Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Ingat THR Harusnya Ingat Soekiman Wirjosandjojo, Penggagas Tunjangan Hari Raya Pertama

Pencetus THR adalah Soekiman Wirjosandjojo, Perdana Menteri Indonesia dari Partai Masyumi. Siapa dia? Bagaimana kiprahnya?

18 Maret 2024 | 16.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Istilah Tunjangan Hari Raya atau THR acap terdengar saat menjelang Lebaran atau Natal. Konsep pemberian uang bonus atau pesangon hari raya kepada karyawan ini ternyata telah ada sejak awal 1950. Pencetusnya adalah Soekiman Wirjosandjojo, Perdana Menteri Indonesia dari Partai Masyumi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lantas siapakah sosok Soekiman Wirjosandjojo dan bagaimana lahirnya sebutan THR?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Profil Soekiman Wirjosandjojo

Dalam sejarah Indonesia, Soekiman Wirjosandjojo sosok penting karena turut serta membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dia dikenal sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-6 pada 27 April 1951 hingga 3 April 1952 dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo. Selain itu, namanya juga tercatat dalam sejarah berdirinya Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta.

Soekiman Wirjosandjojo lahir di Surakarta pada 19 Juni 1898. Dia merupakan anak bungsu alias terakhir dari empat bersaudara. Keluarga Seokiman termasuk kalangan berada dan terpandang. Mereka merupakan penganut agama Islam yang taat. Apalagi ibunya diketahui merupakan sosok pendakwah di kampung halamannya.

Soekiman kecil menempuh pendidikan dasar di Boyolali, tepatnya di Europeesche Lagere School. Selepas lulus, dia melanjutkan pendidikan masa remajanya di STOVIA Jakarta. Dia mendapatkan gelar dokter setelah menempuh studi di Universitas Amsterdam, Belanda untuk mempelajari penyakit dalam.

Sebelum melanjutkan studi di Belanda, Soekiman menikah dengan Kustami, putri dari Dr. Keramat. Setelah menikah, Soekiman memutuskan pindah ke Yogyakarta sebagai tempat memulai kehidupan berkeluarga dengan istrinya. Soekiman sempat bekerja di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Awal terjun politik

Era pendudukan Jepang menjadi awal Soekiman terjun ke dunia. Dilansir dari laman Litbang Kementerian Dalam Negeri, Soekirman memutuskan berjuang bersama umat Islam lainnya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia melalui organisasi Masyumi. Soekiman juga tercatat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Setelah itu, pada 31 Januari 1948, Soekiman masuk ke bagian susunan Kabinet Hatta pertama sebagai Menteri Dalam Negeri. Pada Kabinet Hatta kedua, Soekiman lalu diangkat sebagai Menteri Negara. Ketika Indonesia kembali ke negara kesatuan, dia terpilih sebagai Perdana Menteri Indonesia keenam pada 27 April 1951-25 Februari 1952 setelah jatuhnya Kabinet Natsir.

Namun, Soekiman harus dicopot dari jabatannya itu setelah mendapatkan mosi tidak percaya karena terungkapnya perjanjian keamanan yang dibuat olehnya bersama Amerika Serikat. Begitu tak lagi menjadi perdana menteri, Soekiman ditunjuk menjadi ketua Komite Aksi Pemilihan Umum Masyumi, yang bertugas mengatur kampanye Masyumi untuk Pemilu 1955.

Seteru dengan Sukarno

Setelah jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Soekiman masih dipercaya oleh Wakil Presiden Pertama Mohammad Hatta menjadi formatur kabinet pada 29 Juli 1955 bersama Wilopo dan Assaat. Tetapi ketiga tokoh ini gagal membentuk kabinet dan mengembalikan mandat mereka pada 3 Agustus. Selain itu, Soekiman juga ditunjuk menjadi salah seorang anggota Konstituante.

Pada 1958, begitu Natsir beserta sejumlah pemimpin Masyumi lainnya turut serta dalam gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Soekiman mencoba untuk melobi kepemimpinan Masyumi untuk mengutuk aksi Natsir dkk beserta PRRI. Meskipun begitu, sejumlah tokoh pro-Natsir seperti Prawoto Mangkusasmito masih aktif di dalam Masyumi, sehingga pernyataan resmi partai hanya menyebut PRRI melanggar konstitusi.

Kubu Prawoto menang mutlak dalam pemilihan kepemimpinan Masyumi pada kongres partai 1959, meskipun Soekiman mempertahankan jabatannya sebagai Wakil Ketua Umum. Presiden Pertama RI Sukarno menawarkan satu kursi dalam DPR-Gotong Royong yang dibentuk 1960 untuk Soekiman. Tetapi Soekiman menolak jabatan tersebut secara terbuka. Penolakan ini menyinggung Sukarno, dan kedua tokoh ini tidak lagi bertemu muka setelah itu.

Pensiun dari politik dan meninggal

Soekiman kemudian pensiun dari politik. Kemudian tokoh-tokoh Masyumi ditangkapi pada awal 1960-an. Namun, ketika itu Soekiman tidak ditahan. Dia tidak dianggap sebagai ancaman politik oleh pemerintahan. Begitu Soeharto naik menjadi presiden, Soekiman sempat mempertimbangkan membentuk partai Islam baru. Namun niatnya dikurung. Itu setelah ia berkonsultasi dengan tokoh pemerintahan Orde Baru.

Belasan tahun kemudian, Soekiman meninggal di Yogyakarta pada 23 Juli 1974 sekitar pukul 11.30 waktu setempat di rumahnya. Ia kebumikan keesokan harinya di Makam Taman Siswa di Yogyakarta. Sesuai permintaannya, Soekiman dikuburkan berdekatan dengan Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia. Ia meninggalkan tiga putra dan seorang putri.

Pada Agustus 2012, tiga tokoh nasional, termasuk Soekiman dijadikan nama gedung Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dia dan dua tokoh lainnya: Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Mohammad Yamin namanya diabadikan sebagai penghargaan atas jasa-jasa mereka dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Nama Soekiman jadi asma gedung Kedokteran.

“Nama Ki Bagoes untuk Gedung Olahraga, Soekiman untuk Gedung Fakultas Kedokteran, serta Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya, dan Yamin untuk Gedung Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII),” kata Rektor UII saat itu Edy Suandi Hamid saat peresmian pemberian nama gedung.

Lahirnya THR

Dilansir sptsk-spsi.org, lahirnya konsep THR di Indonesia bermula pada 1951. Pemberian duit bonus sat hari raya ini merupakan canangan Soekiman saat menjadi Perdana Menteri Indonesia ke-6 tersebut. THR dimaksudkan sebagai bentuk nyata program meningkatkan kesejahteraan para pegawai dan aparatur negara berupa tunjangan.

Kebijakan ini sempat menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, salah satunya dari buruh. Sejumlah aksi pun dilakukan oleh mereka sekaligus menuntut pemerintah supaya mengeluarkan kebijakan yang sama untuk perusahaan kepada para pekerjanya. Hal ini dilakukan sebab buruh merasa ikut serta berkontribusi bagi perekonomian nasional.

Akhirnya, pemerintah menerbitkan peraturan agar perusahaan bersedia memberikan THR kepada para karyawannya. Sejak saat itu, istilah THR populer di Indonesia. Terkini, aturan seluk-beluk THR dikawal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, dengan salah satu isinya mengatur THR.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | NAOMY AYU NUGRAHENI | ANTARA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus