DEMOKRASI Pancasila di mata Ketua Umum PDI Soerjadi sedang loyo. Bagaimana agar bergairah lagi? "Oke, oke, I know," teriaknya bak siaran iklan di RCTI. "PDI menyediakan Supertin agar demokrasi dan massa tidak loyo." Di hadapan 3.000 massa PDI di Cimahi, Rabu pekan lalu, Soerjadi antara lain menelanjangi soal nepotisme dan monopoli. Nepotisme, katanya, mengakibatkan seseorang menikmati kesempatan dan fasilitas yang bukan haknya. Sedangkan tentang monopoli, tambah Soerjadi, harus diberikan kepada perusahaan negara. Kenyataannya? "Beberapa orang diberi hak monopoli, yang katanya sih untuk membantu rakyat. Padahal, ini bertentangan dengan demokrasi ekonomi karena merugikan rakyat." Massa yang sebagian besar anak-anak muda menyambut sinyalemen Soerjadi dengan acungan tiga jari (kelingking, telunjuk, dan ibu jari -- lambang salam metal) tanda setuju. PDI, seperti pemilupemilu sebelumnya, tetap menyatakan diri sebagai partai wong cilik. Maka, isu sentral yang dikampanyekan selalu soal kemiskinan, demokrasi, dan pemerataan. "Masyarakat tak perlu pembangunan jalan layang, gedung-gedung megah, ataupun lapangan terbang, melainkan butuh pemerataan pembangunan yang ditujukan untuk rakyat termiskin," kata juru kampanye PDI Laksamana (bukan pangkat TNI-AL) Sukardi. Bankir Lippo itu menambahkan, "Hakikat pembangunan, menurut PDI, adalah mengubah kualitas hidup rakyat miskin." PPP juga mengangkat masalah orang miskin, di samping janji klasik seperti penghapusan SDSB, pemberantasan korupsi, dan perluasan kesempatan kerja. "Kita masih melihat fakir miskin, orang-orang tua, dan anak-anak terlantar di mana-mana," ujar jurkam Sri Bintang Pamungkas. Di muka ribuan massa yang memenuhi Lapangan Banteng, Jakarta, Bintang, dosen FTUI, melihat adanya kesenjangan sosial ekonomi cukup mencolok antara desa dan kota. "Kegiatan ekonomi makin dieksploitir oleh gemuruhnya industrialisasi perkotaan," tuturnya. "Para industriawan bisa menjual barang produksinya dengan harga tinggi, sementara para petani di desa menjual padinya dengan murah." Sekalipun jurkam PPP Aisyah Aminy mengakui pembangunan yang dilakukan pemerintah Orde Baru cukup berhasil, panjangnya jalan-jalan yang licin, megahnya gedung-gedung, dan industri yang bertebaran di berbagai tempat itu ternyata membutuhkan pengorbanan tidak kecil dari rakyat. "Sedihnya, rakyat kecil yang banyak memberikan pengorbanan itu hidupnya bukan bertambah baik," ujarnya melanjutkan. Aisyah juga mengkritik soal upah buruh yang tidak manusiawi, dan PPP akan memperjuangkannya sampai upah itu memenuhi kebutuhan hidup minimum. Sekjen PPP Matori Abdul Jalil, dalam kampanyenya di Cilincing, Jakarta, menuding penggusuran tanah rakyat sebagai sikap pemanjaan Pemerintah terhadap para pengusaha swasta kuat. "Bila tanah-tanah gusuran itu berubah jadi supermarket, lapangan golf, dan perumahan mewah, lalu di mana tempat bagi yang miskin di Ibu Kota ini?" teriak Matori, yang disambut massa dengan tepuk tangan meriah. Beda dengan kampanye PDI dan PPP, kampanye Golkar banyak diwarnai "pembelaan". "Golkar tak menutup mata dan telinga terhadap kelemahan dan kekurangan hasil pembangunan," kata Ketua Umum Golkar, Wahono, di depan massa Beringin di Klungkung, Bali. "Tapi Golkar tak akan melampiaskan ketidakpuasan dengan menuduh sana menuduh sini, mencela sana mencela sini. Golkar justru melihat itu sebagai pekerjaan rumah yang harus diselesaikan." Jurkam Slamet Effendi Yusuf di Purwokerto menekankan agar generasi muda Golkar jangan sampai kena wabah "katarak politik" -- suatu gejala sosial yang mengakibatkan orang, menurut dia, tak mau melihat hasil-hasil pembangunan yang sebenarnya. "Katarak politik ini disebarluaskan salah satu parpol yang dalam setiap kampanye hanya menjabarkan arti pembangunan dari sisi negatif saja," ujarnya. "Mereka yang terkena katarak politik ini mengatakan demokrasi kita sakit, sistem politik kita pengap, dan sebagainya, dengan nada caci maki." Sudomo, yang sedang cuti sebagai Menko Polkam, dalam kampanyenya di Kemayoran, Jakarta, Kamis pekan lalu, membantah keras tuduhan Ketua Umum PDI Soerjadi tentang pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang loyo. Ia menunjuk keberadaan lembaga DPR/MPR untuk menegakkan mekanisme dan prinsip demokrasi. "Yang mengatakan demokrasi di Indonesia loyo itulah justru dirinya loyo," kata Sudomo. Memasuki hari ketiga kampanye pemilu memang kian marak. Pagar pengaman yang dipasang Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) makin banyak dilanggar -- mulai dari soal arak-arakan berkendaraan, saling merusak tanda gambar, jelek-menjelekkan di depan massa, hingga perkelahian antarpendukung. Tak heran bila ada jurkam parpol yang diberi "kartu merah" oleh wasit pemilu. Ujian bagi parpol tampaknya bukan cuma "kartu merah", juga "cekal". Ini dialami jurkam PPP, Mochtar Naim dan Rusjdi Hamka, di Kabupaten Pesisir Selatan. Keduanya gagal berkampanye di empat tempat di kabupaten itu gara-gara kepala desa dan kerapatan adat nagari mencabut izin pemakaian tanah mereka secara tiba-tiba. Tak dirinci alasan pencabutan izin yang membuat Mochtar dan Rusjdi bergegas pulang ke Padang itu. Yang pasti: "PPP Sumbar tak akan ikut kampanye lagi kalau hanya untuk dicekal," ancam Ketua DPW PPP Sum-Bar, H. Yahya. Selain "kartu merah" dan pernyataan tajam, kampanye juga tampak makin semarak. Karena semangatnya, Menteri Harmoko sempat melemparkan kaos dan baju yang dipakainya ke massa Golkar di Surabaya. Ardian T. Gesuri dan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini