Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Doa Panjang dari Pagai

Ribuan warga Kepulauan Mentawai menghabiskan malam pascagempa di atas bukit. Air laut sempat naik.

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUPRI Lindra, wartawan media lokal itu, terduduk sambil menangis. ”Saya coba berlari, tapi tak bisa,” katanya. Bumi di bawah telapaknya ”menari” gonjang-ganjing. Empat menit lindu mengamuk, tanah dan rumah berderak-derik. ”Begitu tak ada guncangan lagi, saya lari sampai ke atas bukit,” kata pria 24 tahun itu.

Rabu sore pekan lalu itu, empat ribuan warga Pulau Pagai, Kecamatan Pagai Utara Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, sekitar 150 km dari pesisir Sumatera Barat, ikut berlarian menuju bukit bersama Supri. Pusat guncangan selepas magrib itu memang tak jauh dari pulau mereka. Sumber gempa berkekuatan 7,9 pada skala Richter itu di dasar laut dekat Kepulauan Enggano, Bengkulu, sebelah selatan Pulau Pagai.

Dari sana, getaran merambat ke seantero penjuru: Mentawai, Bengkulu, Padang, Solok, sampai Jambi. Guncangannya bahkan sampai ke seberang lautan: Jakarta dan Singapura. Badan Meteorologi dan Geofisika mencatat, ada 63 gempa berkekuatan di atas 4,5 pada skala Richter susul-menyusul sampai Kamis pekan lalu. Semuanya bersumber di lepas pantai barat Sumatera. Ratusan rumah dan bangunan luluh-lantak, ribuan warga mengungsi. Korban jiwa sampai akhir pekan lalu dilaporkan 11 orang.

Di Pulau Pagai, lindu datang diawali suara gemuruh, disusul lonceng gereja berdentang-dentang. ”Suara lonceng membuat banyak penduduk berlarian ke luar rumah,” kata Supri. Lonceng Gereja Katolik di Pagai, peninggalan masa kolonial Belanda, biasanya hanya berbunyi sebelum misa Ahad.

Siapa gerangan yang membunyikannya, Rabu sore itu? Tak ada. Guncangan gempa yang begitu keras merambat ke menara gereja dan menggoyang lonceng tua itu. ”Lonceng itu menyelamatkan banyak orang,” kata Supri.

Warga kampung kediaman Supri, Desa Sikakap, juga diselamatkan perbukitan di tengah pulau. Pagai memang dibentengi bukit-bukit berperdu. Tingginya tak seberapa, paling-paling 100 meter dari dataran landai. Setiap gempa, tanpa dikomando, warga lintang-pukang ke punggung bukit.

Setelah sejam-dua jam menunggu di atas bukit, Supri nekat turun. Dia yakin tak ada gempa susulan. Tujuannya satu: mencari makanan. Banyak warga memang tak sempat membawa logistik ketika melompat kabur. Tak sedikit yang belum mengisi perut karena gempa datang sebelum jam makan malam. Beberapa pemuda ikut turun ke permukiman, menemani Supri.

Sampai di kaki bukit, Supri terperangah: air laut sudah naik sampai ke lutut. ”Saya menghambur naik lagi,” katanya dengan suara gemetar. Mendengar kabar itu, warga di atas bukit panik memekik-mekik. Tangis dan ratap berhamburan. Doa pun didaraskan tak putus-putus. Malam itu, air terus naik perlahan, sampai semeter dari permukaan tanah.

Puluhan keramba udang milik warga, kapal nelayan, dan sampah dari pantai terapung-apung makin tinggi. ”Semalaman kami tak bisa tidur,” kata Supri. Pada saat bersamaan, Badan Meteorologi memang mengeluarkan peringatan tsunami. Pusat gempa yang ada di bawah permukaan laut, dan kekuatannya yang di atas 6 pada skala Richter, membuat badan pemantau gempa ini tak berani berspekulasi.

Peringatan tsunami pun disebar ke seluruh Nusantara. Pengungsi di Kota Bengkulu dan Padang harap-harap cemas menanti nasib di kamp pengungsian masing-masing. Untunglah, air kemudian perlahan surut. Keesokan paginya, air laut sudah kembali ke garis pantai seperti sebelumnya. Sekitar pukul 06.30, untuk kedua kalinya Supri dan sejumlah pemuda mencoba turun, mencari-cari bahan makanan.

Baru saja mereka sampai di kawasan permukiman warga, gempa kembali menerjang. Sejumlah bangunan yang sudah doyong ambruk rata dengan tanah. ”Kami lari lagi balik ke bukit,” kata Supri, menggeleng-gelengkan kepala.

Sebetulnya, gempa pekan lalu bukan pengalaman pertama untuk warga Pagai. Dua tahun lalu, lindu berkekuatan 6,7 pada skala Richter menggoyang tetangga Pagai, Pulau Siberut. Ketika itu, gempa juga disusul tsunami kecil setinggi lutut. Ketika bencana alam itu sekarang terulang lagi, tetap saja warga terkaget-kaget.

Tak ada peringatan sama sekali yang sampai ke telinga warga sebelum gempa menggempur desa mereka. Alarm tsunami yang terpasang di pesisir pantai Pagai membisu seribu basa. Sampai Jumat pekan lalu, kapal-kapal pembawa bantuan logistik untuk pengungsi dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga belum bisa merapat ke Pulau Pagai. Gelombang laut masih tinggi.

Bahkan pejabat sekelas camat pun tak tampak bersama warga. ”Rabu itu dia sedang ke Padang dan belum bisa balik ke sini sampai sekarang,” kata Supri. Lengkaplah sudah penderitaan ribuan warga Pagai. Terpencil dan sendiri di atas bukit.

Untuk bertahan, sebagian pengungsi kini membuat tenda darurat dengan terpal seadanya. Urit, 45 tahun, ibu empat anak yang mengungsi di atas bukit Pagai, mengaku sudah menangis dua malam berturut-turut. ”Selain takut tsunami, saya menangis karena tidak bawa bekal sama sekali,” katanya pelan. Di sekitarnya, sesama pengungsi hanya bertekun dalam doa panjang.

Wahyu Dyatmika, Febriyanti (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus