Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bung tidak pernah almarhum.

Ada serentetan acara mengenang bung karno. di pejaten, jak-sel yang dihadiri 300-an tokoh diselenggarakan oleh yps. juga oleh yayasan mas mad, dihadiri para bekas pejuang. nu cabang blitar akan tahlilan.

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POTRET Bung Karno dipajang di sebelah kanan podium. Di dinding belakang, tertera dalam huruf-huruf besar: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Ini memang peringatan hari ulang tahun ke-89 Presiden RI yang pertama itu. Penyelenggaranya Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS). Sekitar 300 orang hadir Rabu malam, 6 Juni lalu, pada acara yang dilangsungkan di Sekretariat YPS, Pejaten Timur, Jakarta Selatan. Acara ini tergolong unik karena bukan diskusi atau seminar yang digelar, melainkan kesan dan kenangan sejumlah tokoh masa silam yang secara pribadi pernah mengenal Bung Karno. Tidak mengherankan bila kebanyakan yang hadir adalah orang-orang lama yang sudah berperan di zaman Bung Karno, seperti bekas Gubernur DKI Jaya Ali Sadikin, S.K. Trimurti, Manai Sophiaan, Dahlan Ranuwihardjo, dan tokoh SOKSI Suhardiman. Mereka pula yang didaulat oleh Rachmawati Soekarno, Ketua YPS, dan Ridwan Saidi Ketua Panitia HUT, untuk berkisah. Para tokoh lama itu lebih banyak menceritakan manusia Bung Karno dalam kesehariannya. Ali Sadikin, yang pada 1963 menjabat menteri perhubungan laut, misalnya menilai Bung Karno pemimpin yang santai, humoris, tidak suka basa-basi, dan manusiawi. "Kalau menerima menteri di Istana, dia cuma pakai kaus oblong dan tanpa peci. Saya bisa menyaksikan kepalanya yang botak," kata Ali sambil tertawa. Ali juga mengungkapkan kejengkelannya tatkala pada 1970-an orang ramai-ramai menuduh Bung Karno koruptor. "Sukmawati punya rumah, saya sebagai Pemda yang kasih. Guntur, Guruh, dan Mega juga. Apa buktinya BK korupsi? Bayangkan, anak presiden kok nggak punya rumah, nggak punya perusahaan," Ali berseloroh. Bekas Menteri Perburuhan S.K. Trimurti, yang pada 1930-an merupakan salah seorang murid BK di Kursus Kader Politik di Bandung, juga punya kenangan manis. Dengan gaya lucu, Bu Tri membeberkan kisahnya pada 1960, ketika dia menjadi anggota Dewan Nasional. Suatu hari Trimurti mengkritik Bung Karno. "Akibatnya, saya dijothak -- tidak diajak bicara. Tapi, saya tetap bebas keluar masuk Istana. Saya sering ngambll buah-buahan yang disediakan buat BK. Karena sedang jothakan, Bung Karno cuma melihat," tutur Trimurti sambil tertawa. Sekali waktu, Trimurti dibikin dag-dig-dug. Tanggal 17 Agustus 1961 dia dipanggil ke Istana. Ia mengira bakal dimarahi Bung Karno. "Ee . . . nggak tahunya saya diberi bintang kehormatan. Bung Karno sendiri yang menyematkannya di pundak saya. Tapi, tanpa bicara. Bukan cuma itu saja acara mengenang Bung Karno. Lima hari sebelumnya, 1 Juni, sekitar 500 eks Tentara Pelajar/Pelajar Pejuang Kemerdekaan Brigade 17 yang tergabung dalam Yayasan Mas Mad (diambil dari nama Achmadi, bekas Komandan Brigade 17 yang pernah menjabat menteri penerangan), serentak berdiri dan menyanyikan Indonesia Raya. Lagu itu mengawali acara peringatan hari lahirnya Pancasila yang mereka selenggarakan. Kemudian mereka menyambut seru "Merdeka" tiga kali berturut-turut ketika Maladi -- mantan menteri penerangan yang menjadi Ketua Yayasan -- mengakhiri sambutannya. Selain anggota yayasan, hadir pula Ali Sadikin, Rachmawati Soekarno, Sukmawati, Soerjadi, dan Nico Daryanto -- Ketua dan Sekjen DPP PDI. Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, menurut Maladi terakhir kali diadakan secara nasional pada 1 Juni 1968. Sesudah itu terhenti karena dilarang. Namun, para Eks Tentara Pelajar/Pelajar Pejuang Kemerdekaan Berigade 17 sejak 1976 selalu menyelenggarakannya, terbatas bagi mereka saja. Acara ini mulai "boleh" dipublikasikan pada 1989. Ketika itu Roeslan juga menjadi pembicara tunggal di tempat yang sama, Wiswa Mas Mad. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sebenarnya, pada 1 Juni 1978 sejumlah pejabat pernah terlibat dalam penyelenggaraan peringatan Hari Lahirnya Pancasila di Gedung Kebangkitan Nasional. Hadir ketika itu, antara lain, Menteri Penerangan Ali Moertopo, Wakil Presiden Agam Malik, Menko Kesra Surono, dan Bung Hatta. Namun, belakangan peringatan semacam itu ditiadakan oleh Pemerintah. Alasannya: 1 Juni dianggap bukan hari kelahiran Pancasila. Pemerintah lebih condong untuk memperingati 1 Oktober seba- gai Hari Kesaktian Pancasila. Acara yang diselenggarakan Yayasan Mas Mad memang tidak melibatkan pejabat. Namun. para bekas pejuang yang sekarang sudah uzur itu tetap bersemangat memberi aplaus setiap kali Roeslan Abdulgani, pembicara tunggal malam itu, menegaskan Bung Karno sebagai bidan kelahiran Pancasila dan berperan besar dalam penyusunan UUD 1945. Sementara itu, anak muda, yang menjadi minoritas malam itu, lebih banyak menjadi pendengar setia. Di Ciputat, Jakarta Selatan, pekan lalu nama Bung Karno juga bergaung. Anak-anak muda yang tergabung dalam Pusat Pengkajian Partai-Partai Politik & Golkar (PSG) menggelar topik "Sosialisme Soekarno" dalam diskusi rutin mereka. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) pun tak mau ketinggalan. Ormas ini menyinggung nama Bung Karno lewat peringatan Hari Kebangkitan Nasional pada 30 Mei lalu di Jakarta. Dua bekas tokoh GMNI, Jaksa Agung Sukarton dan Menteri Muda Perumahan Rakyat Siswono Judohusodo, ikut mem- beri sambutan. Lantas, makam Bung Karno di Karangmulyo, Blitar, Jawa Timur, Ahad awal Juni lalu diserbu sekitar 20 ribu penziarah. Mereka agaknya juga datang untuk memperingati ulang tahun Bung Karno 6 Juni. Sementara itu, Nahdlatul Ulama Cabang Blitar bersiap-siap menyelenggarakan haul -- peringatan hari kematian Bung Karno -- yang ke-20 pada 21 Juni nanti. Figur Bung Karno tampaknya tetap mempesona banyak kalangan. Yang menarik, tahun ini berbagai peringatan untuk mengenangnya terasa lebih ramai ketimbang tahun-tahun sebelumnya. "Bagi kami, Bung Karno tidak pernah almarhum. Pikiran dan ajarannya tetap aktual dan relevan untuk dilaksanakan," ujar Rachmawati Soekarno dalam peringatan HUT ke-89 Bung Karno. Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus