Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Musuh dalam Selimut

Polisi mengungkap skandal penjualan senjata dari tentara Indonesia ke Gerakan Aceh Merdeka.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONFLIK berdarah di Aceh, yang telah menahun dan mengorbankan begitu banyak nyawa serta menimbulkan kesengsaraan luas, mungkin belum akan segera berhenti. Terutama jika yang dilaporkan polisi benar adanya. Pekan lalu polisi mengaku menangkap dua orang tentara aktif yang diduga telah menjual senjata dan bahan peledak milik TNI kepada gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Meski sejauh ini polisi menyidiknya sekadar sebagai kasus kriminal, skandal penjualan senjata itu bisa menimbulkan implikasi politis ketika konflik Aceh semakin mengemuka dalam perhatian masyarakat internasional. Penangkapan terhadap Kapten Maryono dan Letnan Satu Faisal, menurut polisi, dihasilkan melalui penyelidikan yang panjang. Semuanya bermula dari kasus ledakan awal Juli lalu di pusat pertokoan Graha Cijantung, Jakarta, persis di depan kompleks perumahan pasukan elite Kopassus. Hanya sepekan setelah ledakan itu, aparat Polda Metro Jakarta Raya menyatakan berhasil menangkap dua tersangka: Fachrizal dan Khusaini. Keduanya ditangkap di Medan, ratusan kilometer dari Jakarta. Dua tersangka itu juga berasal dari Aceh. Dari situlah muncul pernyataan bahwa ledakan itu didalangi oleh GAM, yang ingin melepaskan diri dari Indonesia. Juru bicara GAM, sebaliknya, telah membantah tuduhan itu. Menurut polisi, ketika diinterogasi di Jakarta Fachrizal dan Khusaini tak hanya mengaku menciptakan ledakan di Graha Cijantung, tapi juga menjadi pemasok bahan peledak dan senjata ke basis-basis GAM. Dari interogasi itu, polisi juga menyatakan bahwa kedua tersangka hanyalah satu mata rantai dari jaringan luas pemasok senjata GAM. Setelah menelusuri mata rantai demi mata rantai, polisi menemukan bahwa hulu jaringan itu bersumber dari Kapten Maryono dan Letnan Satu Faisal. Polisi mengaku membongkar seluruh jaringan itu lapis demi lapis. Setelah penangkapan di Medan tadi, polisi melakukan serangkaian penggerebekan di Bogor dan Jakarta. Di Bogor, polisi menangkap Sirajuddin dan Edo, yang mengirimi Fachrizal bahan peledak. Polisi juga mengaku menyita "beberapa ton bahan peledak" dari rumah mereka. Polisi kemudian mengalihkan perhatian ke kawasan Kalideres, Jakarta Barat, setelah Sirajuddin mengaku memperoleh kiriman bahan-bahan peledak dari situ. Di Kalideres, dalam penggerebekan yang melibatkan Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar dan Kapolda Irjen Makbul Padmanegara, polisi menangkap Kusnadi dan mengaku "menyita sekitar 800 jenis bahan kimia yang bisa diramu menjadi bahan peledak atau bom" dari rumahnya. Kusnadi, menurut polisi, adalah pemilik pabrik pembuatan petasan dan kembang api yang mengaku mengimpor bahan bakunya dari Cina dan Taiwan. Jika demikian, atas dasar apa sebenarnya ia ditahan kini? "Dia tidak punya izin berdagang dan menyimpan bahan-bahan kimia itu," kata Kepala Satuan Reserse Umum Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Raja Erizman. Sementara bahan peledak diperoleh dari Kusnadi, menurut polisi, Fachrizal menerima peluru dan senjata dari dua orang. Orang pertama adalah Jalaluddin, yang tinggal di sebuah rumah kontrakan di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Jalaluddin disebut-sebut sebagai tentara yang telah desersi. Setelah menggerebek rumah itu, polisi menyatakan tidak berhasil menangkap Jalaluddin yang telah kabur, namun mengaku sukses menyita "persenjataan yang cukup untuk satu peleton pasukan tempur". Tidak tanggung-tanggung: 14 ribu lebih butir peluru M-16, dua bom rakitan, tiga senjata rakitan, 160 magazin senapan serbu, dan aneka senjata jenis tempur lainnya. Jalaluddin, menurut polisi, belum ditemukan hingga kini. Fachrizal juga mengaku menerima pasokan senjata dari Kapten Maryono, seorang tentara yang aktif bekerja sebagai staf di Pusat Pelatihan Pendidikan TNI. Polisi langsung menangkap Maryono. Ketika diinterogasi, Maryono mengaku memperoleh pasokan dari Letnan Satu Faisal, yang tak lain kepala urusan senjata di bagian perlengkapan Kodam III Siliwangi, Bandung. Menurut polisi, jabatan Faisal memang memungkinkan dia menjual peluru dan aneka jenis senjata. Sebab, sebagai kepala urusan senjata, Faisal memiliki otoritas untuk memeriksa semua jenis senjata yang rusak dari berbagai kesatuan jenis tempur TNI. Nah, senjata-senjata rusak ini dipermak lagi lalu dijual ke sindikat pedagang itu. Faisal, menurut polisi, adalah lulusan Institut Teknologi Nasional Bandung. Baru tiga tahun lalu dia masuk dinas ketentaraan lewat jalur wajib militer. "Dia itu lulusan (bidang) material," kata Kolonel CPM Dharmadjie, Komandan Polisi Militer Kodam Siliwangi. Nama lain yang disebut-sebut terlibat dalam perdagangan senjata ini adalah Sersan Satu Yahri Hasmallah, yang masih aktif bertugas di Jawa Barat. Menurut sumber TEMPO di Polda Metro Jaya, Yahri sudah ditangkap jauh sebelum Kapten Maryono dan jaringannya dibekuk. Di luar personel tentara aktif itu, menurut polisi, ada beberapa anggota jaringan yang hanya diketahui bernama "Ramli Cs.". Sebagian besar kelompok Ramli ini adalah anggota tentara yang desersi. Polisi mengatakan masih memburu anggota kelompok ini. Jika semua cerita yang bersumber dari polisi ini benar, Indonesia layak khawatir. Jaringan ini memiliki akar yang mendalam di tubuh militer sendiri. Brigadir Jenderal Ratyono, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, menyatakan bahwa jaringan itu "murni bermotif uang". Menurut seorang polisi yang ikut memeriksa para tersangka, harga jual senjata-senjata yang telah disita memang menggiurkan. Sebutir peluru untuk M-16 bisa dihargai Rp 3.000, sedangkan peluru AK-47 jauh lebih mahal, Rp 6.000 setiap butirnya. Dari peluru itu saja, jaringan ini bisa mendapat Rp 120 juta. Jumlah yang besar untuk pendapatan tentara yang tidak seberapa dan krisis ekonomi yang terus mencekik. Tapi benarkah ini hanya soal uang? Bagaimana tentara bisa demikian rentan oleh skandal memalukan ini? Bagi kalangan di luar polisi, jaringan itu masih misterius. Di samping beberapa tersangka masih buron, mereka yang ditahan juga tidak bisa dihubungi wartawan. Semua kisah tadi berasal dari sumber tunggal: polisi. Suatu hal yang pasti, aliran senjata dari tentara Indonesia ke GAM hanya akan meningkatkan intensitas konflik berdarah di Aceh. GAM makin beringas. Tentara dan polisi makin ganas. Siklus kekerasan memuncak. Dan apa yang bisa dilakukan Cut Nyak untuk rakyat Aceh yang kian menderita? Wenseslaus Manggut, Edy Budiarso dan Chandra -------------------------------------------------------------------------------- Dari Medan hingga Cimahi Medan, Sumatera Utara Di sinilah Fachrizal dan Khusaini di sebuah rumah di Medan. Saat ditangkap membawa ribuan peluru dan beberapa senjata aneka jenis. Keduanya hendak meluncur ke Aceh. Cimanggis, Depok, Jawa Barat Sebuah rumah di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, digerebek polisi, 6 Juli lalu. Dari sini polisi menyita sekitar 20 ribu butir peluru, beberapa buah senjata api dari berbagai jenis, juga menangkap Irsyadi, pengontrak rumah itu. Parung, Bogor, Jawa Barat Polisi menangkap Sirajuddin dan Edo di rumah mereka di Parung, Bogor. Dua-duanya adalah pedagang petasan yang mengaku mendapat pasokan dari Kusnadi. Dari sini disita sejumlah karung bahan peledak. Tangerang, Banten Jalan Perepedan Raya, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, 7 Agustus 2002. Dari gudang itu disita 800 jenis bahan kimia berbahaya seperti potasium nitrat, aluminium powder pyro, dan belerang. Menurut polisi, pemilik gudang tersebut, Kusnadi, tidak memiliki izin untuk pergudangan bahan kimia. Kusnadi kemudian ditangkap. Cimahi, Bandung, Jawa Barat Di Cimahi, di rumah Letnan Satu Faisal, ditemukan empat laras senjata M-16, senjata mouser buatan Amerika Serikat, peluncur granat, perlengkapan senjata M-16, 3 buah magazin M-16 masing-masing dengan peluru, 1.438 butir peluru aneka jenis, satu magazin berisi 20 peluru, peredam suara senapan SS-1, dan satu buah mortir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus