Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, menilai usulan pendidikan militer selama 1 semester bagi mahasiswa dari Kementerian Pertahanan tidak diperlukan. Ia mengusulkan pemerintah lebih baik mengevaluasi kurikulum pendidikan kewarganegaraan.
Wahyudi menjelaskan dalam konteks sumber daya pertahanan, pendidikan militer hanya diberikan kepada masyarakat yang sukarela mendaftarkan diri sebagai komponen cadangan. Sementara bagi yang tidak mendaftarkan diri, maka mendapatkan pendidikan kewarganegaraan sebagai bentuk ikut serta dalam bela negara.
"Padahal tidak semua mahasiswa mendaftarkan diri sebagai komponen cadangan," katanya saat dihubungi Tempo, Senin, 17 Agustus 2020.
Ia menjelaskan dalam konteks bela negara ini, seluruh universitas di Indonesia dan lembaga pendidikan lain sudah memberikan pendidikan kewarganegaraan pada mahasiswanya. Jika pemerintah merasa perlu ada perbaikan, yang seharusnya dievaluasi adalah kurikulum pendidikan kewarganegaraan itu.
"Lebih baik ditinjau ulang apakah sudah optimal tanpa perlu menambah materi baru dalam konteks kemiliteran," tuturnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan sedang menjajaki kemungkinan memasukkan program Bela Negara ke dalam kurikulum perguruan tinggi. Bahkan, mereka sudah membuka pembicaraan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait rencana ini.
"Nanti, dalam satu semester mereka bisa mengikuti pendidikan militer, nilainya masuk ke SKS. Ini salah satu yang sedang kami diskusikan dengan Kemendikbud," ujarnya, kemarin.
Trenggono mengatakan hal ini direncanakan agar mahasiswa yang merupakan generasi milenial dapat lebih mencintai negara. Program Bela Negara, kata dia, akan terus menyadarkan masyarakat terutama para milenial untuk bangga sebagai orang Indonesia.
AHMAD FAIZ | EGI ADYATAMA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini