RUMAH Kiai Haji Zainuddin Hamidy Turmudzy -- lebih akrab dipanggil Zainuddin Mz saja -- selalu ramai. Tak siang tak malam tamutamu berdatangan. Tak usah terkejut bila tengah malam atau menjelang fajar, kediamannya di Jalan Haji Aom, Gandaria Selatan, Jakarta, dipenuhi orang. Juga tak usah heran bila di antara mereka datang dari luar Jakarta atau bahkan dari luar Pulau Jawa. Mereka umumnya meminta sang kiai untuk bertablig di daerahnya. Dan acapkali harus kecewa bila Zainuddin baru menjanjikan empat atau lima bulan kemudian. Jadwalnya memang padat. Dalam sehari, paling tidak empat kali ia meluncurkan kalimat-kalimatnya di tengah ribuan massa. Berkat keampuhan kata-katanya pula ia sering diundang ke negara-negara ASEAN. Bahkan, beberapa waktul lalu umat Islam di Amerika Serikat mengontraknya selama dua minggu. Sementara itu, orang Islam di Prancis masih menunggu jawaban. Dalam usianya yang baru 40 tahun ini, ia telah menjadi figur dai paling kondang di Indonesia. Ia digemari oleh berbagai lapisan masyarakat, dari tukang becak, seniman, sampai menteri, baik oleh anggota Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, maupun Partai Demokrasi Indonesia. Perlu dicatat, pada 1977 Zainuddin masih berkampanye untuk PPP. "Sejak awal 1980an saya berkampanye untuk dan terhadap seluruh umat Islam," katanya. Berapa penghasilannya, ia enggan menyebutkan. Tetapi, bila melihat Baby Benz, BMW, Honda Accord, Honda Civic, dan rumah yang bagus dan besar, dapat dipastikan sang kyai jauh dari kisah kekurangan uang. Ada yang menduga semua itu diperoleh dari honor yang kabarnya mencapai jutaan rupiah untuk sekali tablig. Tetapi, Zainuddin membantah keras bila ia dianggap memasang tarif. "Sama sekali tidak. Berapa pun saya terima. Dai kan juga harus memikirkan dapur. Wajar bila mereka memperoleh imbalan tarif," ujarnya. Zainuddin mengakui honor yang diperolehnya setiap kali tampil di mimbar cukup untuk membuatnya hidup lebih dari layak. Namun, mobil-mobil di rumahnya dibeli dengan duit dari berbagai sumber. "Kaset dakwah saya meledak. Saya juga menjadi model kalender. Dari sanalah saya membeli kendaraankendaraan ini," tuturnya. Lebih dari 50 volume kaset dakwahnya terjual laris di pasaran. Wajah sang kyai juga terpampang di kalender-kalender yang ternyata mengalirkan rezeki. Baginya menjadi dai kaya sama sekali tak salah, bahkan bisa meningkatkan citra seorang dai dalam melakukan syiar Islam. Tentang ini, Zainuddin merujuk kisah Nabi Sulaiman, seorang raja yang kaya raya. "Allah mengutusnya untuk mengislamkan Ratu Balkis yang juga kaya raya. Coba bayangkan bila Sulaiman miskin, bisabisa ia disebut kere yang minta sumbangan," selorohnya. Singkat kata, membicarakan Zainuddin berarti berbicara tentang dai kaya dan populer. "Namun, popularitas ada akhirnya. Suatu saat saya akan menjadi masa lalu," katanya. Maka, ia memanfaatkan ketenarannya untuk "mempersiapkan masa mendatang." Selain tetap memimpin lembaga pendidikan Yayasan Nurul Falah, Agustus 1991 ia mempelopori pembentukan Yayasan Hira, sebuah lembaga dakwah yang memadukan tablig, kesenian, kegiatan sosial, dan bisnis. Dia mengajak Rendra dan sejumlah pengusaha seperti Setiawan Djodi, Fadel Muhammad, Dali Tahir, dan lain-lain bergabung di dalamnya. "Dengan yayasan ini kami ingin menampilkan wajah Islam secara utuh. Bahwa Islam tidak hanya bicara soal salat, tapi juga menyangkut segala aspek kehidupan," kata Zainuddin. Selain menyelenggarakan tablig-tablig ke berbagai kalangan (termasuk ke lokasi pelacuran), Hira akan membangun rumah sakit mewah namun bertarif murah di Jakarta. Dengan Hira pula ia bercita-cita menciptakan kader-kader dai untuk disebarkan ke berbagai pelosok tanah air. Untuk mempersiapkan masa yang "lebih mendatang" -- maksudnya sesudah mati -- ia mendirikan Masjid AlIkhlas di depan rumahnya. Luasnya sekitar 1.000 meter persegi, dua lantai. Lantai bawah dipergunakan untuk perpustakaan dan kegiatan administratif Yayasan Hira. Tempat imam memimpin salat ada di lantai atas. Masjid ini menghabiskan biaya sekitar Rp 1 milyar, selain dari kantung Zainuddin, juga dari sumbangan sanasini. Bila Zainuddin menjadi simbol mubaligh yang sukses, maka Tuty Alawiyah, 50 tahun, adalah lambang mubalighoh yang berhasil. Dalam sebulan ia bisa berceramah 180 kali. Seperti Zainuddin, Tuty mengaku tak memasang tarif, bahkan kalau tak dibayar pun tak apa. Tapi, biasanya pengundangnya memberikan antara Rp 150 ribu hingga Rp 1 juta tiap kali dakwah. Tuty terbilang kaya. Mobil pribadinya dilengkapi dengan telepon, anaknya pun ada yang disekolahkan ke Amerika Serikat. Tapi kekayaannya bukan sematamata dari tablig. Dia Wakil Rektor Universitas AsySyafi'iyah, Jakarta. Soal dai kaya, Tuty sependapat dengan Zainuddin, "Apa salahnya kaya? Kalau uang banyak kita bisa membikin masjid, madrasah, panti asuhan, dan berbagai kegiatan sosial lainnya," katanya. Tuty memang membuktikan ucapannya. Selain mengasuh lebih 1.000 yatim piatu dan 120 orang lanjut usia, ia juga mengetuai Badan Kontak Majelis Taklim DKI Jakarta. Baik Zainuddin maupun Tuty tak merasa tersaingi oleh munculnya daidai baru seperti Rendra. "Justru saya bersyukur. Mereka bisa mengajak penggemarnya berbondong-bondong mendalami Islam. Selanjutnya giliran ustadz-ustadz mengisinya," kata Zainuddin. Priyono B. Sumbogo dan WW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini