PUKUL 10 pagi di Jakarta. Para tamu menunggu sambil mendengar bacaan ayat-ayat Quran yang mengalun khusyuk. Mereka bersila di permadani mengitari telepon yang sudah disambung kepengeras suara. Lalu, kriiiingng. "Halo, di sini Aryo," sapa dosen Universitas Terbuka itu, lewat telepon. Kala itu pukul 10 malam waktu Amerika Serikat. "Apa terdengar?" ujar Aryo S. Sutarto. "Ya, terdengar. Siapa yang menjadi saksi?" "Sebentar, Ayah. Saksinya ada sepuluh orang." "Cukup nama dan identitas dua saksi disebut," ucap yang di Jakarta. Aryo menurut. Petugas KUA mencatat nama kedua saksi itu. Prof. Dr. Baharuddin Harahap menikahkan sendiri putrinya, Nurdiani, dengan Aryo. Sebagaimana lazimnya pernikahan, lalu Aryo di seberang benua sana menyambut, "Saya terima nikahnya ...." Yang mendengar menganggukkan kepala. Petugas KUA yang hadir menyatakan "sah" pernyataan dari mempelai pria itu. Arti "sah" inilah yang dipersoalkan sejak pekan lalu. Padahal, nikahnya berlangsung 13 Mei silam di rumah Baharuddin, Jalan Sungai Sambas, Kebayoran Baru, Jakarta. Semula pernikahan Ani (begitu penyanyi kelompok Trio Bebek itu dipanggil) akan diselenggarakan seperti biasa. Rupanya, Aryo tak bisa pulang. Ia tugas belajar sejak dua tahun lalu di Universitas Indiana, AS. Walau sudah meraih gelar M.A., kini ia harus menambah keahliannya di bidang pendidikan satu semester lagi. April tahun lalu ia pulang sebentar sambil memastikan kapan jadwal nikah. Tanggalnya jatuh di hari nikah telepon itu. Karena pernikahan tak bisa ditunda lagi, maka seseorang yang hadir nyeletuk. "Bagaimana kalau pernikahan mereka dilakukan lewat telepon saja?" katanya. Dalam film seri Dynasty yang ditayangkan TVRI pernah ada pernikahan seperti itu. Diskusi sebentar. Oke, Baharuddin menyatakan cara ini tak bertentangan dengan Islam. Lagi pula, telepon semakin canggih. Haji Abdurrachman, Kepala KUA Kebayoran Baru, turut melihat nikah model baru itu. Walau ia mengatakan jawaban mempelai pria sah, "nilai" perkawinannya secara keseluruhan "tidak sah". Karena itu, ia menolak mencatat pernikahan tadi diinstansinya. Alasannya: pengantin pria tidak hadir. Dan tidak pula menunjuk seseorang sebagai wakil dengan menggunakan surat kuasa. "Saya cuma menyaksikan. Yang memimpin ijab kabul kan wali perempuan sendiri," katanya. Anggapan tidak sah juga dikemukakan A. Munir, Direktur Urusan Agama Islam Departemen Agama. Dalam mazhab Syafii, kata Munir, akad itu harus satu majelis. Tak bedanya dengan imam dan makmum bila salat. "Kalau salat di Masjid Istiqlal di-TV-kan, kan tak boleh seseorang di rumah menjadi makmum dengan melihat televisi itu," katanya. Adakah contoh Munir mungkin lemah? Karena di Mekah, apalagi musim haji, jemaah ada yang salat di lobi hotel, jalan-jalan, tapi berimam ke Masjidil Haram dengan menurutinya via suara TV dan speaker. Dan bagaimana berbuka puasa dan salat magrib setelah dengar azan di TV serta radio? Justru itu, Baharuddin menampik perbandingan A. Munir. Dosen pascasarjana di IAIN Jakarta ini mempertanyakan pengertian "satu majelis". "Tak ada keterangan fikih yang menyatakan satu majelis itu berhadap-hadapan," katanya. Majelis, baginya, dapat diperluas. Hubungan via telepon yang memungkinkan komunikasi timbal balik dianggapnya satu majelis juga. Dan kalau mampu, mengapa tak pakai telepon berlayar monitor? "Maka, majelis itu jangan diartikan secara harfiah," ujar eks dekan Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta itu. Kekhawatiran para saksi sulit mengetahui siapa penelepon, dan bagaimana pembicaraannya, juga dianggapnya tak beralasan. Sebab, Drs. Suroso Darmo Atmojo, ayah Aryo, memastikan: suara di telepon tadi memang benar suara anaknya. Para saksi, minus yang tuli, mendengar seluruh percakapan lewat pengeras suara. Walhasil, bagi Baharuddin, pernikahan melalui telepon lebih baik ketimbang mempelai pria diwakilkan dengan surat kuasa. "Percakapan lewat telepon kan keluar dari hati sendiri. Dan itu membuat lebih mengharukan," katanya kepada wartawan TEMPO Ardian T. Gesuri. Sehabis itu, memang banyak hadirin menangis. Sedang dalam acara tukar cincin, Aryo diwakili ibunya. Jumat lalu Baharuddin mendatangi A. Munir. Berdialog. Apalagi pekan silam pejabat inilah yang pertama dikutip koran, mengatakan nikah lewat telepon tidak sah. "Yang penting tujuannya," katanya. "Peraturan perkawinan kan buatan manusia. Dalam Quran tidak disebut tata caranya." Lalu ditunjuknya mazhab Syafii, yang menyatakan rukun nikah hanya tiga: ada ijab kabul, ada wali perempuan, dan ada saksi. Bagaimana melaksanakannya dianggapnya khilafiah -- dan itu bisa berubah menurut zaman. "Keyakinan yang penting. Agama itu masalah keyakinan." Entah tak ingin berdebat, atau mungkin menyetujui pandangan itu, Munir akhirnya ia menge-"sah"-kan pernikahan Ani-Aryo. Ia memang tidak mengira bahwa pembicaraan telepon didengar saksi-saksi. Waktu itu ia belum mengecek ke KUA Kebayoran Baru. "Kalau yang bersangkutan menganggap cara telepon sah, ya sah. Tetapi yang afdal tetap pernikahan seperti cara biasa," katanya. Sementara itu, Menteri Agama Munawir Sjadzali serta Ketua Majelis Ulama Indonesia K.H. Hasan Basri menyatakan tak sah. "Ritual ibadat lewat telepon tak bisa. Sekalipun misalnya telepon itu bermonitor," kata Hasan Basri pada Ahmadie Thaha dari TEMPO. Ia mengingatkan: pernikahan adalah amanat Allah. Jadi, sesuatu yang sakral. "Kacau-balaulah bila beragama juga dimodernkan," ujarnya lagi. Tapi, menurut Baharuddin, "Ketua MUI itu Minggu lalu sudah menyatakan pada saya pernikahan itu sah. "Waktu itu banyak yang berpendapat sebaiknya pernikahan itu ditunda, apalagi keduanya bahkan belum berkumpul. Baharuddin tak setuju. "Menikah itu lebih cepat lebih baik," katanya. Kalau soal kecepatan, ternyata Ani-Aryo, yang sama-sama 28 tahun, sudah delapan tahun berpacaran. Mereka kerling-mengerling, dulu, sejak satu tingkat di IKIP Jakarta. Hanya mana tahu, diam-diam, setelah Aryo pulang, pernikahan berhadapan-hadapan boleh diulang? Supaya rohani dan jasmani kedua sejoli itu tambah tenteram dalam rumah tangga. Berpahala kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini