Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Derita lain dari galunggung

Banyak sumbangan untuk korban galunggung yang diselewengkan, beberapa pengungsi menderita muntaber, para korban enggan bertransmigrasi, mungkin karena penyuluhan yang kurang. (nas)

24 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA akibat meletusnya Gunung Galunggung nampaknya masih akan terus berkepanjangan. Sampai pekan lalu Gunung Jadi, anak Gunung Galunggung, masih memuntahkan abu dan pasir serta asap tebal bak letusan bom atom. Yang dikhawatirkan bila musim hujan tiba. Paling tidak, 5 juta meter kubik lahar diperkirakan akan menerjang daerah pemukiman lewat sungai. Hal itu pasti akan menambah jumlah pengungsi, yang kini mencapai 34 ribu orang. Keadaan mereka sendiri, kini memang jauh dari senyum. Terserak di bedeng-bedeng dan tenda yang dibangun Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Alam (Satkorlak PBA), tampang mereka tampak kuyu dan kumal. Apalagi yang tinggal di gubuk-gubuk darurat beratap dedaunan, yang dibuat sendiri, jauh lebih buruk dibandingkan kampung kaum pengungsi Vietman yang pernah menghuni kawasan Tanjungpinang. Para pengungsi yang sebagian besar buruh tani itu, hanya bisa menghabiskan waktu dengan duduk termangu. Sering mereka dikejutkan oleh Gunung Galunggung yang terbatuk-batuk dan mengirimkan isi perutnya. Keadaan mereka memang menyedihkan. Bedeng sempit berukuran 3 x 3 meter, terpaksa dihuni satu keluarga yang bisa berjumlah lima sampai 12 orang. Karena sempitnya ruangan, sekaligus untuk berjaga-jaga, terpaksa mereka tidur bergantian. Di pagi hari, mereka menyerbu sumur-sumur pompa sumbangan, yang nampaknya dipasang asal saja, dangkal dan tanpa saringan. Akibat sulitnya air bersih, beberapa pengungsi di bedeng Kampung Baregoh, Desa Cilampunghilir, Kecamatan Leuwisari misalnya, menderita muntaber dan dibawa ke Rumah Sakit Tasikmalaya. Masalah lain: pembagian bantuan dan sumbangan. Sejak April lalu, Bupati Tasikmalaya Hudly menginstruksikan agar semua bantuan disalurkan lewat Satkorlak PBA. Ini untuk menghindarkan pembagian yang tidak merata. Sejak April itu sudah diterima bantuan antara lain uang Rp 433 juta lebih dan beras sekitar 1,7 ton. Yang sudah dibagikan kepada para pengungsi, menurut keterangan resmi, sudah Rp 425 juta dan 998 ribu kilo beras, di samping pakaian, selimut, lentera dan ikan asin. Toh masih banyak pengungsi yang merasa jatahnya disunat. Menurut ketentuan, tiap pengungsi mendapat jatah Rp 150 dan 300 gram beras per hari. Sejak awal Juni, jatah dikurangi menjadi Rp 100 dan 250 gram beras per hari. Namun banyak pengungsi yang menerima kurang. Sebanyak 557 pengungsi di bedeng-bedeng di Kampung Baregoh, Desa Cilampunghilir mengaku hanya menerima Rp 65 plus secangkir beras atau sekitar 200 gram. Itu pun dua atau tiga hari sekali, "tanpa ikan asin yang mestinya kami terima sehari satu ons," tutur seorang pengungsi. Pakaian bekas terkadang mereka terima, tapi "yang masih bagus disisihkan oleh petugas," katanya. Salim, 55 tahun, penduduk Kampung Baregoh jadi khawatir. Bila keadaan itu dibiarkan berlarut-larut, bisa timbul penyakit busung lapar. "Mana cukup secangkir beras untuk dua tiga hari?' ujar pensiunan polisi pamong praja itu. Ia juga menyayangkan karena bantuan seperti selimut, tekstil, kalaupun ada yang sampai, jumlahnya sudah jauh berkurang. Ketua II penampungan pengungsi Kampung Baregoh, Zainal Asikin, mengakui adanya pemotongan itu. Jatah Rp 100 per pengungsi yang digariskan Satkorlak, sampai ke tangannya cuma Rp 75. Untuk biaya administrasi dan menjaga keadaan darurat seperti ketika ada yang terkena muntaber, Posko memotong Rp 10. Jatah beras pun terpaksa dipotong sekitar 50 ram tiap jiwa. Itu tak lain untuk jaga-jaga bila ada pengungsi baru. Akibatnya Asikin menjadi serba sulit. Maka ia terpaksa membuat dua macam laporan. Yang pertama untuk pengungsi yang isinya sesuai dengan apa yang mereka terima. Laporan kedua untuk aparat desa. Isinya sudah tentu menyebutkan seolah bantuan sebesar ketentuan dari Satkorlak sudah tiba dan diterima pengungsi secara utuh. Bupati Hudly bukannya tak tahu hal seperti itu. Menurut dia petugas yang suka menyeleweng sudah ditindak. Gubernur Aang Kunaefi, dalam pertemuan dengan para pimpinan media massa di Bandung Kamis minggu lalu juga menghimbau agar soal ini tak kelewat dibesar-besarkan. "Kasihan, mereka sudah bekerja siang-malam. Kok malah dituduh mencuri," katanya. Aang pun mengharap agar para pengungsi itu mau bertransmigrasi. Sementara itu, terhitung sejak 10 Juli sampai Oktober mendatang, mulai diselenggarakan dapur umum sebagai ganti beras dan uang lauk-pauk. Hal itu nampaknya ada hubungannya dengan "ancaman" Dirjen Bantuan Sosial Harun Al Rasyid, yang akan mencabut bantuan bila pengungsi tetap berkeras tak mau ditransmigrasikan. Sejauh ini baru sekitar 2 ribu jiwa -- hanya 25% dari yang direncanakan yang sudah berangkat ke luar Jawa. Keengganan itu mungkin karena penyuluhan yang kurang, ditambah beredarnya desas-desus tentang "hutan yang masih harus dibuka." Ternyata lokasi untuk transmigrasi asal Galunggung memang belum dipersiapkan cukup matang. "Di dalam rumah yang dibangun asal jadi, masih banyak tunggul pohon. Juga lahan pertanian belum siap tanam," kata seorang yang pernah ikut meninjau lokasi untuk transmigrasi Galunggung di Sumatera Selatan. Menurut dia, pendekatan dengan cara menggertak tak akan berhasil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus