BAKRI bin Ali tewas. Ke dalam kuburnya dia membawa serta impian empat anaknya untuk mengecap pendidikan lebih baik. Kasmadi, anaknya yang berusia 14 tahun, kini hanya bisa menekuri nasibnya gagal masuk sekolah menengah. Penghasilan janda Bakri, Maria, dari berjualan kue keliling kampung bahkan tak cukup menutupi kebutuhan dapur sehari-hari.
Sebagai nelayan, penghasilan Bakri bahkan sudah mulai surut ketika dia masih hidup. Dua tahun lalu, bersama nelayan sedesanya di Pulau Moro, Kabupaten Karimun, Riau, dia memprotes penambangan pasir di sekitar pulau, yang mereka yakini telah mengusir ikan-ikan. Bakri dan kawan-kawan mendekati kapal Nile River milik PT Nalendra Bakti Persada yang tengah mengeruk pasir. Mereka menaiki geladaknya. Tapi semprotan air menghadang. Seorang nelayan yang selamat, Abu Amin, menuturkan bahwa Bakri terjengkang ke laut dan meninggal karenanya.
Penambangan pasir sebenarnya bukan kegiatan baru di Karimun. Nelayan Pulau Moro terbiasa menatap kehadiran kapal-kapal raksasa pengeruk pasir sejak 25 tahun lalu. Namun pengerukan menjadi-jadi dalam beberapa tahun terakhir setelah Singapura—berjarak kurang dari 50 kilometer dari pulau itu—membuka proyek reklamasi besar-besaran.
Untuk memenuhi kebutuhan akan lahan wisata, pertanian, dan pusat penelitian, Singapura membuat proyek pengurukan pantai di delapan lokasi: Pasir Panjang, Changi Bay, Western Island, Jurong Islands, North Eastern Islands, Tuas Reclamation, Punggol Reclamation, dan Sentosa Island. Kelak, saat rampung delapan tahun lagi, proyek-proyek itu akan menambah luas daratan Singapura sebanyak 127 kilometer persegi atau 20 persen dari luasnya kini.
PT Surveyor Indonesia memperkirakan total pasir yang dibutuhkan untuk semua proyek itu mencapai 1,8 miliar meter kubik. Ini menawarkan peluang bisnis besar. Letnan Kolonel Ludin, Komandan Pangkalan Angkatan Laut di Tanjung Balai Karimun, menuturkan kini ada 54 perusahaan yang memiliki izin keruk dan ekspor pasir di wilayahnya.
Meski hanya 11 perusahaan yang beroperasi aktif, kegiatan pengerukan besar-besaran telah mengubah wajah perairan sekitar Moro. Air laut kini tak lagi biru, tapi "keruh seperti susu cokelat," kata Yusuf, seorang warga di situ. Yang lebih parah, plankton turut lenyap. Akibat langkanya bahan pakan utama, ikan-ikan kabur ke perairan lain. Terumbu karang yang menjadi sarang ikan pun rusak karena pengerukan itu.
Dewasa ini beroperasi empat jenis kapal keruk pasir di perairan Karimun. Dua di antaranya, yang dikenal dengan jenis cutter suction dredger dan crab/clam shell dredger, termasuk yang paling berbahaya bagi ekosistem laut karena bisa langsung menghancurkan terumbu karang sewaktu menyedot pasir di dasar laut.
Akibat ulah kapal-kapal pengeruk pasir itu, jumlah ikan yang berkeliaran di sekitar perairan Karimun menipis. Menurut Rachman, nelayan dari Kampung Benteng, dulu mereka bisa menuai 50 kilogram ikan dan menghasilkan Rp 100 ribu per hari. Namun kini, "Perolehan saya jauh lebih kecil," kata Rachman. Mereka juga harus berlayar lebih jauh untuk memburu ikan. "Bahkan kadang-kadang tanpa sadar telah memasuki perairan Singapura," katanya.
Nelayan lain, Daud, mengaku kian jarang mengayuh perahunya ke tengah laut. "Tangan saya tak kuat lagi," katanya, "Sekarang mesti menangkap ikan ke tengah laut dan jauh sekali dari pantai." Agar dapurnya tetap berasap, Daud kini membuat atau memperbaiki jaring milik para taoke atau juragan perahu yang memesannya.
Beralih dari pekerjaan laut ke darat tidak selalu menjanjikan. Tapi surutnya penghasilan dari laut membuat warga nelayan ramai-ramai terpaksa banting setir. Sayangnya, minimnya bekal pendidikan dan pengetahuan teknis membuat sebagian besar dari mereka hanya mampu berkutat sebagai buruh kasar proyek pembangunan di sekitar Kabupaten Karimun.
Yusuf sudah beberapa tahun tidak pergi ke laut. Dia beralih menjadi kuli bangunan yang tidak setiap pekan bisa bekerja karena jarangnya tawaran. Seperti Kasmadi, dua anak Yusuf tak bisa bersekolah. Harga buku terlalu mahal dari jangkauan koceknya.
Boro-boro memikirkan sekolah anak-anak, untuk makan sehari-hari dan ongkos perbaikan rumah pun Yusuf mesti mengelus dada. Rumahnya di Kampung Benteng, Pulau Moro, hanya berukuran 25 meter persegi. Atapnya dari seng yang telah berkarat dan berlubang di sana-sini. Jika hari hujan, air tumpah ke dalam.
Ironis. Sebab, pendapatan pemerintah Kabupaten Karimun dari eksploitasi pasir itu tergolong besar. Menurut Ilyas Sum, juru bicara pemerintah setempat, usaha penambangan pasir laut menyumbang dua pertiga total pendapatan asli daerah itu, yang mencapai Rp 97 miliar setiap tahunnya.
Dwi Lestari, Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR setempat, berpendapat semestinya sebagian pendapatan itu dipakai untuk mengompensasi kerugian nelayan yang kehilangan mata pencaharian.
Ilyas mengaku hingga kini pemerintahnya belum berhasil memperbaiki tingkat hidup warganya, khususnya di lingkungan desa nelayan. Salah satu gagasan yang kini tengah dikembangkan, menurut Ilyas, adalah memberi nelayan kredit untuk membangun keramba ikan.
Beberapa nelayan mengaku tertarik dengan program itu. Dengan memiliki karamba, mereka tak perlu melaut terlalu jauh ke tengah. Mereka cukup membesarkan bibit ikan di dalam keramba dan menangguknya bila telah siap panen.
Pemerintah, menurut Ilyas, telah berencana menyediakan Rp 2 miliar. Nelayan bisa meminjamnya dengan bunga ringan, tiga persen per tahun, melalui bank pembangunan daerah. Sayangnya, semua itu baru rencana di atas kertas.
Walhasil, kehidupan sebagian besar keluarga nelayan di Pulau Moro tak kunjung membaik. Tiga ribu jiwa penghuni pulau itu belum bisa menikmati lagi masa-masa keemasan yang mereka rasakan sebelum pengerukan pasir merajalela di perairan mereka. Ancaman putus sekolah bagi anak-anak terus bertambah seiring dengan surutnya penghasilan orang tua mereka dari laut.
Musuh mereka tak cuma para penambang pasir resmi. Besarnya kebutuhan pasir Singapura telah merangsang tumbuhnya penambang ilegal pula. Asosiasi Pengusaha Pasir Laut Riau menaksir angka pencurian pasir mencapai 35 juta meter kubik per bulannya. Celakanya, kegiatan ilegal ini tak kunjung berhenti. Tiga pekan lalu, misalnya, Angkatan Laut Tanjung Balai Karimun menangkap tujuh kapal asing yang menambang pasir tanpa izin.
Itulah yang membuat nelayan seperti Bakri, Yusuf, dan Rachman meluap dalam amarah. Tapi, dengan prospek mendapat keuntungan miliaran, penambang resmi ataupun liar siap melakukan apa saja menghadapi protes para nelayan yang tanpa daya. Lingkungan mereka rusak, mata pencaharian punah. Dan bersama matinya Bakri, musnah pula impian anak-anaknya.
Widjajanto, Rumbadi Dalle (Batam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini