Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Uskup Agung Jakarta yang juga Ketua Konferensi Waligereja Indonesia, dan baru saja ditunjuk menjadi kardinal oleh Paus Fransiskus, Mgr Ignatius Suharyo dikenal sebagai sosok yang kerap berpihak pada kelompok masyarakat yang tertindas. Pada 2016 lalu, Ignatius tampak hadir di tengah-tengah warga Kendeng, Jawa Tengah, yang tengah melakukan protes pembangunan pabrik semen di kampung mereka. Banyak yang mengartikan sikap itu sebagai cara Ignatius mengkritik pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ditemui Tempo di kediamannya di kompleks Gereja Katedral, Jakarta Pusat, Selasa, 24 September lalu, Ignatius menyatakan sikap pribadi dan gereja katolik secara umum sudah jelas. “Posisi gereja katolik posisinya jelas, satu pasti mendukung pemerintah. Tetapi tidak semua yang dilakukan pemerintah diandaikan sendirinya baik. Bahkan ketika gereja melihat ada sesuatu yang tidak baik, gereja pasti akan hadir membela.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ignatius juga dikenal sebagai sosok yang perduli kepada Papua. Keuskupan Agung Jakarta yang dipimpinnya menginisiasi Paguyuban Peduli Keuskupan Agats yang memberikan perhatian khusus terhadap warga Papua di pedalaman Agats. Lalu bagaimana pandangan Ignatius terhadap kondisi Papua saat ini? Beriku petikan wawancaranya.
Dengan dilantiknya Anda, berarti Indonesia sudah punya tiga kardinal. Seperti apa posisi Indonesia di mata Vatikan?
Ini adalah pengakuan gereja pusat terhadap gereja katolik di Indonesia. Kami kan setiap tahun mengirim laporan ke sana. Dinamika gereja di sini dikenal di sana. Kalau pejabat-pejabat Vatikan datang ke sini, lihat gereja-gereja penuh, umat begitu terlibat dalam kegiatan gereja, banyak cerita yang susah dibayangkan oleh Vatikan. Di sini gereja hidup sekali. Di sini ada Duta Besar Vatikan, pasti laporan juga ke sana.
Secara lebih umum, ini adalah simbol penghargaan terhadap NKRI. Keberadaan Katedral dan Istiqlal yang berdekatan adalah simbol keharmonisan hidup Indonesia. Apa lagi kalau diingat bahwa gereja katolik dalam sejarah perjuangan kemerdekaan punya peran besar. Saya selalu katakan kepada umat katolik, bahwa kita mempunyai warisan berharga dari para perintis gereja yaitu rasa cinta Tanah Air. Sejak 1922 keberpihakan gereja katolik terhadap orang-orang yang tertindas di Tanah Air itu sudah dituliskan dan diungkapkan.
Soal keberpihakan terhadap kaum tertindas, sewaktu warga Kendeng dan Rembang berjuang melawan pembangunan pabrik semen di daerahnya, Anda hadir di tenda mereka sewaktu berdemonstasi di depan Istana Merdeka 2016 lalu. Ini bentuk dukungan Anda?
Mereka kan sudah menang di tingkat kasasi. Tetapi anehnya pemerintah tidak menjalankan keputusan pengadilan itu. Nah dalam hal seperti itu, gereja mempunyai posisi jelas, berdiri di pihak yang diperlakukan tidak adil. Seandainya belum ada keputusan dari pengadilan, saya akan memberi semangat kepada mereka. Saya tahu risikonya pada waktu itu, meskipun pada waktu itu saya akan difoto dan sebagainya. Saya ingin menunjukkan gereja memberi tempat kepada saudara-saudara yang diperlakukan tidak adil.
Ada banyak kasus ketidakadilan di Indonesia. Kenapa Anda “memilih” isu perlawanan warga Kendeng dan Rembang?
Saya kan dulu di Semarang, jadi saya tahu Kendeng dan Rembang itu mana dan keadaan warganya seperti apa. Saya kenal dengan Mas Gunretno (pemimpin aksi penolakan warga Kendeng). Setiap kali dia datang ke Jakarta, dia kontak saya. Datang ke sini diskusi. Waktu itu dia memberitahu saya kalau dia sedang ada di depan istana. Sebagai kenalan saya menyambangi, itu saja. Yang penting dalam hal ini bukan soal keberadaan saya di sana. Yang harus dilihat adalah bagaimana gereja katolik berpihak pada kebenaran. Seperti Romo Magnis kan, seringkali datang ke mana-mana, artinya beliau sebagai wakil gereja. Karena beliau yang dikenal, beliau juga kalau bicara sangat ilmiah dan kontekstual. Tidak harus saya.
Bagaimana Anda memandang soal ketidakadilan terhadap orang Papua dan kondisi di sana belakangan ini?
Posisi gereja katolik posisinya jelas, satu pasti mendukung pemerintah. Tetapi tidak semua yang dilakukan pemerintah diandaikan sendirinya baik. Bahkan ketika gereja melihat ada sesuatu yang tidak baik, gereja pasti akan hadir membela. Contoh konkretnya, sewaktu pemerintah membangun jalan Trans Papua yang malah merugikan warga asli. Pembukaan jalan itu bagus akses jadi lebih mudah. Di Nduga ada salah satu desa yang lima tahun lalu seluruh warganya terkena kusta dan tidak ada sekolah.
Ketika jalan dibuka, penduduk setempat pada lari ke hutan, siapa yang membeli tanah di sekitar jalan? Bukan orang Papua. Maka ke sana lah seorang imam dari keuskupan Agats dan membela mati-matian warga di sana. Imam di sana melakukan advokasi bekerja sama dengan komunitas peduli keuskupan Agats. Mereka juga membantu semua penduduk yang kusta untuk sembuh. Ada tiga suster yang hidup bersama warga di sana.
Menurut Anda, bagaimana seharusnya sikap pemerintah di Papua?
Pemerintah harus paham pola pikir warga di sana berbeda. Saya ambil contoh saat pengobatan kusta di Nduga. Kusta itu kan sebetulnya tidak sulit disembuhkan, kalau Anda makan obat selama 6 bulan, Anda akan sembuh. Tapi orang sana ndak ngerti sembuh itu apa. Maka suster yang datang ke sana bilang kalau Anda makan obat ini selama 6 bulan, maka Anda bisa kembali ke hutan mencari sagu.
Konsepnya begitu, harus ada orang yang mengikuti cara berpikir dan menemani mereka. Dalam waktu 4-5 tahun, dua tahun lalu saya ke sana, kusta hilang. Sisa-sisa luka pada mantan penderita sih ada tapi penyakitnya hilang. Romo yang ada di sana membela mati-matian supaya penduduk asli tidak menyingkir ke hutan dan kembali ke jalan. Bersama-sama dengan komunitas perduli keuskupan Agats membeli ratusan hektar tanah untuk warga, membangun sekolah dengan konsep yang disesuaikan dengan karakter dan kebutuhan warga.
Apa komentar Anda terhadap kondisi di Papua saat ini?
Kalau saya ditanya, jelas, Papua itu masuk ke dalam wilayah NKRI. Tapi yang tak kalah penting menurut saya, pemerintah daerah di sana memikirkan penduduknya apa enggak? Ini berat sekali, menjalankan otonomi khusus semuanya harus orang asli sana, tidak semuanya siap untuk jadi pemimpin. Waktu Uskup Jayapura Leo Laba Ladjar diundang Jokowi, ditanya bagaimana sebaiknya Papua? Jawabannya sederhana, Pak Presiden tolong para kepala daerah di Papua diajari menjadi kepala daerah yang baik, itu jawabannya. Tidak semua tidak baik ya, saya kenal ada beberapa kepala distrik yang sangat baik.
Saya yakin kalau pemerintah daerah di sana menjalankan tugasnya dengan baik, kalau ada orang yang mempunyai hati seperti para suster dan Romo Hendri yang tinggal bersama para warga dan mencoba memberikan yang paling baik bagi masyarakat, mungkin dalam jangka waktu tertentu yang namanya kemarahan dan perasaan direndahkan akan diobati luka-lukanya.
Wawancara lengkap Tempo bersama Ignatius Suharyo bisa disimak di Koran Tempo edisi Sabtu, 5 Oktober 2019.