Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati mendorong partai politik melakukan kaderisasi secara merit sistem setelah Mahkamah Konstitusi menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Partai politik sudah seharusnya memberikan support system kepada kader yang memiliki kapasitas, kapabilitas, bukan malah menjadi penghalang,” kata Neni lewat keterangan tertulis, Jumat, 3 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam putusan sidang uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, MK menyatakan syarat partai politik atau gabungan partai politik memiliki 20 persen kursi DPR untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden inskonstitusional dan bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan. Sehingga ambang batas 20 persen tersebut dibatalkan majelis hakim MK.
Neni mengapresiasi putusan MK yang progresif ini. Sebab selama ini, penentuan ambang batas pencalonan presiden yang tidak didasarkan pada kajian akademis serta basis penghitungan yang transparan, akuntabel, rasional, terbuka, dan sesuai dengan prinsip pemilu.
Neni mengatakan putusan MK akan berpengaruh menimbulkan banyak partai politik yang akan lahir dan calon presiden atau calon wakil presiden yang bakal bermunculan. Sehingga DEEP mendorong partai politik untuk melakukan kaderisasi secara merit sistem, memperkuat kelembagaan partai, transaparan dan akuntabel untuk menghadirkan internal partai yang bersih dan jujur dan tegaknya sistem demokrasi.
Neni melihat respons seluruh elit partai politik positif terhadap putusan MK ini. Kendati demikian, Neni meminta pembuat undang-undang menjadikan putusan MK ini sebagai pedoman menyusun RUU Pemilu.
“Saat ini, pembuat undang-undang menjadi kunci. Apakah akan menjadikan pedoman dalam menyusun RUU Pemilu atau melakukan pembangkangan terhadap konstitusi karena kepentingan politik pragmatis?” ujar dia.
Menurut Neni, pembuat UU harus menerapkan prinsip meaningfull participation atau partisipasi publik yang bermakna dalam melakukan rekayasa konstitusional atas putusan MK terkait dengan penghapusan presidential threshold.
“Pemerintah dan DPR agar senantiasa konsisten melibatkan partisipasi publik dan memberikan kemudahan akses agar bisa mengawal putusan MK ini secara maksimal. DPR memiliki peranan yang sangat vital untuk memastikan perubahan ini dapat dilaksanakan,” ujar dia.
Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan pemerintah menghormati putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan syarat ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold.
Menko Yusril menjelaskan, setelah adanya tiga Putusan MK Nomor 87, 121 dan 129/PUU-XXII/2024 yang membatalkan keberadaan ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden itu, pemerintah secara internal tentu akan membahas implikasinya terhadap pengaturan pelaksanaan pilpres tahun 2029.
"Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold, maka pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR," ujar Yusril dalam keterangan resminya kemarin. “Semua stakeholders termasuk KPU dan Bawaslu, akademisi, pegiat pemilu dan masyarakat tentu akan dilbatkan dalam pembahasan itu nantinya.”
Pada Kamis, 2 Januari 2024, majelis hakim MK resmi menghapus ketentuan presidential threshold 20 persen itu melalui perkara 62/PUU-XXII/2024. Ketua MK Suhartoyo mengatakan norma pasal 222 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109 seluruhnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, aturan tersebut juga dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra menambahkan, penentuan ambang batas ini juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan menciptakan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi dan secara nyata bertentangan dengan UUD 1945.
Oleh karena itu, hal tersebut menjadi alasan MK untuk menggeser dari pendirian putusan sebelumnya. “Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka presentasi ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi Isra.