Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Fenomena Pilkada Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong, Sejak Kapan?

Fenomena pasangan calon tunggal melawan kotak kosong dalam Pilkada 2024 semakin banyak. Kapan terjadinya pilkada melawan kotak kosong?

26 Agustus 2024 | 16.35 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi kotak kosong. Antaranews.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Fenomena pasangan calon atau paslon tunggal melawan kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 semakin marak. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat, tahun ini kemungkinan ada 34 pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana sebenarnya awal mula terjadinya pilkada melawan kotak kosong ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, menurut pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, peningkatan paslon tunggal mulai terlihat sejak pilkada 2015. Ia menyatakan bahwa partai politik cenderung menginginkan kemenangan yang pasti sejak awal. Kala itu terdapat hanya 3 pilkada yang memiliki paslon tunggal dari 269 daerah.

Jumlah ini terus meningkat pada pilkada serentak 2017 dengan 9 dari 101 daerah. Di pilkada 2018, jumlah juga meningkat sebanyak 16 dari 170 daerah. Kala itu hanya di Kota Makassar di mana calon tunggal kalah oleh kotak kosong. Pada pilkada 2020, terdapat 25 paslon tunggal dari total 270 daerah, dan semuanya berhasil menang.

“Dari 2015 sampai 2020, hanya ada satu calon tunggal yang kalah. Sebanyak 52 calon tunggal lainnya berhasil menang. Ini menunjukkan tingkat kemenangan yang luar biasa,” ungkap Titi dalam sebuah webinar pada Ahad, 4 Agustus 2024.

Dinukil dari jurnal Kotak Kosong Memenangkan Pemilihan Umum Kepala Daerah oleh Ayu Lestari dkk, sebelum 2015, realitas kemunculan paslon tunggal di Pilkada menuai pertanyaan dari berbagai pihak mengenai apakah Pilkada akan dilanjutkan atau tidak, mengingat belum ada peraturan undang-undang yang membahas tentang masalah tersebut.

Kemudian ada seorang warga negara bernama Effendi Ghazaliz, seorang Pakar Komunikasi politik sekaligus Dosen di Universitas Indonesia, mengajukan Permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Pihaknya merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan sejumlah pasal dalam UU tersebut.

Akhirnya, setelah Mahkamah Konstitusi atau MK melakukan uji materi, keluarlah Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 yang di dalamnya menyatakan bahwa daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah dapat mengikuti Pilkada serentak. Aturan iyu diakomodir KPU dengan mengeluarkan PKPU Nomor 14 Tahun 2015.

“Sarana yang digunakan untuk memberikan suara pada Pemilihan 1 (satu) Pasangan Calon menggunakan surat suara yang memuat foto Pasangan Calon, nama Pasangan Calon dan kolom untuk memberikan pilihan setuju atau tidak setuju,” bunyi ketentuan Pasal 14 ayat (1).

Ketentuan tersebut diubah sebagaimana ketentuan Pasal 14 ayat (1) PKPU Nomor 13 Tahun 2018 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 14 Tahun 2015. Bukan kolom setuju dan tidak setuju, sarana yang digunakan menjadi surat suara yang memuat 2 kolom, satu kolom memuat foto paslon, dan lainnya kolom kosong. Itulah kemudian disebut “kotak kosong”.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | MICHELLE GABRIELA | MOHAMMAD HATTA MUARABAGJA | DIANKA RINYA FITRIANSYAH

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus