Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Jokowi Waswas Soal Ketahanan Pangan, Begini Cara Soeharto Wacanakan Swasembada Pangan Era Orde Baru

Kebijakan sejumlah negara mengerem ekspor bahan pangan membuat Presiden Jokowi waswas. Bagaimana masa Soeharto wacanakan swasembada pangan?

1 Oktober 2023 | 12.12 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi musim panen. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan sejumlah negara mengerem ekspor bahan pangan membuat Presiden Joko Widodo atau Jokowi waswas. Sebab, akibat kebijakan tersebut, harga bahan pangan dalam negeri melonjak akhir-akhir ini. Kekhawatiran itu Jokowi sampaikan dalam pembukaan Rakernas PDIP di Kemayoran, Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ngeri sekali kalau melihat cerita semua negara sekarang mengerem, semuanya tidak ekspor pangannya. Gandum sudah, beras sudah, gula sudah, semuanya ngerem, semuanya,” kata Jokowi pada Jumat, 29 September 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jokowi mengatakan, lima sampai sepuluh tahun ke depan Indonesia membutuhkan visi taktis dan rencana rinci untuk menghadapi masalah ketahanan pangan. Untuk itu, Presiden menyebut akan ada penambahan 61 waduk pada tahun depan. Ia juga menyatakan perlunya kerja keras untuk menyelesaikan infrastruktur yang berkaitan dengan pangan.

“Masalah pangan ini tidak mudah diselesaikan karena ada ancaman nyata seperti perubahan iklim dan geopolitik,” kata Jokowi.

Masalah pangan merupakan problem klasik negara ini. Saat Indonesia baru merdeka, yang menjadi prioritas Presiden Sukarno juga masalah pangan. Demi swasembada pangan, pemerintah kala mencanangkan program Kasimo Plan atau Rencana Kasimo serta memberlakukan Undang-undang Pokok Agraria.

Bagaimanakah program pemerintah era Soeharto dalam menanggulangi masalah pangan?

Melansir jurnal Universitas Islam Sultan Agung atau Unissula, Semarang, demi swasembada pangan pemerintah Orde Baru memprioritaskan pembangunan di sektor pertanian sebagai kerja kabinet. Program itu dijuluki Pembangunan Lima Tahun atau Pelita dan berjalan dua periode antara 1969 hingga 1979. Saat itu, kebijakan pembangunan lebih banyak dikonsentrasikan untuk memperkuat basis sektor pertanian.

Soeharto memiliki ambisi yang kuat untuk mempercepat swasembada beras yang belum pernah dicapai sejak masa kemerdekaan. Salah satunya adalah dengan cara mengadopsi program revolusi hijau sejak 1974. Akan tetapi, program yang berbiaya mahal tersebut ternyata hanya menghasilkan swasembada beras pada 1984, 1985, dan 1986 berdasarkan laporan statistik pertanian dari BPS.

Selain beras, pemerintah juga berusaha untuk menutupi kekurangan pasokan dalam negeri dengan mengimpor gandum. Bila semula diberikan kewenangan kepada Bulog, maka kewenangan untuk mengimpor gandum ini kemudian diserahkan ke Bogasari alias pihak swasta. Awalnya, pemerintah mencoba untuk membudidayakan gandum. Tetapi upaya ini sulit terwujud, karena gandum memang tak cocok untuk jenis tanah pertanian di Indonesia.

Dalam rangka mendukung program pertanian pangan, pemerintah di era Orde Baru juga membuat cukup banyak pembangunan infrastruktur pendukung. Misalnya seperti pembangunan irigasi, pendirian pabrik pembuatan pupuk urea, dan pembangunan pusat-pusat penelitian tanaman pangan. Akan tetapi, keseluruhan sarana dan prasarana pendukungnya masih difokuskan pada jenis tanaman beras.

Saat itu padi disosialisasikan di seluruh wilayah yang dianggap cocok untuk ditanami jenis tanaman ini seperti di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Ternate, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, bahkan sampai ke Papua. Program transmigrasi pun digerakkan seluas-luasnya untuk mendukung perluasan lahan tanaman padi di luar Pulau Jawa. Tujuannya tidak lain untuk mendorong peningkatan produksi beras di dalam negeri.

Akan tetapi, upaya membangun kemandirian di sektor pertanian justru berakhir menjadi drama pergantian kekuasaan. Nyaris sama situasinya menjelang 1965 di mana harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Pada 1994, pemerintah mengambil kebijakan yang cukup kontroversial, yaitu menghapuskan subsidi pupuk dan bibit. Kebijakan ini terpaksa kudu diambil, lantaran semakin beratnya beban anggaran yang ditanggung APBN.

Petani pun mengalami kesulitan bercocok tanam karena biaya untuk menanam padi melonjak. Penjaminan melalui Koperasi tak lagi memberikan harapan bagi petani untuk mendongkrak tingkat kesejahteraan, terutama di kalangan petani kecil. Akibatnya, kran impor beras pun dibuka secara jorjoran untuk mengamankan pasokan beras di dalam negeri. Nilai tukar Rupiah yang semakin anjlok sejak 1990 mengakibatkan tingkat volatilitas harga beras dan sejumlah kebutuhan pokok menjadi kian merangkak.

Harga-harga kebutuhan pun terus melonjak naik dan tidak terkendali. Angka inflasi selama 1998 sudah mencapai di atas angka 70 persen. Gejolak harga pangan sejak 1985 tersebut mulai mencapai puncaknya pada pertengahan 1997. Stabilisasi harga harus ditebus cukup mahal dengan meminimalkan peran pemerintah, termasuk menanggalkan peran Bulog. Penandatanganan Letter of Intent (LoI) pada 21 Oktober 1997 membuat Bulog kehilangan kewenangan memonopoli urusan beras .

Pasca kejatuhan Soeharto, pada 1998 menjadi penanda babak baru kebijakan di sektor pertanian. Liberalisasi di sektor pertanian sudah mulai resmi diterapkan sejak 1998. Harga-harga kebutuhan pokok pangan pun diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator atau mengatur tata kelolanya, tetapi tak berwenang lagi untuk mempengaruhi secara langsung atas harga-harga kebutuhan pokok.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | DANIEL A. FAJRI

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus