Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta Soesilo memastikan korban maupun saksi difabel, khususnya difabel perempuan dan anak-anak bisa mendapatkan layanan pendampingan di persidangan. Pendamping, seperti penerjemah bahasa isyarat untuk Tuli dan Bisu tersebut tidak harus bersertifikat maupun yang mempunyai izin bertugas sebagai lawyer.
“Cukup surat dari Sapda yang menyatakan pendamping tersebut layak mendampingi saksi korban,” kata Soesilo di Sekretariat Yayasan Advokasi Perempuan, Disabilitas, dan Anak (Sapda) di Kotagede, Yogyakarta, Kamis, 12 Juli 2018.
Baca juga:
Perlindungan Hukum Bagi Difabel Ditandatangani di Yogyakarta
Tips Hari Pertama Anak Berkebutuhan Khusus Masuk Sekolah
4 Jurus Agar Difabel Tak Ditolak Membuka Rekening di Bank
Kemudahan tersebut, Soesilo melanjutkan, merupakan bentuk komitmen dari penandatangan MOU atau nota kesepahaman antara PN Kota Yogyakarta dengan Sapda tentang komitmen penegak hukum dalam mengimplementasikan hak perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas pada 12 Juli 2018.
“Pendamping kan sejak awal yang mengetahui kondisi psikologis korban,” kata Soesilo.
Pendampingan bisa berdasarkan keputusan hakim. Bisa juga atas pengajuan permohonan dari saksi korban. Sedangkan bagi saksi korban yang mengalami trauma disediakan media teleconference.
Sebelum ada MOU, Direktur Sapda Nurul Sa’adah Andriani menjelaskan, sejumlah pendamping tidak diperkenankan masuk ke ruang persidangan untuk mendampingi saksi korban yang mengalami kekerasan seksual. Alasannya, persidangan untuk kasus tersebut bersifat tertutup. Persidangan tersebut hanya ada mejelis hakim, sakis korban, lawyer dan jaksa. Sedangkan pelaku mendapat pendampingan lawyer.
“Pendamping dari Sapda hanya sampai di pintu sebelum persidangan dimulai. Tak boleh masuk,” kata Nurul.
Alasan pelarangan juga karena penerjemah bahasa isyarat yang menjadi pendamping tidak bersertifikat. Pendamping tersebut dianggap seperti penerjemah Bahasa Inggris yang sudah bersertifikat.
“Mereka bayangkan itu yang disumpah sudah bersertifikasi. Kalau bahasa isyarat untuk difabel tidak begitu,” kata Nurul.
Sapda mencatat jumlah kasus yang menimpa difabel sejak 2008-2018. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan difabel pada 2008-2009 ada 60 kasus kekerasan fisik dan psikis. Pada 2010-2012 ada 14 kasus kekerasan psikis. Pada 2013-2015 ada 22 kasus kekerasan fisik dan seksual. Pada 2016-2017 ada 20 kasus kekerasan seksual dan 6 kasus kekerasan seksual pada 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini