TAK sia-sia Adnan Buyung Nasution "menyepi" lima tahun di Negeri Belanda. Sebuah disertasi setebal 590 halaman telah lahir dari tangannya. Buyung, 58 tahun, kini berhak menyandang gelar doktor ilmu hukum setelah senat guru besar Universitas Utrecht menyatakan lulus 4 November lalu. Disertasi Buyung menyoroti hiruk-pikuknya konstituante hasil Pemilu 1955 yang bertugas menyusun UUD. Dan Buyung memfokuskan kajiannya pada demokrasi dan hak asasi yang diperdebatkan selama sidang konstituante 1956-1959. Untuk menyingkap itu, Buyung harus memeriksa 10.000 halaman dokumen notulen perdebatan konstituante. Hasil tinjauannya dikemas dalam disertasi berjudul The Aspiration for Constitutional Government: A Sosio-Legal Study of Indonesian Konstituante 1956-1959. Ia menarik kesimpulan positif atas hasil konstituante. "Konstituante tak gagal," katanya. Kini Buyung sudah siap-siap kembali. Ia tak berniat membuka praktek pengacara, dan akan lebih banyak memperhatikan masalah demokrasasi dan hak asasi. Akan dicekal? Kepala Bakin Letnan Jenderal Sudibyo, ketika ditanyai wartawan pekan lalu di DPR, menjawab singkat, "Setahu saya, tak ada larangan untuk Buyung." Berikut petikan pendapatnya tentang konstituante, demokrasi, dan hak asasi yang dicatat Asbari N. Krisna dari TEMPO di Belanda, yang mewawancarainya Kamis pekan lalu. Soal gagalnya konstituante: Kondisi partai-partai yang menempatkan wakilnya di konstituante itu masih belum dewasa. Mereka kurang memahami tanggung jawabnya dalam menggunakan hak politik. Partai terlalu mengendepankan kepentingan golongan, dan para pemimpinnya mencampuradukkan kepentingan partai, negara, dan minat pribadi. Pembubaran konstituante, dan keputusan kembali ke UUD 45, lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, disayangkan. Bahwa partai-partai sulit berjalan seiring, itu karena sedang belajar politik. Tapi para pemimpin negara dan militer tak mau sabar. Yang paling fatal, konstituante terlalu menekankan pemikiran ideologi dan ingin menjadikannya sebagai ideologi negara. Tapi secara keseluruhan perdebatan konstituante itu puncak perjuangan bangsa untuk mencapai negara konstitusional. Tentang demokrasi: Demokrasi adalah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, kekuasaan bersifat terbatas. Karena itu, perlu adanya jaminan hak-hak rakyat. Sejak kemerdekaan sampai 1957 demokrasi tak pernah dipersoalkan. Sedangkan demokrasi liberal itu cuma predikat dari Bung Karno untuk perbandingan dengan demokrasi asli. Padahal, demokrasi asli amat feodal dan paternalistik. Demokrasi waktu itu berjalan dan tak ada yang ingin menggantinya. Kalau ada seperti PKI dan DI/TII, itu karena tak suka demokrasi. Tentang hak asasi: UUD 1950 memang menjamin kebebasan, leading dalam hal hak asasi. Itu karena pengalaman kehidupan bernegara, bukan karena deklarasi PBB mengenai hak asasi. Hak asasi UUD 1950 lebih baik dari Universal Human Rights. Sedang UUD 45, seyogianya menampung hak asasi. Ketika UUD 45 mau digunakan kembali, para anggota konsituante pun mengkritik bahwa UUD 45 punya kekurangan. Kekuasaan bisa menjadi tak terbatas. Semua golongan menghendaki hak-hak asasi hasil konstituante dijadikan bagian dari UUD 45. Soal sistem parlementer: Orang selalu mempermasalahkan kabinet yang sering berganti, ekonomi merosot hingga krisis. Waktu merdeka, ekonomi Indonesia sudah jelek. Ada daerah yang memberontak. Juga masalah Irian Barat, yang berbuntut penyitaan seluruh perusahaan Belanda. Infrastruktur tak diperbaiki, Pemerintah belum membangun ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini