RENCANA akibat meletusnya Gunung Galunggung nampaknya masih akan
terus berkepanjangan. Sampai pekan lalu Gunung Jadi, anak Gunung
Galunggung, masih memuntahkan abu dan pasir serta asap tebal bak
letusan bom atom. Yang dikhawatirkan bila musim hujan tiba.
Paling tidak, 5 juta meter kubik lahar diperkirakan akan
menerjang daerah pemukiman lewat sungai.
Hal itu pasti akan menambah jumlah pengungsi, yang kini mencapai
34 ribu orang. Keadaan mereka sendiri, kini memang jauh dari
senyum. Terserak di bedeng-bedeng dan tenda yang dibangun Satuan
Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Alam (Satkorlak
PBA), tampang mereka tampak kuyu dan kumal. Apalagi yang tinggal
di gubuk-gubuk darurat beratap dedaunan, yang dibuat sendiri,
jauh lebih buruk dibandingkan kampung kaum pengungsi Vietman
yang pernah menghuni kawasan Tanjungpinang.
Para pengungsi yang sebagian besar buruh tani itu, hanya bisa
menghabiskan waktu dengan duduk termangu. Sering mereka
dikejutkan oleh Gunung Galunggung yang terbatuk-batuk dan
mengirimkan isi perutnya.
Keadaan mereka memang menyedihkan. Bedeng sempit berukuran 3 x 3
meter, terpaksa dihuni satu keluarga yang bisa berjumlah lima
sampai 12 orang. Karena sempitnya ruangan, sekaligus untuk
berjaga-jaga, terpaksa mereka tidur bergantian.
Di pagi hari, mereka menyerbu sumur-sumur pompa sumbangan, yang
nampaknya dipasang asal saja, dangkal dan tanpa saringan. Akibat
sulitnya air bersih, beberapa pengungsi di bedeng Kampung
Baregoh, Desa Cilampunghilir, Kecamatan Leuwisari misalnya,
menderita muntaber dan dibawa ke Rumah Sakit Tasikmalaya.
Masalah lain: pembagian bantuan dan sumbangan. Sejak April lalu,
Bupati Tasikmalaya Hudly menginstruksikan agar semua bantuan
disalurkan lewat Satkorlak PBA. Ini untuk menghindarkan
pembagian yang tidak merata. Sejak April itu sudah diterima
bantuan antara lain uang Rp 433 juta lebih dan beras sekitar 1,7
ton. Yang sudah dibagikan kepada para pengungsi, menurut
keterangan resmi, sudah Rp 425 juta dan 998 ribu kilo beras, di
samping pakaian, selimut, lentera dan ikan asin.
Toh masih banyak pengungsi yang merasa jatahnya disunat. Menurut
ketentuan, tiap pengungsi mendapat jatah Rp 150 dan 300 gram
beras per hari. Sejak awal Juni, jatah dikurangi menjadi Rp 100
dan 250 gram beras per hari. Namun banyak pengungsi yang
menerima kurang. Sebanyak 557 pengungsi di bedeng-bedeng di
Kampung Baregoh, Desa Cilampunghilir mengaku hanya menerima Rp
65 plus secangkir beras atau sekitar 200 gram. Itu pun dua atau
tiga hari sekali, "tanpa ikan asin yang mestinya kami terima
sehari satu ons," tutur seorang pengungsi. Pakaian bekas
terkadang mereka terima, tapi "yang masih bagus disisihkan oleh
petugas," katanya.
Salim, 55 tahun, penduduk Kampung Baregoh jadi khawatir. Bila
keadaan itu dibiarkan berlarut-larut, bisa timbul penyakit
busung lapar. "Mana cukup secangkir beras untuk dua tiga hari?'
ujar pensiunan polisi pamong praja itu. Ia juga menyayangkan
karena bantuan seperti selimut, tekstil, kalaupun ada yang
sampai, jumlahnya sudah jauh berkurang.
Ketua II penampungan pengungsi Kampung Baregoh, Zainal Asikin,
mengakui adanya pemotongan itu. Jatah Rp 100 per pengungsi yang
digariskan Satkorlak, sampai ke tangannya cuma Rp 75. Untuk
biaya administrasi dan menjaga keadaan darurat seperti ketika
ada yang terkena muntaber, Posko memotong Rp 10. Jatah beras pun
terpaksa dipotong sekitar 50 ram tiap jiwa. Itu tak lain untuk
jaga-jaga bila ada pengungsi baru. Akibatnya Asikin menjadi
serba sulit. Maka ia terpaksa membuat dua macam laporan. Yang
pertama untuk pengungsi yang isinya sesuai dengan apa yang
mereka terima. Laporan kedua untuk aparat desa. Isinya sudah
tentu menyebutkan seolah bantuan sebesar ketentuan dari
Satkorlak sudah tiba dan diterima pengungsi secara utuh.
Bupati Hudly bukannya tak tahu hal seperti itu. Menurut dia
petugas yang suka menyeleweng sudah ditindak. Gubernur Aang
Kunaefi, dalam pertemuan dengan para pimpinan media massa di
Bandung Kamis minggu lalu juga menghimbau agar soal ini tak
kelewat dibesar-besarkan. "Kasihan, mereka sudah bekerja
siang-malam. Kok malah dituduh mencuri," katanya.
Aang pun mengharap agar para pengungsi itu mau bertransmigrasi.
Sementara itu, terhitung sejak 10 Juli sampai Oktober mendatang,
mulai diselenggarakan dapur umum sebagai ganti beras dan uang
lauk-pauk. Hal itu nampaknya ada hubungannya dengan "ancaman"
Dirjen Bantuan Sosial Harun Al Rasyid, yang akan mencabut
bantuan bila pengungsi tetap berkeras tak mau ditransmigrasikan.
Sejauh ini baru sekitar 2 ribu jiwa -- hanya 25% dari yang
direncanakan yang sudah berangkat ke luar Jawa.
Keengganan itu mungkin karena penyuluhan yang kurang, ditambah
beredarnya desas-desus tentang "hutan yang masih harus dibuka."
Ternyata lokasi untuk transmigrasi asal Galunggung memang belum
dipersiapkan cukup matang. "Di dalam rumah yang dibangun asal
jadi, masih banyak tunggul pohon. Juga lahan pertanian belum
siap tanam," kata seorang yang pernah ikut meninjau lokasi untuk
transmigrasi Galunggung di Sumatera Selatan. Menurut dia,
pendekatan dengan cara menggertak tak akan berhasil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini