Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Maman Imanulhaq khawatir rezim otoriter akan muncul kembali bila Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan judicial review terkait dengan masa jabatan wapres oleh Partai Perindo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya hanya takut saja jika judicial review ini dikabulkan, muncul kembali ketakutan kita. Semangat reformasi dipatahkan dan munculnya rezim otoriter," kata Maman setelah menjadi pembicara dalam diskusi judicial review masa jabatan cawapres, di Jakarta, Jumat, 27 Juli 2018.
Menurut dia, bila MK mengabulkan gugatan uji materi Pasal 169 huruf N Undang-Undang Pemilu, di mana Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi pihak terkait, tidak ada lagi pembatasan masa bakti capres dan cawapres.
"Ini juga menjadi preseden buruk bagi sistem hukum kita, di mana konstitusi diutak-atik oleh orang yang ingin berada di kekuasaan," ucapnya.
Maman pun menghormati hak konstitusional Jusuf Kalla dan Partai Perindo yang mengajukan uji materi Pasal 169 huruf N Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke MK.
Namun, menurut dia, kekuasaan, dalam hal ini masa jabatan presiden dan wakil presiden, tetap harus dibatasi.
"Makanya ketika kita menolak JR ini, semata-mata tidak ada hubungannya dengan personal JK. Kita hanya ingin mengatakan kalau kekuasaan harus dibatasi. Itu saja," ucap Maman.
Sebelumnya, pakar hukum tata negara Refly Harun menilai masa jabatan wakil presiden tidak perlu dibatasi karena wakil presiden dalam teori ketatanegaraan bukan sebagai pemegang kekuasaan.
"Karena dalam sistem konstitusi kita pemegang kekuasaan itu adalah presiden, yang dalam menjalankan kewenangannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden," kata Refly menanggapi gugatan Perindo ke Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Kamis, 26 Juli 2018.
Menurut dia, peran wakil presiden di Indonesia hanya sebagai pembantu presiden. Bahkan dalam kemerdekaan, sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pernah menginisiasi tiga wakil presiden. Namun seiring dengan berjalannya waktu kemudian menjadi satu wakil presiden dibantu oleh menteri-menteri.
Refly menjelaskan, yang membedakan wakil presiden dengan para menteri adalah wakil presiden sebagai pembantu khusus dalam pengertian kalau presiden berhalangan, sang pembantu inilah yang akan menjadi presiden sampai habis masa jabatan.
Namun, kata dia, pembatasan terhadap masa jabatan wakil presiden harus tetap dilakukan dua periode mengingat adanya trauma masa lalu ketika Bung Karno dan Soeharto memegang kekuasaan secara otoriter sehingga perlu ada pembatasan kekuasaan.
"Jika MK mengambil tafsir demikian, dengan sendirinya wakil presiden tidak perlu dibatasi," ujarnya.