba. Lasmianti memutuskan untuk mengembara ke Surabaya mengikuti seorang familinya. Kebetulan sang famili ini tinggal dekat pabrik kaos "Asli". Hingga biasa, Lasmianti kemudian bisa bekerja di sini. "Tapi sebelumnya saya sempat jadi kernet bemo jurusan Wonokromo-Jembatan Merah," ujarnya. "Sayalah satu-satunya kernet wanita saat itu," tambah gadis yang kini berusia 27 tahun itu. Di pabrik ini, 7 tahun sudah Lasmianti menjual tenaganya. Belakangan, rekan-rekannya memilihnya sebagai ketua Serikat Buruh di pabrik yang mempunyai sekitar 600 buruh itu. Sebagai ketua SB, Lasmianti merasa sedih karena upah buruh di pabrik itu jauh dari persyaratan yang ditentukan. "Seorang buruh yang sudah bekerja lebih dari 5 tahun gajinya hanya Rp 85/hari," ujarnya. Ada juga tambahannya, yakni tunjangan makan dan transpor sebesar Rp 100/hari. Hingga yang diterima buruh hanya Rp 185/hari. "Itupun setelah dinaikkan 30% belum lama ini," ujar Lasmianti. Mengapa buruh tidak menuntut upah yang lebih tinggi? Keadaan perusahaan ini memang "payah" hingga SB tidak sampai hati mendesak perusahaan. "Bisa-bisa kalau perusahaan tidak kuat menggaji, justru kami semua yang diberhentikan," kata Lasmianti. Direktur perusahaan Asli, Supriyangga (40 tahun) ketika ditemui TEMPO mengakui perusahaannya tidak bisa menggaji buruhnya lebih besar karena kelesuan usahanya. Keadaan semacam itu diakui FBSI Surabaya. "Upah yang paling minim memang di sektor tekstil," kata Siswanto. Sekretaris FBSI Surabaya. Berbeda dengan Jakarta, situasi Jawa Timur tampaknya tidak memungkinkan terjadinya aksi buruh yang "ramai". "Buruh di sini relatip penakut," ujar Abdurrahman, Wakil Ketua FBSI Jawa Timur. Tiga SB di daerah industri Rungkut membenarkan pendapat ini. "Tidak berani mas, nanti dikira macam-macam," ujar seorang di antaranya. Gaji rendah ternyata tidak terdapat di perusahaan pribumi saja. Pada 28 April lalu, sekitar 600 dari 1051 buruh pabrik pemintalan benang tenun PT Ellegant di Jatiluhur, Purwakarta, menuntut kenaikan upah lewat Serikat Buruh Tekstil dan Industri FBSI basis PT Ellegant. Upah harian yang dibayar PT Ellegant yang merupakan PMA India itu pada buruhnya -- yang sebagian besar wanita -- adalah rata-rata Rp 200 untuk 7 jam kerja, terendah Rp 150 dan paling tinggi Rp 900. Di luar itu, perusahaan menyediakan fasilitas angkutan serta satu kali makan, ditambah tambahan susu atau kacang hijau untuk yang bertugas malam hari. Buruh menganggap upah ini kelewat rendah dan melanggar keputusan Menteri Nakertrans yang menggariskan upah terendah Rp 414 untuk 7 jam kerja. Pihak perusahaan menolak tuntutan itu dengan dalih: "Kalau angkutan dan makan itu dihitung dalam komponen upah ketentuan Rp 414 itu sudah terpenuhi," kata seorang pejabat PT Ellegant. Permusyawaratan yang kemudian dilakukan hanya menghasilkan persetujuan PT Ellegant untuk menaikkan upah menjadi Rp 175 untuk 8 jam kerja. Kanwil Naker Purwakarta tampaknya tak bisa berbuat banyak melerai sengketa ini. "Kemampuan kami hanya sampai tingkat menganjurkan, bukan wewenang memaksakan keinginan," kata Untarwan, Kepala Kantor Perwatan Purwakarta. Pekan lalu perselisihan ini diajukan ke P-4 D Jawa Barat untuk diselesaikan. Sengketa juga terjadi PT Indorama, yang juga pabrik pemintalan benang tenun PMA India. Di sini pernah terendah Rp 250/hari untuk 7 jam kerja. Masih di wilayah Jatiluhur, di 2 pabrik pemintalan benang tenun PT Indaci dan PT Texfibre yang PMA Jepang, hampir tak pernah terjadi sengketa. Di PT Indaci misalnya, upah minimal Rp 470/hari untuk 7 jam kerja. Makan sekali sehari serta fasilitas pengangkutan juga tidak dimasukkan dalam komponen upah. "Jadi apa yang harus diributkan lagi?" kata beberapa buruh PT ini. Hampir semua buruh yang ditanya tidak bersedia disebut namanya. Tidak ada lain yang bisa disimpulkan kecuali ini menunjukkan bahwa buruh tidak ingin kehilangan pekerjaannya. Walau upah rendah, sering mereka terpaksa tunduk menerimanya. Bayangan pengangguran tampaknya begitu menghantui mereka. "Di desa, kami mau kerja apa?", kata seorang buruh dari SuL,ang pada pembantu TEMPO Hilman Eidy. Tidak semua buruh takut memperjuangkan haknya. Ook Mujoko (30 tahun), karyawan Hotel Horison mencoba melakukan itu dan akibatnya ia kehilangan pekerjaannya. Ook yang bekerja di hotel ini sejak 1975 merasakan banyak kejanggalan yang merugikan karyawan. Misalnya tidak adanya peraturan perusahaan, kesejahteraan karyawan yang diabaikan serta pembagian uang servis yang jelas. Pada pertengahan 1977 timbul gagasannya untuk berusaha memperbaiki nasib rekan-rekannya melalui pembentukan SB. "Saya menyadari risikonya. Saya tahu banyak karyawan di beberapa tempat yang dipecat karena membentuk SB." SB Pariwisata Basis Hotel Horison, melalui banyak rintangan akhirnya terbentuk juga. Tapi Ook yang dianggap penggeraknya memperoleh getahnya. Maret 1978, Ook yang bertugas di bagian Cost Control dipindah ke Cafetaria Copacabana "untuk mengembangkan kariernya." Ook menolak dan akibatnya ia diskors. SBPB Hotel Horison yang beranggotakan 465 dari 556 karyawan menuntut agar Ook dipekerjakan kembali dan sengketa ini kemudian dibawa ke P-4 Daerah. Keputusan PD Ook harus dipekerjakan kembali. PT Metropolitan Realty International Unit Hotel Horison naik banding ke P-4 Pusat. Dalam sidangnya 15 Januari lalu, P-4 P memutuskan agar Ook dipekerjakan kembali dan menerima upah penuh selama tidak bekerja. Keputusan ini tidak bisa diterima PT MRI yang kemudian bahkan menggugat P4 Pusat dan Ook Mujoko di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menuntut pembatalan keputusan itu. Pengadilan sampai saat ini belum memutuskan sengketa ini, tapi sementara proses ini berlangsung Ook telah terpilih menjadi Sekretaris Buruh Pariwisata DKI Jaya. Untuk menghidupi keluarganya, 10 bulan terakhir ini Ook bekerja sebagai sopir taksi. Menyesal? Ook menggeleng. "Ini memang sudah niat saya. Saya malah merasa terhibur. Sekarang Hotel Horison sudah berhati-hati kalau menindak karyawannya," katanya. KASUS sengketa perburuhan yang sampai ke meja pengadilan memang tidak banyak. "Sebetulnya kalau semuanya sudah menghayati HPP mustinya tidak usah sampai ke pengadilan. Perbuatan itu bisa dinilai tidak punya iktikad baik," kata Sekjen DPP FBSI Sukarno. Keresahan akibat kondisi perburuhan bisa juga timbul tidak pada buruh itu sendiri, tapi pada masyarakat setempat. Beberapa bulan lalu pada suatu malam pabrik roti "Asia Biskuit" di Tabing, dekat Padang, yang mempekerjakan 600 buruh dihujani batu. Para buruh panik dan berlarian dan kerusakan-kerusakan kecil terjadi. Siapa pelemparnya? Lewat ruangan surat pembaca di koran daerah di Padang pemuda setempat mengaku sebagai pelaku. "Itu peringatan dari kami, sebagai protes mengapa wanita dipekerjakan semalam suntuk," tulis mereka. Lebih separuh pekerja pabrik roti ini memang wanita dan bekerja bersama buruh pria dalam suatu ruangan. Semalam suntuk lagi. "Mereka berpacaran secara bebas," kata seorang pemuka masyarakat Tabing pada pembantu TEMPO Muchlis Sulin. Usia buruh wanita itu masih sangat muda, sekitar 16-19 tahun. Meskipun mereka bekerja untuk mencari nafkah hidup. "tapi itu bunga sedang berkembang, kata seorang pemuda Tabing. Maksudnya, dalam usia begitu mereka bisa tergoda dan rusak. Untunglah Tripida Kecamatan Koto Tengah cepat turun tangan. Penertiban segera dilakukan, juga lewat Kantor Perwatan dan FBSI Padang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus