Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Karpet Merah Kandidat Kontroversial

Panitia seleksi meloloskan delapan calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiga kandidat memantik polemik.

7 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Joko Widodo menyimak penjelasan ketua panitia seleksi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Destry Damayanti, di Istana Negara pada Senin pekan lalu. Awalnya, Destry menerangkan proses seleksi, seperti jumlah pendaftar, tahapan, penelusuran rekam jejak, dan tes wawancara. Presiden yang anteng memperhatikan kemudian bertanya, "Kalau saya bisa menolak, bagaimana?"

Destry, yang tersentak mendengar pertanyaan ini, menoleh ke arah anggota panitia seleksi lain, Harkristuti Harkrisnowo. Buru-buru Harkristuti menyela, "Menurut undang-undang, Bapak punya waktu dua minggu untuk mempelajari hasil seleksi." Sebelum dipotong Presiden, Destry lantas memaparkan ikhtisar rekam jejak dan alasan mengapa delapan nama ini dipilih. Kali ini Destry lebih dulu bertanya, "Bapak kaget, ya, tidak ada nama besar dalam nama-nama yang kami pilih?" Presiden kemudian menjawab, "Saya tidak kaget, saya setuju pilihan Ibu-ibu." Semua anggota panitia seleksi menarik napas lega.

Setelah pertemuan tertutup itu, Presiden Jokowi bersama panitia seleksi mengumumkan delapan calon terpilih. Mereka adalah anggota staf ahli Kepala Badan Intelijen Negara, Saut Sitomurang, dan aktivis buruh Surya Tjandra di kategori pencegahan; hakim tindak pidana korupsi, Alexander Marwata, dan Widyaiswara Madya Sekolah Pimpinan Polri Basaria Panjaitan di kategori penindakan; bekas Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Agus Rahardjo dan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antarkomisi dan Instansi KPK Sujanarko di kategori manajemen; serta pelaksana tugas pemimpin KPK, Johan Budi Sapto Pribowo, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Laode Muhammad Syarif, di kategori supervisi dan pengawasan.

Sebenarnya sejumlah kandidat kuat terjaring hingga tes wawancara. Misalnya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, bekas Kepala Kepolisian Daerah Papua Yotje Mende, dan Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono. Saat wawancara, Jimly banyak dicecar mengenai sewa rumah dinas di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, senilai Rp 120 juta per tahun. Padahal kala itu Mahkamah menyediakan rumah bagi semua hakimnya. Jimly beralasan tak bisa serta-merta pindah. "Mesti ada rumah ketiga," katanya.

Jimly dicecar ihwal ambisi ingin menjadi ketua. Anggota panitia seleksi, Enny Nurbainingsih, mengatakan pertanyaan ini penting agar tak ada dominasi sosok karena pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial. "Jangan-jangan Bapak tak bisa kalau tak menjadi ketua?" Jimly tak lugas menjawab pertanyaan ini, "Nanti saya jawabnya di DPR." Seorang anggota panitia menuturkan, Jimly gagal lolos karena hasil tes kejiwaan yang menyatakan dia selalu ingin tampil dominan. Jimly justru gembira masuk delapan besar. "Keluarga saya senang, kok. Mereka takut terjadi apa-apa di kemudian hari," ucap Jimly di Makassar, Rabu pekan lalu.

Kandidat lain yang sempat digadang lolos adalah Yotje Mende. Ketika wawancara, dia dicecar soal transaksi mencurigakan di rekeningnya. Panitia mendapat laporan ada lalu lintas dana sebesar Rp 300-400 juta yang nilainya mencapai Rp 1,3 miliar pada 2013. Yotje berdalih punya usaha toko di Sorong dan penyewaan mobil di Gorontalo. Mantan Kepala Polda Papua ini memberikan laporan keuangan perusahaan kepada panitia seleksi. Seorang anggota panitia seleksi menuturkan, penjelasan Yotje tak diterima panitia seleksi. Juru bicara panitia, Betti Alisjahbana, enggan bercerita banyak soal tidak lolosnya Yotje. "Jangan tanya yang spesifik," Betti mengelak. Dia menjelaskan, panitia bersepakat memakai lima variabel kelulusan, yaitu integritas, kompetensi, independensi, kepemimpinan, dan pengalaman.

Beberapa saat setelah tes wawancara usai, panitia seleksi berembuk menentukan nama-nama yang layak masuk delapan besar. Metodenya, kata Betti, setiap anggota panitia memilih delapan nama yang dianggap layak dari 19 nama calon. Saat rekapitulasi, ternyata ada tiga cluster calon. Pertama, ada nama yang disepakati semua anggota panitia. Kedua, nama yang disepakati tidak lolos oleh semua anggota. Sedangkan ketiga adalah nama yang disepakati sebagian anggota panitia tapi ditolak anggota lain. "Siapa saja mereka, tak bisa saya buka," ucap Betti.

Seorang anggota panitia seleksi menuturkan, satu-satunya nama yang disepakati secara bulat hanyalah pelaksana tugas pemimpin KPK, Johan Budi Sapto Pribowo. Johan dianggap memahami seluk-beluk internal komisi antikorupsi. Bahkan, kata anggota panitia ini, lolosnya Johan disepakati ketika tes wawancara masih berlangsung. "Pembawaan Johan yang tenang dan dingin cocok untuk KPK yang penuh tekanan," ujarnya.

Anggota panitia ini menuturkan, nama yang disepakati tidak lolos tak lebih dari tiga orang. Salah satunya Direktur Pertamina Foundation Nina Nurlina Pramono. Penelusuran kepolisian hanya menerangkan soal stabilo merah beberapa nama calon karena terindikasi terlibat kasus pidana. Jumat malam dua pekan lalu, panitia mengutus Yenti Garnasih menyambangi Markas Besar Polri. Ketika itu, panitia baru saja rampung memilih delapan nama. Yenti diminta memastikan siapa tersangka yang dimaksud kepolisian. "Tersangka memang bukan bagian dari yang kami pilih," kata Destry.

Cluster yang menyita perhatian adalah calon yang disepakati sebagian anggota panitia tapi ditolak anggota lain. Ada 15 nama memperebutkan tujuh alokasi sisa di luar Johan Budi. Seorang anggota panitia seleksi mengatakan Basaria Panjaitan dan Saut Situmorang diperdebatkan cukup alot. Basaria, misalnya, dipersoalkan terkait dengan nilai harta kekayaannya. Sesuai dengan laporan terakhir pada Juni 2015, total kekayaan Basaria mencapai angka Rp 9,8 miliar.

Harta Basaria sebagian besar terdiri atas tanah yang tersebar dari Medan, Batam, Tangerang, Bekasi, hingga Lombok. Harta Basaria lebih tinggi ketimbang kekayaan Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti, yakni senilai Rp 8,2 miliar. Destry mengatakan tim penelusuran panitia menemukan nilai aset Basaria masih wajar. Sebab, kata dia, sebagian aset ini berupa tanah yang nilainya melonjak setiap tahun.

Kritik lain terhadap Basaria adalah keinginannya menjadikan KPK sebagai pusat informasi korupsi. Basaria ingin mengedepankan fungsi supervisi terhadap dua lembaga penegak hukum lain. Toh, dengan catatan itu, panitia justru menempatkan Basaria di bagian penindakan. "Dia punya pengalaman praktis," Betti beralasan. Faktor lain yang menguatkan panitia, kata Destry, adalah, "Catatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dia clear."

Nama Saut Situmorang juga diperdebatkan alot. Laporan kekayaan Saut pada 2014 tidak mencantumkan jumlah kekayaan kecuali kas senilai Rp 55 juta dan US$ 20 ribu. Padahal Saut memiliki Jeep Rubicon. Panitia seleksi pun sempat mempersoalkan pajak kendaraan ini. Namun, menurut Betti, Saut bisa menunjukkan bukti pembayaran pajak kepada panitia seleksi.

Persoalan yang membelit Saut adalah dugaan pencucian uang di PT Indonesia Cipta Investama. Destry mengatakan sudah menerima laporan dari berbagai pihak soal Saut, yakni kepolisian, PPATK, hingga KPK. Menurut dia, tak ada persoalan yang membelit Saut. Persoalan yang dianggap memberatkan adalah kecurigaan pada Saut karena berasal dari kalangan intelijen. "Tapi kami memilih orang sesuai dengan latar belakang, visi-misi, dan hasil wawancara," ucap Destry.

Yang paling panjang menyita perdebatan justru Alexander Marwata. Seorang anggota panitia bercerita, sebagian anggota berkukuh Marwata tak layak diloloskan karena putusannya kerap berseberangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Marwata, misalnya, berbeda pendapat dengan hakim lain saat menyidangkan kasus suap Cahyadi Kumala kepada Bupati Bogor Rachmat Yasin. Marwata menilai pemberian Cahyadi bukan suap karena tak membuat Rachmat Yasin menyalahgunakan wewenang.

Dalam kasus bekas Gubernur Banten Atut Chosiyah, Marwata menilai politikus Partai Golkar itu tak terlibat penyuapan kepada bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Marwata juga pernah menyatakan jaksa penuntut umum KPK lalai menyusun dakwaan dalam kasus Susi Tur Handayani. Saat memutus kasus Akil Mochtar, Marwata berpandangan Akil tak dapat dituntut dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Marwata juga ikut memvonis bebas bekas Direktur Merpati Hotasi Nababan. Saat menangani kasus pajak Dhana Widyatmika, Marwata menyatakan Dhana tak pernah menerima dan menikmati gratifikasi. "Melihat catatan ini saja panitia sudah tak tertarik. Dia belain koruptor," kata seorang anggota panitia.

Namun anggota panitia lain meyakinkan KPK justru membutuhkan sosok seperti Marwata. Panitia membuka rekam jejak, bertanya kepada rekan kerja hingga menelusuri lingkungan rumah Marwata. Hasilnya, menurut anggota panitia ini, Marwata tak menangguk keuntungan apa pun atas setiap putusan yang dibuat. Anggota panitia ini menuturkan, Marwata amat detail ketika menulis putusan dan dissenting opinion karena berlatar belakang auditor.

Rujukan lain adalah tes kejiwaan yang dikeluarkan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Hasil tes menunjukkan, Marwata merupakan sosok percaya diri yang amat yakin dengan pilihannya sehingga tak mudah tergoyahkan. Beberapa anggota panitia sempat angkat tangan jika Marwata diloloskan. "Kami angkat tangan," kata seorang anggota panitia. Ketika perdebatan dibuka, keyakinan bahwa KPK butuh sosok seperti Marwata justru menguat. "Sudahlah, kita ambil saja risikonya," ucap seorang anggota panitia menirukan suasana perdebatan di kalangan internal panitia.

Destry tak bersedia menjelaskan soal perdebatan panjang seputar lolosnya calon-calon kontroversial ini. "Yang pasti, semua calon sudah melewati berbagai tahapan," katanya.

Wayan Agus Purnomo, Aan Pranata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus