GUSTI Raden Ayu Koes Moertiyah berpidato sembari terisak, air matanya meleleh. "Keraton kita sedang dalam kegelapan. Sekarang ini Paku Buwono XII, raja kita yang juga ayahanda saya, sedang dikerumuni virus jahat dan setan-setan. Saya tidak rela, saya ingin menyelamatkan raja," katanya sendu. Air matanya jatuh makin deras. Ada apa di Keraton Solo? Rupanya, protes para putri PB XII atas rencana pembangunan hotel di keraton masih berlanjut. Alkisah, hotel yang akan menempati lahan seluas 2,5 ha ini dikhawatirkan akan menggusur Bangsal Keputren, tempat bermain dan bermukim mereka sejak kecil. Dan hotel 150 kamar yang direncanakan menelan biaya Rp 50 milyar itu bakal didirikan oleh PT Bimantara Siti Wisesa, anak perusahaan Grup Bimantara (TEMPO, 29 Agustus 1992). Rencana pembangunannya tengah dirundingkan dengan PB XII. Itulah yang diprotes keras Moertiyah. Minggu malam pekan lalu, di sebuah restoran di Taman Sriwedari Solo, Moertiyah mengumpulkan sekitar 60 orang trah Pakubuwanan, dari keturunan PB III sampai PB XI, dan putra-putri PB XII. Acara perayaan ulang tahun Moertiyah ke-33 itu akhirnya berubah menjadi ajang penggalangan suara untuk menentang pembangunan hotel di keraton. "Saya tidak menentang raja, saya tak memusuhi ayahanda. Saya hanya tidak rela keraton dirusak. Maka, marilah para trah Pakubuwanan, sebagai pemilik dan pewaris keraton, berdoa menyelamatkan raja dan keraton," tutur Moertiyah, sarjana sastra Jawa Universitas Sebelas Maret Solo. Para bangsawan pun menundukkan kepala, beberapa ikut meneteskan air mata. Brigjen. purnawirawan Hariyo Mataram dari trah PB X menyambut ajakan Moertiyah. "Keponakanku Moertiyah telah memulai perjuangan, saya juga. Hanya caranya berbeda. Banyak jalan menuju Roma," kata bekas rektor UNS ini. Entah jalan apa yang ditempuh Hariyo. Namun, dua pekan lalu, Hariyo dan trah PB X lainnya telah mengadakan musyawarah di Keraton Solo dan sepakat untuk menulis surat kepada Presiden, Menteri Rudini, Fuad Hassan, Soesilo Soedarman, Gubernur Jawa Tengah, dan Wali Kota Solo. Mereka meminta agar rencana pembangunan hotel di dalam kompleks keraton dihindari. Dan agar Pemerintah membantu memperbaiki kesejahteraan para abdi dalem. Yang menandatangani surat ini adalah G.R.A.Y. Brotodiningrat, 75 tahun, putri PB X yang dikenal sakti dan pendapatnya selalu didengar kerabat keraton. Brotodiningrat setuju jika hotel yang direncanakan itu hanya mengambil Tursino Puri, yaitu kediaman para selir yang dibangun 70 tahun silam dan kini kondisinya rusak parah. "Yang kami tak setuju adalah menggusur atau merobohkan Bangsal Ke putren," kata Brotodiningrat. Dia juga tak setuju kalau Bangsal Magangan juga diambil kelak. Bagian ini dianggap punya nilai magis dan historis karena selalu dilewati prosesi raja-raja yang wafat. Yang mengirim surat keberatan ke alamat Presiden ternyata bukan hanya dari trah PB X, tapi juga dari trah PB IV. "Kami mendapat wangsit bahwa pembangunan hotel itu tak bisa menggusur bangunan keraton, selain Tursino Puri," tutur G.R.A.Y. Koesoemojati, sesepuh trah PB IV. Pengusaha Setiawan Djody juga mengadakan diskusi dengan para seniman Solo tentang rencana bangunan hotel itu. "Diskusi itu saya rekam dan nanti akan saya bawa ke Bimantara. Biarlah mereka mendengar suara rakyat Solo. Biarlah saya jadi jembatan untuk mengatasi kemelut ini," kata pengusaha yang kabarnya masih keturunan Keraton Solo itu. Sri Susuhunan PB XII sendiri hingga berita ini diturunkan masih berada di Belanda, menyaksikan pameran benda kesenian kuno. Namun, kepada TEMPO beberapa waktu lalu, ia menjelaskan bahwa hotel berbintang lima tetap akan berdiri di Keraton Solo, walau tanpa menggusur bangunan bersejarah lain, kecuali Tursino Puri. Alasan PB XII, hal itu tak bertentangan dengan Keputusan Presiden tahun 1988 tentang melestarikan warisan budaya dan sejarah. Lagipula, keraton memang perlu tambahan dana untuk tetap berdiri tegak. Subsidi Pemerintah untuk keraton sekarang ini hanya Rp 6 juta sebulan. Jumlah itu cukup untuk merawat keraton serta menggaji sekitar 600 abdi dalem. Lalu apa yang diributkan? Konon, pihak keraton masih sangsi. Luas bangunan hotel seluruhnya akan diperluas hingga 2,5 ha. Ada dugaan, akhirnya Bangsal Keputren akan tergusur. Edwin Kawilarang, Presiden Direktur PT Bimantara Siti Wisesa (BSW), menjelaskan, bila Bangsal Keputren tetap di tempatnya sekarang, pemakaian tanah tak efisien. "Kalau dipindahkan, baru bisa dipakai. Tapi jangan lupa, semua ini baru usulan dan belum keputusan. Saya tak mengerti mengapa berkembang berita bahwa Bimantara melakukan penekanan pada pihak keraton," ujar Edwin. Hotel yang akan dibangun BSW rencananya berbintang lima dan terdiri dari dua tingkat. Hotel ini direncanakan menyatu de ngan keraton, dan kelak para tamu akan disuguhi suasana keraton dan diperlakukan seperti putri dan raja. Dan BSW diwajibkan merawat keraton, merawat museum, dan memberi lapangan kerja bagi abdi dalem yang sekarang ini gajinya memang minim. Moertiyah sendiri, sebagai guru tari keraton, mendapat gaji kurang dari Rp 10 ribu sebulan. Yang masih dinegosiasikan dengan PB XII adalah soal lamanya jangka waktu BSW mengelola lokasi itu. "Ini kan proyek build-operation-transfer, kita bangun hotelnya dan setelah sekian tahun kita serahkan pada pihak keraton. Kita usul BOT-nya 50 tahun," kata Edwin lagi. Dan, kata Edwin lagi, pihaknya sedang menunggu dari PB XII tentang lokasi mana di keraton yang akan diberikan untuk hotel itu nanti. Biman tara, kata Edwin, tak menekan keraton. Semua terserah PB XII. Dan raja rupanya dihadapkan pada dua pilihan pelik: memperbaiki kondisi hidup abdi dalem atau menjaga kesakralan keraton. Toriq Hadad, Sri Wahyuni (Jakarta) dan Kastoyo Ramelan (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini