Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gugat Presidential Threshold, Mahasiswa UIN Yogya: Nyanyian Calon Yang Diusung Parpol Selama Ini Selalu Sama

Mahasiswa UIN yang menggugat aturan presidential threshold 20 persen selama ini membuat masyarakat tak punya banyak alternatif saat pilpres.

3 Januari 2025 | 17.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menggungat ketentuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tempo/Pribadi Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menilai aturan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen telah membuat alam demokrasi tersendat dan hanya dimonopoli partai politik besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alasan inilah yang membuat mereka kemudian mengajukan gugatan penghapusan presidential threshold itu ke Mahkamah Konstitusi atau MK. Gugatan diajukan pada Februari 2024 lalu. Hakim MK kemudian mengabulkan gugatan keempat mahasiswa tersebut pada Kamis, 2 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengajukan gugatan ke MK, Faisal Nasirul Haq mengatakan aturan ambang batas membuat masyarakat selama ini tak memiliki banyak alternatif saat momen Pemilu Presiden atau Pilpres akan berlangsung.

"Terbatasnya pilihan calon presiden dan wakil presiden itu bagi saya jelas sebuah kerugian besar, saya punya hak suara tapi di satu sisi tidak ada calon yang merepresentasikan harapan saya sebagai anak muda," kata Faisal di Yogyakarta, Jumat 3 Januari 2024.

Calon yang ditawarkan atau diusung partai-partai politik besar yang menguasai Senayan, kata Faisal, selama ini nyaris seragam pola pikir dan karakternya.

"Gagasan yang mereka (para calon) nyanyikan itu sama-sama saja dan terus berulang dari waktu ke waktu," kata mahasiswa angkatan 2021 itu. Kekecewaan itulah, kata Faisal, yang terus terakumulasi dan membuat mereka sebagai masyarakat pemilih harus mengambil jalan gugatan ke MK.

Rekan Faisal, Enika Maya Oktavia, yang turut menggugat ke MK mengatakan, partai politik selama ini menempatkan masyarakat selaku pemilih sebagai obyek demokrasi saja. Masyarakat tak pernah ditempatkan sebagai subjek demokrasi yang seharusnya pendapatnya didengarkan.

Sehingga tak ada jalan lain, masyarakat seperti mahasiswa harus membuka jalan melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi.

"Saya misalnya, sebenarnya punya harapan bisa memilih seorang calon pemimpin yang peduli isu perempuan dan isu-isu domestik, tapi faktanya tak ada (calon presiden - wakil presiden) yang seperti itu," kata Enika.

Selama ini, kata Enika, pilihan masyarakat hanya terkotak pada sosok yang disodorkan partai-partai besar. "Tak akan ada kesempatan masuknya tokoh yang mewakili harapan saya di sana," katanya

Mahasiswa UIN lain yang turut menggugat ketentuan itu, Tsalis Khoirul Fatna menuturkan bersyukur proses gugatan yang mereka ajukan sejak Februari 2024 membuahkan hasil.

"Proses sidang di MK mulai pertengahan Februari 2024, selama kurang lebih satu tahun, bahkan saat kami masih KKN (kuliah kerja nyata) tetap bersidang, jadi putusan ini perjuangan yang sangat berarti bagi kami," kata dia.

Fatna mengaku saat mengajukan gugatan ini, mereka tak menggunakan kuasa hukum. Mereka sebagai mahasiswa mengakui belum mampu membayar kuasa hukum untuk turut mengawal gugatan itu.

"Untungnya di MK juga bisa sidang online jadi kami juga mengajukan permohonan (gugatan) sampai sidangnya juga online," kata dia.

Dengan dikabulkan gugatan ini oleh Mahkamah Konstitusi artinya ke depan semua partai politik peserta pemilu bisa mengusung capres dan cawapresnya sendiri tanpa harus terganjal ketentuan ambang batas.

Adapun Ketua Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Gugun El Guyanie menyebut gugatan ini murni inisiatif mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi.

"Kampus sama sekali tak  mengintervensi niatan para mahasiswa mengajukan gugatan itu, fakultas hanya support misalnya saat sidang ketiga membelikan tiket ke Jakarta," kata dia.

Pribadi Wicaksono

Pribadi Wicaksono

Koresponden Tempo di Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus