TAK mau kepalang tanggung, pada hari pertama kampanye, Ketua Umum PPP Buya Ismail Hasan Metareum langsung melempar nama calon presiden dari partainya. Siapa lagi kalau bukan Soeharto. Berbicara di hadapan massa di Surabaya, Buya mengatakan tekad itu diambil untuk menampung aspirasi pengikut partainya termasuk kiai dan para ulama selain melihat sekarang ini Pak Harto merupakan tokoh yang punya kapabelitas dan akseptabilitas. Sekadar contoh, Buya menceritakan pesan almarhum Kiai As'ad Syamsul Arifin, kiai sepuh NU dari Situbondo itu, ketika ditemuinya dua tahun yang lalu. "Kiai As'ad berpesan agar saya mencalonkan Pak Harto," katanya. Dengan demikian, PPPlah satu-satunya kontestan yang terang-terangan menyebut nama calon presiden dalam kampanye ini. Tampaknya, hal ini membuat risih para juru kampanye Golkar. Sekalipun DPP Golkar berketetapan baru akan membicarakan calon presiden setelah pemilu, toh juru kampanye Beringin akhirnya terpaksa melibatkan diri berbicara soal calon presiden. Sehari kemudian, dalam berkampanye untuk Golkar di Cilincing, Jakarta Utara, Menko Polkam Sudomo seakan menjawab Buya. Ia berkata di hadapan massa, "Sudah tahu belum bila Pak Harto itu Golkar?" Setelah massa menjawab, Sudomo melanjutkan, "Bila sudah tahu Pak Harto itu Golkar, tak usah lagi kampanye-kampanyean memilih presiden." Soal itu diperjelas Sudomo kepada wartawan, seusai berkampanye di Kemayoran, Jakarta, pekan lalu. dengan menyatakan keyakinannya bahwa Golkar akan mencalonkan kembali Pak Harto sebagai presiden periode mendatang. Juru kampanye Golkar yang lain, Moerdiono, tak ketinggalan pula bicara soal presiden. "Golkar tak mau seperti membeli kucing dalam karung. Yang dipilih adalah pemimpin yang benar-benar sudah dekat dengan hati rakyat," kata Menteri Sekretaris Negara itu di hadapan ribuan massa Golkar di Buleleng, Bali, Jumat pekan lalu. Dan Golkar sebenarnya, menurut Moerdiono, sudah punya calon itu, walau sekarang belum diungkapkan. Siapa? Moerdiono malah bertanya kepada massa yang hadir. "Soeharto . . .," jawab massa. Moerdiono pun tampak puas, sembari mengatakan bahwa sebenarnya rakyat pun sudah tahu siapa calon presiden dari Golkar itu. Beberapa hari sebelumnya tokoh Soksi, Suhardiman, di depan massa Golkar di Cilandak, menyatakan agar bangsa Indonesia sekali lagi dipimpin pilot berpengalaman dengan jam terbang cukup. Meski nama pilot itu tak disebutnya, semua orang tentu sudah tahu: siapa lagi orang Indonesia yang pernah punya pengalaman menjadi presiden, selain Pak Harto. Tapi Sekjen Golkar Rachmat Witoelar tetap bertahan bahwa Golkar baru akan mencalonkan presiden di sidang umum MPR. "Kalau keburu dipilih sekarang, loh, nanti MPR milih apa?" katanya. Lalu bagaimana dengan para juru kampanye tadi? Rachmat menjawab bahwa itu pernyataan mereka pribadi, bukan sikap DPP Golkar. "Itu menunjukkan kaderkader Golkar itu subur dengan kreativitas. Kalau ngomongnya seragam semua, apa nggak sumpek?" kata Rachmat. Ia menolak menyebut ucapan pribadi para juru kampanye Golkar yang tak pas dengan sikap DPP Golkar itu sebagai tindakan indisipliner. Hal yang mirip, tapi lebih menarik, terjadi di PDI yang sama seperti Golkar belum mengumumkan calon presidennya. Ternyata, ada juru kampanye partai banteng itu yang sudah menyebut nama calon, dan nama itu bukan Pak Harto, melainkan Menteri Dalam Negeri Rudini. Pada putaran pertama kampanye PDI di Dili, Ketua PDI Timor Timur Alex Petrus terang-terangan mencalonkan Rudini sebagai calon presiden dan Pangab Jenderal Try Sutrisno sebagai wakil presiden untuk periode 1993-1998. Sebelum kampanye, Ketua DPP PDI Yahya Nasution sudah melempar nama Rudini sebagai calon presiden. Kemudian, Sekjen Nico Darjanto melambungkan nama Try Sutrisno sebagai calon wakil presiden. Rudini dan Try, menurut kedua tokoh PDI itu, punya akseptabilitas dan kapabelitas untuk jabatan-jabatan penting itu. Kenapa bukan Pak Harto? "Kesan saya sebagai seorang politikus, Pak Harto sudah tak mau lagi dicalonkan," kata Yahya Nasution. Sedangkan Nico -- ia mengaku belum punya calon untuk presiden -- berpendapat bahwa sebenarnya, kalau dilihat dari segi kualitas, ada beberapa nama yang layak sebagai calon presiden. "Pak Benny (maksudnya Menhankam L.B. Moerdani) punya kemampuan, Pak Rudini punya kemampuan, Pak Try juga punya kemampuan, tapi MPRlah nanti yang memutuskan," kata Sekjen PDI itu. Namun -- sebagaimana halnya sikap DPP Golkar -- Ketua Umum PDI Soerjadi kembali menegaskan bahwa pencalonan oleh Yahya, Nico Daryanto, atau Alex Petrus itu bukan atas nama PDI. Partai Banteng baru akan memutuskan nama calon presiden dan wakil presiden pada Rapim PDI selepas pemilu, Juni mendatang. Di PPP pun sebenarnya muncul soal di masa kampanye ini, karena sudah ada juru kampanye partai Bintang itu yang mengeluarkan nama wakil presiden. Ketua DPW PPP Jakarta Djufrie Asmopredjo dan Sekjen PPP Matori Abdul Djalil dalam kampanyenya di beberapa tempat, selain mencalonkan Pak Harto sebagai presiden, menyebut Jenderal Try Sutrisno sebagai calon wakil presiden periode mendatang. Nama Jenderal Try itu segera digelindingkan juru kampanye PPP lainnya di daerah-daerah. Terpaksa Ismail Hasan Metareum meluruskannya, dengan mengatakan bahwa PPP sama sekali belum memutuskan soal wakil presiden. Soalnya, nama calon itu baru diputuskan setelah berkonsultasi dengan presiden terpilih. Itu untuk mencari tahu apakah nama wakil presiden yang mereka kehendaki bisa bekerja sama dengan presiden, sesuai dengan syarat yang disebutkan sebuah ketetapan MPR. Jadi, sekalipun Matori dan Djufrie sudah buka suara, menurut Buya, itu cuma usulan mereka yang belum diputuskan DPP PPP. "Ibarat bola yang sudah menggelinding, banyak yang menyambutnya, tapi sekarang PPP belum akan menampilkan calon wakil presiden," kata Buya. Simpang-siur soal pencalonan presiden dan wakil presiden, serta diskusi terbuka sekitar soal peka itu, di arena kampanye pemilu kali ini memang merupakan hal baru. Dalam pemilupemilu lalu, Golkar yang selalu tampil dengan nama calon Soeharto sebagai calon presiden, dan kontestan lain sama sekali tak memberi komentar, atau diamdiam cuma bilang, "amin". Sebenarnya, menyebut calon presiden dalam kampanye tak menyalahi ketentuan apa pun. Hal itu sudah ditegaskan Mendagri Rudini yang juga Ketua LPU. Hanya saja, katanya, seyogianya hal itu dilakukan oleh fraksi yang dimiliki oleh masing-masing organisasi sosial politik di sidang umum MPR nanti. Marsilam Simanjuntak, pengamat yang aktif di Forum Demokrasi itu, tak sependapat. Ia malah menyarankan agar nama calon presiden dan wakil presiden sudah dilemparkan kontestan pada masa kampanye. Seakan mengkritik sikap Golkar, Marsilam berkata, "Untuk menyatakan yang merah dengan menyebut mawar, tidak salah. Tapi mengatakan merah adalah merah akan lebih memudahkan dan menghilangkan keraguan." Kenapa ia setuju kampanye memakai calon presiden? Menurut dia, soal ini berkaitan antara sosok presiden dengan masalah kesadaran kedaulatan rakyat. Maksudnya, rakyat menentukan nasib sendiri dengan menentukan siapa presidennya. Dengan sistem yang ada di sini, tentu saja rakyat tak bisa memilih langsung presidennya, sebab rakyat cuma memilih wakilnya, dan wakil itulah nanti yang memilih presiden di MPR. Karena itulah, menurut Marsilam, ia mengusulkan agar alasan memilih seorang wakil rakyat dihubungkan dengan presiden yang akan dipilih wakil itu. "Berarti, kampanye pemilu berputar-putar sekitar calon-calon yang dipersaingkan untuk menjadi presiden baru," ujarnya. Ini akan mendekatkan jarak formal antara rakyat yang berdaulat dengan presiden yang diserahi kekuasaan pemerintahan. "Fraksi-fraksi di MPR yang mengajukan dan memilih presiden, tapi itu dilakukan berdasarkan titipan dari rakyat sewaktu kampanye pemilu," kata Marsilam. Kalau sekarang calon presiden jadi ramai di dalam kampanye, bolah jadi ini merupakan pertanda keterbukaan. Atau mungkin juga karena berbagai isyarat dari Presiden Soeharto sendiri yang ditafsirkan orang dengan berbeda-beda. Ada yang menganggap Pak Harto sendiri sudah ingin beristirahat. Anggapan ini muncul dari antara lain membaca buku otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Di buku itu Pak Harto ada menulis, "Jadi, rasanya tak berlebihan kalau dikatakan pelantikan pada tanggal 11 Maret 1988 itu merupakan pelantikan sebagai Presiden/Mandataris MPR yang terakhir buat saya. Bahwa di antara anak-anak saya ada yang menyatakan pelantikan kali ini (1988) merupakan pelantikan terakhir buat saya, itu bisa dimaklumi." Kemudian, dalam sebuah pembicaraan, Pak Harto mempersilakan tiap orsospol agar mengeluselus jagonya masing-masing, yang kelak akan dipilih sebagai presiden dalam MPR mendatang. Tampaknya, yang dilakukan para kontestan itu sekarang ialah mengeluselus jago. Menurut seorang pejabat tinggi, sudah lama presiden memberi kesempatan untuk tampilnya orang lain. "Presiden tak pernah mengangkat putra mahkota, ia memberi kesempatan yang sama pada semua orang untuk tampil," kata pejabat tinggi itu. Bahwa sampai sekarang yang menggelinding adalah nama Pak Harto jua, itu soal lain lagi. Agus Basri, Bambang Soejatmoko, Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini