Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bukan Sekadar Dibuatkan Edaran, Psikolog UGM Sebut Perlu Edukasi Soal Esensi Wisuda

Banyak orang yang mendorong agar wisuda hanya diperuntukkan untuk jenjang perguruan tinggi.

2 Juli 2023 | 09.19 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Polemik penghapusan wisuda untuk jenjang TK-SMA masih menjadi perbincangan di masyarakat dan media sosial. Banyak orang yang mendorong agar wisuda hanya diperuntukkan untuk jenjang perguruan tinggi karena berbagai alasan, utamanya soal biaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menanggapi itu, pengamat Perkembangan Anak, Remaja dan Pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) T. Novi Poespita Candra mengatakan pro-kontra acara wisuda yang dilaksanakan satuan pendidikan mulai dari TK sampai dengan SMA ini bermula dari adanya fenomena yang banyak terjadi saat ini. “Kalau dulu TK sampai SMA namanya pelepasan atau perpisahan ke jenjang selanjutnya, tapi belakangan ini semua menyebutnya wisuda," kata dia dikutip dari laman UGM, Ahad, 2 Juli 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal yang kini menjadi persoalan adalah ketika wisuda yang dilakukan oleh jenjang-jenjang di bawah perguruan tinggi ini terlalu berlebihan bahkan memengaruhi material. Novi pun membandingkan prosesi wisuda di luar negeri dan Indoesia.

Dosen Fakultas Psikologi UGM ini menyebutkan bahwa di luar negeri, istilah wisuda (graduation) dipakai di semua jenjang pendidikan. Hanya saja, terdapat perbedaan besar dalam pelaksanaan wisuda di Indonesia dan luar negeri.

Menurut Novi, perayaan wisuda di luar negeri dilakukan secara sederhana. “Dari pengalaman saat wisuda anak ketika SD di Australia, kami diundang dan mendengarkan setiap anak perkembangannya seperti apa. Jadi, merayakan perkembangan anak poinnya. Tidak ada acara makan-makan dan perayaan mewah lainnya,” ujarnya.

Sementara di Indonesia, pelaksanaan wisuda di jenjang TK hingga SMA tak jarang harus sampai menyewa gedung mewah, baju dan lainnya. Hal tersebut menjadi terlalu berlebihan dan memberatkan orang tua serta sekolah.

Kondisi itu akhirnya memunculkan kritik dari berbagai pihak sehingga pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan-Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan Surat Edaran (SE) sebagai bentuk respons akan polemik tersebut. Melalui SE Nomor 14 Tahun 2023 yang diterbitkan 13 Juni 2023.

Kemendikbudristek mengimbau tidak menjadikan kegiatan wisuda sebagai kegiatan wajib. Jika melaksanakan pelepasan siswa dalam bentuk wisuda tidak boleh membebani orang tua atau wali peserta didik.

Novi pun menilai persoalan wisuda itu memerlukan edukasi ke semua pihak, termasuk orang tua. Edukasi yang dimaksud Novi tentang esensi dari kegiatan wisuda sebagai ajang refleksi bagi anak-anak dan orang tua terkait perjalanan mereka selama menjalani pendidikan.

"Sebenarnya wisuda itu selain mensyukuri ada tahap yang sudah terlampaui, tetapi juga sebagai refleksi perkembangan apa yang sudah dicapai. Refleksi pada masing-masing anak,” kata Novi.

Novi mengatakan momen wisuda juga harus dimaknai sebagai upaya untuk menyiapkan anak dan orang tua menjalani jenjang pendidikan selanjutnya. “Bukan soal administrasi loh, tetapi misal mau SMP kan sudah remaja. Nah, memasuki masa remaja ini apa yang perlu disiapkan orang tua, apa yang dipesankan pada anak-anak, pemaknaan seperti ini yang harus dipelajari,” kata dia.

Tanpa edukasi itu, menurut Novi, wisuda 'tanpa esensi' akan tetap berjalan. "Karena kalau cuma dilarang wisuda nantinya akan tetap ada kegiatan serupa, hanya ganti nama. Bukan soal selebrasi atau wisudanya tapi lebih ke lifestyle berlebihan saat wisuda,” kata dia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus