Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tantangan ketua baru

Konperensi tingkat menteri biro koordinasi Non Blok di Bali berakhir. presiden Soeharto minta fokus ke ekonomi.

23 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENGGELAM dalam riuh-rendahnya kampanye yang menyita halaman koran, sebuah persidangan penting yang dihadiri 72 negara berakhir di Bali pekan lalu. Itulah Konperensi Tingkat Menteri Biro Koordinasi Gerakan Negara Non Blok (GNB) yang dibuka Presiden Soeharto, Kamis pekan lalu. "Pada tahap sekarang ini fokus perhatian GNB perlu ditujukan pada masalah ekonomi. Jika hubungan TimurBarat sudah membaik, tetap ada polarisasi yang makin tajam dalam hubungan UtaraSelatan," demikian salah satu pesan Presiden, yang akan menjadi Ketua GNB mulai KTT September nanti. Pidato Presiden ini kemudian diangkat menjadi dokumen resmi persidangan. Dalam agenda persidangan yang dibuat tuan rumah, soal hubungan ekonomi antarnegara Selatan memang disebut-sebut, selain delapan topik lainnya. Salah satu cara yang diusulkan adalah dengan memperkuat kerja sama ekonomi antarnegara Non Blok lewat apa yang disebut sebagai Action Programme for Economic Cooperation among the NonAligned Countries (APEC). Kerja sama ini juga diperluas dengan Kelompok 77, yang anggotanya adalah negara-negara nonblok juga. Apa boleh buat, persidangan dua hari yang dimaksudkan untuk menyiapkan bahan pembicaraan KTT di Jakarta September nanti ternyata lebih seru diwarnai oleh masalah politik. Di hari pertama persidangan, ketika para menteri luar negeri yang hadir baru sampai pada persoalan rumah tangga nonblok sendiri, yakni soal keanggotaan baru, ganjalan besar muncul. Ikhwalnya adalah niat Kroasia dan Slovenia, dua negara yang pertama kali memerdekakan diri dari Yugoslavia, untuk ikut bergabung dalam GNB. Kroasia berniat menjadi peninjau, sedangkan Slovenia melamar untuk diterima menjadi tamu. Masalah yang biasanya tak terlalu rumit ini menjadi soal besar karena kedua negeri ini tak mengirimkan suratnya lewat ketua GNB yang resminya masih di tangan Yugoslavia. "Ada dua sebab. Satu Yugoslavia itu sudah tak ada lagi sekarang ini. Kedua, mereka membomi rakyat kami dan Bosnia-Herzegovina yang mayoritas Islam," kata Menteri Luar Negeri Kroasia, Zvonimir Separovic. Memilih jalan pintas, dua negeri ini langsung membawa surat lamaran itu ke Indonesia sebagai ketua baru GNB. Gara-gara masalah ini, sidang terhenti. Pertemuan pleno yang diikuti 30 menteri luar negeri, pejabat tingkat menteri, pejabat tinggi, dan peninjau terpaksa ditunda sejak pukul dua siang, berubah menjadi sidang informal khusus untuk para anggota yang berlangsung hingga malam harinya. Sementara itu, Separovic memanfaatkan penundaan itu untuk menjalankan diplomasi, mondar-mandir di lobby, menemui berbagai diplomat yang negerinya sudah mengakui Kroasia untuk membantu. Sebenarnya, bukan hanya prosedur yang tak betul itu yang menjadi soal. Beberapa negara khawatir jika dua negeri baru ini diterima begitu saja, bakal menjadi preseden yang tak enak pada masa datang. "Banyak negara yang punya potensi perpecahan seperti Yugoslavia. Mereka khawatir kalau dua negeri ini berhasil, bakal ditiru oleh negeri masing-masing dan GNB menjadi ajang pengesahan mereka di mata dunia," kata seorang anggota delegasi. Beberapa negara Afrika disebut-sebut sebagai pihak yang berkeberatan itu. Akhirnya, persoalan ini tetap buntu. Karena keputusan dalam GNB selalu diambil secara konsensus, akhirnya mereka memutuskan untuk tidak mengambil keputusan sekarang. Masalah diserahkan pada Biro Koordinasi GNB yang berkedudukan di New York. "Mudah-mudahan sebelum KTT di Jakarta September nanti, persoalannya sudah dibereskan," kata Menteri Luar Negeri, Ali Alatas yang menjadi ketua persidangan. Akibat satu hari yang terbuang ini, sidang keesokan harinya terpaksa berjalan maraton dan baru berakhir Sabtu pukul lima pagi, 11 jam mulur dari jadwal. Seperti sudah diduga sebelumnya (TEMPO, 16 Mei 1992), muncul amandemen dari Libya yang ingin agar persoalan negerinya, yang sedang mendapat sanksi PBB, masuk dalam teks pembahasan yang bakal menjadi agenda KTT September nanti. Untungnya, "Usulan mereka cukup moderat kok, tak ada yang keras," tutur Dirjen Politik Deplu, Wiryono Sastrohandoyo. Maka, amandemen Libya ini bisa masuk ke dalam teks. Persoalan baru agak serius ketika Libya juga mengajukan amandemen agar persoalan ini juga dimasukkan dalam Komunike Pers yang disiarkan pada akhir sidang. Lewat penggodokan yang alot hingga malam, amandemen Libya itu akhirnya masuk dalam komunike. Pembicaraan lain yang juga sempat menghambat adalah ketika sidang membicarakan usulan empat negara, Mesir, Aljazair, Tunisia, dan Zimbabwe tentang situasi Yugoslavia. Negerinegeri Afrika ini terdorong solidaritas sesama muslim, dalam amandemennya mengutuk pertumpahan darah yang terjadi di Bosnia-Herzegovina yang mayoritas berpenduduk muslim. "Ini untuk pertama kalinya GNB membicarakan masalah Yugoslavia secara resmi," kata Alatas. Kekacauan di Yugoslavia ini memang membawa apa yang disebut Menlu Siprus, George Iacovou, sebagai sebuah beban moral yang serius. Di tengah dunia yang sedang berubah dan tantangan yang besar, GNB sendiri malah menemukan ketua mereka, yakni Yugoslavia, sedang dilanda kemelut serius. Indonesia, sebagai ketua mendatang, tampaknya harus menerima pekerjaan rumah ini. Untungnya, tak semua anggota GNB bersikap skeptis. Iran, misalnya, datang dengan rombongan terbesar, 18 orang, yang dipimpin langsung oleh Menteri Luar Negerinya Ali Akbar Velayati. Di Bali, Velayati juga laris melayani belasan menlu lain berbicara soal bilateral. "Seharusnya setiap anggota juga memainkan peran aktif seperti Iran. Karena kita memerlukan GNB di tengah dunia yang berubah ini," katanya. Paling tidak, di persidangan harapan Velayati itu muncul. Tak kurang dari 40 amandemen bermunculan dari peserta melengkapi draft buatan Indonesia yang sebenarnya sudah dianggap bagus dan lengkap. Yopie Hidayat dan Putu Fajar Arcana (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus