Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – YF, 33 tahun, korban kekerasan seksual oleh petugas Transjakarta, ingat benar kata per kata Jaksa Penuntut Umum Sinta Dewi ketika membacakan tuntutan terhadap empat pelaku pemerkosaannya pada 25 Juni 2014. Ia merasa sesak saat mendengar tuntutan hukuman yang dialamatkan kepada para pelaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Mereka dituntut 1 tahun 6 bulan penjara. Saat itu aku tidak bisa berharap apa-apa lagi,” kata YF pada Ahad, 18 November lalu di Plaza Kalibata, Jakarta Selatan. Tuntutan jaksa itu sama dengan vonis yang dijatuhkan hakim kepada keempatnya. Mereka divonis melanggar pasal 281 KUHP tentang Kejahatan atas Kesusilaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YF tak menyangka ganjaran bagi pelaku pelecehan seksual di Indonesia tampak tak serius. Warga Kemayoran, Jakarta Pusat, itu mengatakan hukum bui bagi empat perenggut martabatnya itu terasa tak setimpal dengan efek yang ia terima pascatragedi.
Ia kemudian membekap wajahnya. “Maaf,” kata dia. Dengan kalimat yang sesekali terpenggal, ia mulai berkisah merunut kejadian pilu yang terjadi pada Senin siang, 20 Januari 2014.
Pagi itu, seperti biasa YF berangkat bekerja menggunakan bus Transjakarta. Transportasi itu menjadi pilihannya sehari-hari untuk menuju kantornya di kawasa Pluit, Jakarta Utara. Namun cuaca kala itu kurang bersahabat. Hujan terus menerus turun dan membuat jalanan ibu kota dikelilingi genangan air.
YF sempat dilarang pergi bekerja oleh ibu dan adiknya karena khawatir penyakit asmanya kambuh. Penyakitnya itu gampang kambuh bila kena cuaca adem. Namun YF berkukuh berangkat kerja. Ia pun menaiki bus yang penuh penumpang. Karena kedinginan dan kurang oksigen, asmanya kambuh. Ia pingsan saat bus tiba di Halte Senen Sentral.
Saat sadar, YF berada di Halte Harmoni. Dibantu seorang ibu dan seorang petugas on board bus Transjakarta, YF dibawa ke sebuah kursi untuk beristirahat. Ia ditemani oleh petugas keamanan Halte Harmoni bernama Edwin Kurnia Lingga.
Lantaran kondisi YF makin lemas, Edwin menawarinya untuk beristirahat di tempat lain. Edwin pun memanggil dua temannya, M Irfan, dan Dharman R Sitorus, untuk memapah YF. Sedangkan M Kurniawan muncul belakangan. Mereka membawa YF ke ruang genset di halte. Di sini lah petaka itu terjadi. “Saya merinding kalau ingat. Tapi saya harus ceritakan semua,” kata dia.
Meski sempat gamang, YF akhirnya melapor ke polisi atas kejadian pelecehan seksual yang dialaminya. Sebelumnya, ia telah melapor ke pihak Transjakarta. YF datang tanpa pendamping ke kantor Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat sehari setelah kejadian. Sebab kala itu yang mengetahui kejadian itu hanya bosnya.
Setelah pelaporan, kasusnya pun mulai bergulir. Namun ia mengaku mengalami sejumlah hal tak mengenakkan selama mengikuti proses hukumnya. Salah satunya saat ia menjalani pemeriksaan di kepolisian. “Saya korban perkosaan. Tapi saya mendapat cecaran pertanyaan seperti maling,” ujarnya. Di persidangan pun ia merasa tak dihargai sebagai korban. Lebih dari lima bulan ia bersabar menjalani proses hukum yang berat itu. Meski vonis telah jatuh dan pelaku dihukum, namun perjuangannya belum usai.
Puluhan massa Aliansi Masyarakat Tolak Kekerasan Seksual menggelar aksi long march dengan membawa spanduk menuju gedung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai bentuk dukungan agar disahkannya RUU penghapusan kekerasan seksual menjadi undang-undang di Jalan Medan Merdeka, Jakarta, Selasa 8 Desember 2015. TEMPO/Subekti
Saat ini, YF mengaku masih berjuang menghadapi hari-hari berat setelah tragedi. Bukan lagi memikirkan masalah sanksi pelaku yang tak adil, melainkan stigma lingkungan yang membuatnya kerap ingin menyerah menjadi manusia. “Aku manusia berharga. Aku bukan aib,” kata dia.
Kasus YF itu hanya salah satu dari ribuan peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi setiap tahun di Indonesia. Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu menyebut apa yang dialami YF dirasakan juga oleh para korban lainnya. “Korban rata-rata tak mau bersuara karena stigma dan tekanan sosial,” ujarnya kepada Tempo.
Perempuan yang telah dirundung perilaku perkosaan kerap dipandang sebelah mata. Maka, kata Azriana, karena takut dengan pandangan sosial, korban memilih menutupinya. Keluarga korban juga pada umumnya juga langsung meminta korban tak menceritakan pelecehan tersebut kepada orang lain.
Azriana pun menyinggung buruknya sistem hukum di Indonesia. Menurut dia, pihak berwenang atau ahli hukum sering tidak mengerti situasi psikologi korban. “Korban acap ditanya hal-hal yang justru membuatnya merasa terintimidasi,” ujarnya. Hal itu juga terjadi dalam kasus YF.
Karena itu, Komnas Perempuan dan sejumlah lembaga pemerhati perempuan getol mendorong disahkannya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Dalam rancangannya, aturan itu akan mengatur lebih khusus mengenai penanganan kasus kekerasan seksual. Mulai dari mengatur proses acara pidana, pemulihan korban, perlindungan hak korban dan frasa relasi gender dalam ketimpangan seksual.
Namun, menurut Azriana, pasal-pasal kunci tersebut justru hilang dari daftar inventarisasi masalah yang diajukan pemerintah. Ia pun berharap DPR dan pemerintah bisa segera bertemu dan menyelesaikan beleid ini dengan memprioritaskan perspektif korban. “Tekanan publik bisa membuat pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual naik jadi prioritas utama,” ujarnya.