SELAMA hampir 47 tahun menikmati kemerdekaan, Indonesia hanya punya dua presiden. Dua-duanya diakui sangat hebat sebagai pemimpin pada zamannya. Mereka adalah orang yang tampaknya memang dilahirkan untuk memimpin bangsa ini pada saat menghadapi masalah pelik. Itu sebabnya duaduanya memerintah lebih dari dua puluh tahun. Soekarno 22 tahun, sementara Soeharto sampai saat ini sudah menjalankan roda kepresidenan selama 25 tahun. Meminjam istilah Harry Tjan Silalahi, Wakil Ketua Dewan Direktur CSIS, dua-duanya adalah hero. "Mereka berdua sudah menjadi pemimpin bangsa sebelum menjadi presiden. Jadi, proses konstitusional memberi jabatan presiden itu sepertinya hanya memformalkan kedudukan mereka," kata Harry Tjan. Harry tak berlebihan mengatakan demikian. Sebelum Indonesia merdeka dan bisa memilih seorang presiden, Soekarno adalah salah seorang pemimpin yang amat menonjol sekalipun usianya terbilang paling muda di antara rekan-rekannya sesama pejuang pergerakan kemerdekaan. Ide dasar Bung Karno tentang negara yang begini besar ini adalah persatuan. Apa yang disebut sebagai persatuan pada zaman itu amatlah jauh dengan yang sudah ada sekarang. Bernhard Dahm, dalam bukunya Sukarno and the Struggle for Indonesian Independence, melukiskan bahwa pada masa itu keadaan politik Hindia Belanda sangatlah kacau. Ada partai besar yang sangat aktif, Partai Komunis Indonesia, ada sisasisa National Indische Partij. Di luar itu masih ada organisasi daerah seperti Jong Batak dan Jong Ambon, kelompok keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, Partai Protestan atau Katolik. Pendeknya, tulis Dahm, tak ada yang namanya persatuan. Semua tokoh yang menjadi pemimpin berbagai organisasi, kumpulan, dan kelompok di atas tak ada satu pun yang mampu dan bisa dipercaya untuk membawa rasa persatuan. Soekarno adalah sebuah fenomena lain. "Ia sempurna untuk tugas menggalang persatuan," tulis Dahm. Alat yang digunakan Soekarno saat itu adalah sebuah ideologi yang bernama nasionalisme. "Ia memang hero sekaligus seorang Bapak Bangsa," kata Harry Tjan. Sebagai pengesahan kepemimpinan ini, 18 Agustus 1945 Soekarno dilantik oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai Presiden yang pertama. Dan Soeharto tampaknya dilahirkan sebagai pemimpin bangsa pada saat Soekarno mendekati akhir pengabdiannya. Permainan politik tinggi antara Soekarno dengan dukungan kaum nasionalis, Angkatan Darat, dan Partai Komunis Indonesia, sejak awal 1960-an pelan-pelan mulai membawa bangsa ini ke ambang perpecahan. Belakangan Soekarno tampak cenderung dekat dengan PKI yang berakhir dengan pembunuhan enam pimpinan teras Angkatan Darat yang dikenal sebagai peristiwa G30S-PKI, 1965. Soeharto kala itu adalah seorang mayor jenderal yang menduduki posisi strategis di Angkatan Darat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang "terlupakan" oleh PKI. Padahal, Soeharto sebenarnya adalah orang nomor dua di Angkatan Darat pada saat Jenderal Ahmad Yani, Menteri Panglima Angkatan Darat pada waktu itu, berhalangan. Dalam kekacauan itulah Soeharto yang saat itu tak banyak disebut-sebut orang sebagai calon pemimpin mulai muncul menjadi penyelamat. Di tengah kevakuman pimpinan Angkatan Darat, ia dengan cepat mengambil alih komando di Angkatan Darat sekalipun Bung Karno sudah sempat menunjuk Mayor Jenderal Pranoto sebagai pelaksana komando sementara. Pergulatan itu berlangsung terus hingga 11 Maret 1966, saat Soeharto mendapat surat pelimpahan wewenang dari Bung Karno yang dikenal dengan Surat Perintah Sebelas Maret. Langkah besarnya segera setelah menerima surat itu adalah membubarkan PKI. Tindakan ini kemudian membuktikan bahwa Soeharto memang lahir sebagai pemimpin untuk mengawali sebuah era baru di Indonesia. Tanggal 23 Februari 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengangkat Soeharto sebagai penjabat presiden. Setahun kemudian, Maret 1968, ia dikukuhkan menjadi presiden. Berikutnya berturut-turut 1973, 1978, 1983, dan 1988. Sebenarnya, apa yang dilakukan Soekarno sebelum akhirnya ia runtuh pada krisis tahun 1965-1966 itu bukanlah sebuah perkara sepele. Masalah persatuan tetap saja menghantui negara yang memang dibangun dari berbagai suku bangsa, ras, dan agama ini. Belum lagi proses pencapaian kedaulatan secara penuh, pengakuan sah internasional, tidaklah muncul begitu saja setelah kemerdekaan diumumkan. Soekarno adalah orang yang berhasil meraih itu semua untuk bangsanya. Selain itu, tahun 1950 hingga 1958, kecuali terjadi pergolakan politik yang tak menentu di pusat yang ditandai jatuh-bangunnya kabinet, juga terjadi serangkaian pemberontakan di daerah. Mulai dari Republik Maluku Selatan (RMS), PRRI Sumatera Barat dan Permesta Sulawesi Utara, hingga DI-TII di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Belum lagi Dewan Banteng dan Dewan Garuda di Sumatera, serta di Aceh muncul pula gerakan Daud Beureueh. Pemilu 1955 yang sempat menghasilkan Konstituante pun tak berarti apaapa bagi kemajuan bernegara. Perdebatan mengenai dasar negara sedemikian berlarut-larut sehingga akhirnya Bung Karno memutuskan sebuah dekrit yang isinya kembali ke UUD 45 sebagai landasan konstitusi dan Pancasila sebagai ideologi negara. Maka, J.D. Legge, yang menulis buku Soekarno: A Political Biography, mencatat bahwa saatsaat itu sudah membuktikan bahwa Soekarno adalah seorang pemimpin yang memang dibutuhkan pada zamannya. Keberhasilan Soekarno bukanlah semata-mata karena ia berhasil menjaga dirinya tetap seimbang di antara ketiga kekuatan besar PKI, nasionalis, dan militer melainkan juga karena "keperkasaannya" di mata penyanjungnya. Pada saat partai-partai kehilangan legitimasi, seperti disebutkan oleh ahli Indonesia terkenal Herbert Feith, Soekarno tak perlu mencarinya. Kekuatan Soekarno yang lain adalah kehebatannya dalam arena politik internasional. Soekarno adalah tokoh dunia, itu sebabnya patung lilinnya ikut dipajang di Museum Madame Tussaud di Amsterdam. Mulai dari konperensi Asia Afrika 1955, ia lantas mendirikan gerakan nonblok. Sampai akhirnya sang orator ini memutuskan tak aktif atau keluar dari PBB. Ia juga gemar berkonfrontasi. Politiknya yang terkenal adalah Ganyang Malaysia sebagai protes atas apa yang disebutnya neokolonialisme di Serawak. Namun, semuanya itu membuat rakyat yang menjadi pemujanya habis-habisan terhanyut dan lupa perut. Maklum, pemahamannya akan ekonomi sungguh tak terbayangkan. Akibatnya, sebuah keadaan ekonomi moratmarit. Inflasi melonjak hingga 650%, bahan pokok susah didapat. Bahkan ekonomi Indonesia disebut-sebut jauh lebih parah jika dibandingkan dengan keadaan tahun 1938 sekalipun. Dan untuk itu Bung Karno punya alasan yang amat enteng: "Aku bukan ekonom, aku seorang revolusioner. Perasaaan dan gagasanku adalah sangat sederhana, sangat sederhana. Jika negara yang hidup di atas gurun yang kering bisa menyelesaikan masalah ekonomi, mengapa kita tidak?" Tampaknya, era Soekarno memang sudah waktunya harus berakhir. Bangsa ini memerlukan seorang pemimpin pada era yang berbeda. Dan Soeharto, sekalipun seorang militer tulen sejak zaman perang kemerdekaan, rupanya punya panggilan untuk memimpin bangsa ini melaksanakan pembangunan ekonomi. Sedikit gambaran bisa menunjukkan betapa berat pembenahan yang harus dilakukannya. Kala ia mulai memerintah, produksi manufaktur hanyalah 10% dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan secara nasional. Defisit mencapai 50% dari anggaran. Kondisi itu pelan-pelan dapat diperbaiki. Laju inflasi pelan-pelan ditekan. Dari 650% di tahun 1966, kini bisa diturunkan sampai kurang dari dua digit. Sejak 1969, Indonesia sudah mulai mencatat laju pertumbuhan ekonomi sebesar 7,1% setahun dan ratarata selama 25 tahun sekitar 5%. Berbagai keajaiban ekonomi ini pelan-pelan mulai memulihkan kepercayaan luar dan juga decak kagum orang yang memperhatikan dari dekat. "Indonesia secara jitu melaksanakan strategi dalam menekan laju inflasi sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan nasib rakyat," tulis Marshal Greeen, duta besar Amerika Serikat pada masa itu. Menurut seorang pejabat tinggi negara yang dekat dengan Pak Harto, semua strategi pembangunan itu sebenarnya beranjak dari pemikiran yang sederhana. "Yang paling penting itu adalah perut orang. Kalau perut keroncongan, orang tak akan bisa berbuat apaapa," demikian jalan pikiran Pak Harto sebagaimana ditirukan pejabat tinggi tadi. Terbukti pembangunan ekonomi tetap dipertahankan sebagai prioritas utama. Jumlah penduduk miskin makin menurun, dari 54,2 juta di tahun 1976 turun menjadi 27,2 juta pada tahun 1990. Pak Harto juga berhasil merealisasikan program swasembada beras sejak tahun 1984. Prestasi ini diakui sebagai kelas dunia, sehingga pada Juli 1986 Presiden Soeharto menerima penghargaan khusus dari organisasi pertanian dan pangan PBB, FAO. Sebuah medali bergambar Presiden Soeharto sendiri disematkan sebagai tanda penghormatan atas prestasi luar biasa itu. Penghargaan semacam ini bukan cuma sekali. Tahun lalu Pak Harto menerima lagi dari organisasi kesehatan PBB, WHO. Prestasinya dianggap luar biasa dalam pembangunan kesehatan sejak 1972, yakni program pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di semua kecamatan. Berbagai keberhasilan ini memang tampak di depan mata, sekalipun ada kritik tentang pemerataan dan keadilan sosial yang menimpa sekelompok orang. Namun, strategi Soeharto bersama tim ekonominya memang masih memberi tekanan yang lebih besar pada pertumbuhan. Tak heran jika pada Sidang Umum MPR 1983, Pak Harto mendapatkan gelarnya yang merupakan cermin suksesnya itu, "Bapak Pembangunan Indonesia". Dua orang "Bapak Bangsa" ini memang sudah membuktikan kehebatannya masing-masing. Maka, tak heran jika Indonesia selama ini hanya mengenal dua presiden. Sejauh ini belum tampak adanya tanda-tanda pengganti yang bisa sekaliber dua orang yang punya karisma itu. Sekarang bergantung pada rakyat yang akan menyuarakan pendapatnya melalui seribu orang anggota MPR Maret 1993 nanti. Yopie Hidayat dan Sandra Hamid (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini